MENYIBAK SELUBUNG GELAP PENANGGULANGAN KARHUTLA

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

MENYIBAK SELUBUNG GELAP PENANGGULANGAN KARHUTLA

Oleh Amalia Elok Mustikasari 

Kontributor Suara Inqilabi

 

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) semakin marak terjadi di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah titik panas level tinggi di Indonesia mulai meningkat sejak Juni 2023. Jumlahnya pun mencetak rekor sebanyak 1.274 titik panas level tinggi pada September 2023. Adapun, sudah ada 169 titik panas level tinggi yang muncul sejak 1-3 Oktober 2023. Meski baru tiga hari, jumlah tersebut telah melampaui pada Juli 2023 yang sebanyak 88 titik panas. Dalam 24 jam terakhir, sudah ada 159 titik panas level tinggi di dalam negeri. Dari jumlah tersebut, sebanyak 102 titik panas terdeteksi di Kalimantan Tengah. Sebanyak 25 titik panas level tinggi berada di Kalimantan Barat dalam sehari terakhir. Sementara, ada 11 titik panas level tinggi di Sumatera Selatan. (DataIndonesia, 3/10/2023)

Mutu udara di kota-kota di Sumatera dan Kalimantan mulai memburuk akibat diselimuti kabut asap. Di Jambi, misalnya, pada Senin pukul 08.00 WIB, angka cemaran PM 2,5 mencapai 160 mikrogram per meter kubik (µg/m³) atau amat tak sehat, sehingga Pemerintah Provinsi Jambi mengalihkan kegiatan belajar-mengajar di sekolah jadi pembelajaran daring (Kompas, 2/10/2023). Data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, Kota Palangkaraya memiliki konsentrasi PM 2,5 paling tinggi pada 29 September 2023 yaitu 222 µg per m³, disusul Kota Palembang 126 µg per m³. Padahal, sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), konsentrasi PM 2,5 rata-rata 24 jam yang sehat berkisar 0 hingga 15 µg per m³.

Bencana yang berulang ini tentu saja mengancam kehidupan, baik kehidupan manusia maupun flora fauna yang tinggal di dalamnya. Karena kejadian ini, kesehatan masyarakat pun terancam. Kualitas oksigen semakin memburuk. Mengganggu jarak pandang, dan hal ini tentu akan menimbulkan resiko kecelakaan. Munculnya berbagai penyakit pernafasan di wilayah terdampak. Bahkan kebakaran hutan ini dapat mengganggu jadwal penerbangan. Selain itu karhutla membuyarkan target Forest and Other Land Use (FOLU) Net Sink pada tahun 2030. FOLU Net Sink 2023 merupakan kebijakan pemerintah dalam rangka pengurangan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan untuk mengendalikan perubahan iklim. Pemerintah meluncurkan skema FOLU Net Sink dengan tujuan agar sektor ini tidak hanya nol emisi, tetapi negatif. Dengan kata lain, sektor lahan menjadi rosot (sinks) emisi, bukan sumber (source) lagi.

Karhutla adalah dampak kapitalisasi hutan atas nama konsesi. Eksploitasi hutan ugal-ugalan dimulai sejak terbitnya UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kehutanan. Sejak UU ini berlaku, penguasa dan konglomerat menjadi penentu dalam izin pengelolaan hutan. Sejak itu pula kapitalisasi dan ekploitasi hutan terjadi. Pada mulanya, terbitnya UU tersebut diperuntukkan agar sumber daya hutan memiliki peran memutar roda perekonomian tetapi ujungnya, hutan Indonesia digarong korporasi dengan eksploitasi serampangan yang memunculkan banyak konflik sosial dan bencana ekologis. Puluhan tahun UU ini berjalan tanpa ada upaya lebih dari pemerintah untuk menyelesaikan dampak terhadap penerapannya.

Musim kemarau memang kerap dimanfaatkan oleh pemilik lahan untuk membuka lahan pertanian baru dengan cara membakar dikarenakan lebih efisien dan ekonomis dibandingkan membersihkan lahan dengan menebang dan membersihkan. Tidak sedikit pembakaran lahan terpaksa dilakukan masyarakat karena tingginya biaya hidup dari pada membuka lahan manual dan mekanik, membakar jauh lebih murah dan cepat. Akhirnya, petani kembali disalahkan. Ini menunjukkan rendahnya kesadaran masyarakat dan gagalnya edukasi yang dilakukan pemerintah untuk mencegah karhutla. Di sisi lain, negara justru menjadi pintu kemudahan bagi para pengusaha besar. Pemberian konsensi hutan menjadi karpet merah bagi korporasi yang ingin berinvestasi. Selain itu, kapitlisme juga melahirkan sikap eksploitatisf atas sumber daya alam seraya mengabaikan aspek moralitas. Hal tersebut menunjukan bahwa dalam pengelolaan hutan akan rentan terjadi penyelewengan dan penyimpangan hingga mengorbankan lingkungan dan masyarakat. Negara juga tidak menjamin dan memenuhi kebutuhan ekonomi petani sehingga mereka sendiri berjuang tanpa bantuan negara. Negara justru dengan mudah memberi konsesi hutan pada perusahaan besar. Terlebih untuk memperbanyak perkebunan sawit dan pertambangan serta properti.

Karhutla merupakan bencana ‘langganan’ di negeri ini. Setidaknya beberapa kali karhutla terparah antara lain, tahun 2015 dan 2019. Pada 2015, dengan karhutla hampir sebulan menghasilkan karbon harian lebih tinggi dari yang dikeluarkan Amerika Serikat. Sekitar 2.6 juta hektar terbakar. Menurut data Greenpeace, kabut apa dari karhutla saat itu mengakibatkan penyakit pernapasan dan lain-lain terhadap ratusan ribu orang di Asia Tenggara, serta memicu kerugian US$16 miliar di sektor kehutanan, agrikultur, pariwisata dan lain-lain. Pada 2019, ada seluas 1.639.500 hektar kembali terbakar. Setelah karhutla pada tahun 2015, berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan. Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Karhutla, yang kemudian diperbarui dengan Inpres Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Karhutla. Di lapangan, upaya penanggulangan kebakaran ini termasuk di antaranya dengan melarang petani tradisional di Kalimantan berladang dengan sistem tebas dan bakar sejak 2015. Namun pelarangan berladang ini telah merusak ketahanan pangan masyarakat tradisional, bahkan menjadi pemicu kemiskinan dan berbagai persoalan sosial di kalangan Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah.

Berdasarkan analisis Greenpeace Southeast Asia-Indonesia yang dibuat pada 2020 menyebutkan, dari 2015 hingga 2019, ada sekitar 4.440.500 hektar terbakar di Indonesia. Lahan seluas 789.600 hektar atau 18% dari 4.4 juta hektar terbakar berulang kali. Ironisnya, ada sekitar 27% lahan yang terbakar berlokasi di konsesi perusahaan sawit dan bubur kertas. Menurut Pasal 49 UU 1999 tentang Kehutanan, pemegang bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan di area mereka. Konsep ini, yang dinamakan strict liability atau tanggung jawab mutlak. Ia diperkuat Pasal 88 dari UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam regulasi, apabila konsesi perusahaan terbakar, maka perusahaan itu dapat dihukum dengan beragam sanksi, seperti denda, pencabutan izin, hingga gugatan perdata dan pidana.

Pemerintah berjanji menerapkan langkah-langkah akuntabilitas yang tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab menjaga lahan dibawa manajemen mereka dari kebakaran. Sayangnya, Greenpeace menemukan, perusahaan sawit dan bubur kertas dengan luas lahan terbakar terbesar sejak 2015-2019 secara umum tidak mendapatkan hukuman yang serius. Selain itu, dengan pengesahan UU Cipta Kerja juga menyebabkan hilangnya perlindungan lingkungan demi investasi. Dari sini sudah terlihat, bahwa karhutla berulang bukan hanya faktor cuaca, tetapi juga disebabkan unsur kesengajaan perusahaan/korporasi membakar hutan dan lahan. Dari aspek ini saja, kita patut mempertanyakan apakah pemerintah benar-benar serius untuk mengatasi karhutla.

Sistem yang saat ini diterapkan terbukti gagal dalam segala lini, tak terkecuali dalam mengelola lahan hutan. Karhutla ini merupakan salah satu imbas dari sekian banyak problematika yang dilahirkan dari sistem kapitalisme. Sejatinya, persoalan pengelolaan hutan di negeri ini hanya akan tuntas dengan penerapan sistem Islam. Syariat Islam telah menetapkan bahwa hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu ataupun negara. Individu tidak boleh memprivatisasi harta benda yang terkategori kepemilikan umum sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu Padang rumput, air dan api.” (HR. Abu dawud dan Ahmad)

Maka yang berhak mengelola hutan dalam hal ini adalah negara untuk kemaslahatan umat. Tidak boleh diserahkan kepemilikannya kepada seseorang atau swasta, terlebih asing. Sehingga hak rakyat tidak terpenuhi. Negara harus menjaga kelestarian hutan, terutama hutan gambut yang sangat bermanfaat untuk paru-paru dunia, penyimpan air pada saat musim hujan dan sebagai sumber air pada saat musim kemarau tiba. Selain itu hutan gambut adalah sumber habitat flora dan fauna yang menjaga keseimbangan alam.

Sungguh, rakyat adalah amanah yang harus dijaga negara. Pemimpin negara bertanggung jawab atas setiap jiwa-jiwa individu rakyatnya. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW. “Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin.” (HR. Muslim).

Setiap pemimpin memiliki tanggung jawab yang berat atas nasib rakyatnya. Tak hanya itu, negara pun wajib menetapkan regulasi yang kuat tentang aturan alih fungsi lahan, atau konsesi lahan. Karena kebijakan yang tak tepat akan berujung pada musibah bagi seluruh rakyat. Allah SWT. berfirman “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.”(QS. Al-A’raf 7: Ayat 56)

Islam memberikan solusi menyeluruh untuk mengatasi berbagai persoalan hidup. Allah Swt lebih Mengetahui segala sesuatu yang terjadi di atas muka bumi ini. Maka dari itu, kita perlu menerapkan kembali hukum syara’ sebagai landasan kehidupan. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an surah Ar-Ruum ayat 41 yang artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh tangan manusia, Allah menghendaki sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.”

Kerusakan alam, pencemaran lingkungan, kebakaran hutan, dll tidak akan pernah ada jika hukum syara’ diterapkan secara kaffah. Tidak hanya manusia saja yang mendapat jaminan kesejahteraan, tetapi alam juga mendapatkan haknya.

Wallahu’alam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *