Lembaga Akademis Menjadi Budak Kapitalis

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Ainur M. Dzakiyah (Penulis)

Ada udang dibalik batu. Ada maksud tersembunyi. Demikian peribahasa yang tepat untuk kebijakan yang dikeluarkan oleh menteri pendididikan Nadiem Makarim. Lembaga pendidikan tinggi yakni kampus seharusnya mencetak insan-insan unggul untuk memperbaiki kondisi masyarakat. Kenyataanya gelaran karpet merah untuk para industrialis terhampar panjang ke lembaga pendidikan tersebut.

Kebijakan yang diberi nama “Merdeka Belajar”: Kampus Merdeka ini mengubah empat hal.

Pertama, kampus punya otonomi membuka program studi baru. Syaratnya, perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta (PTN dan PTS) itu harus memiliki akreditasi A dan B. Sebelum peraturan ini berlaku, yang boleh membuka program studi baru hanya yang sudah berbadan hukum (perguruan tinggi negeri badan hukum/PTN BH)–jumlahnya 11, per April tahun lalu. Syarat tambahan: program studi tersebut baru dapat dibentuk jika kampus telah menjalin kerja sama dengan mitra perusahaan, organisasi nirlaba, institusi multilateral, atau universitas peringkat top 100 QS dan bukan di bidang kesehatan dan pendidikan.

kedua, diberlakukan dalam proses akreditasi. Lewat Kampus Merdeka, akreditasi “bersifat otomatis.” Sementara saat ini, akreditasi wajib dilakukan setiap lima tahun sekali.

Ketiga, Nadiem akan mempermudah PTN Badan Layanan Umum (BLU) untuk menjadi PTN BH. Hingga saat ini, yang dapat menjadi PTN BH hanya perguruan tinggi berakreditasi A.

Keempat, terkait sistem kredit semester (SKS). Poin ini berupaya untuk mengubah “definisi SKS,” kata Nadiem, yang tidak lagi diartikan sebagai “jam belajar,” tapi “jam kegiatan.” Dengan sistem baru ini mahasiswa berhak mengambil mata kuliah di luar program studi sebanyak dua semester atau setara 40 SKS. Karena bentuknya kini jadi ‘jam kegiatan’, SKS di sini maknanya lebih luas: ia tak hanya berbentuk belajar di kelas, tapi juga termasuk magang, pertukaran pelajar, wirausaha, riset, studi independen, maupun kegiatan mengajar di daerah terpencil.

Kebijakan tersebut lahir dilatar belakangi oleh 4 hal yaitu;
1. Mendorong perguruan tinggi lebih adaptif.
2. Mempercepat inovasi.
3. Menghilangkan paradigma pendidikan hanya tanggungjawab satuan.
4. Melatih mahasiswa lebih adaptif.

Pendidikan merupakan modal awal dalam membangun peradaban. Namun bila kita mencermati 4 kebijakan kampus merdeka yang diwacanakan oleh Nadiem Makarim tentu akan dipertanyakan peradabannya siapa yang akan dibangun, negara ini atau kerajaan bisnis?

Kampus termasuk bagian dari pengaturan dunia pendidikan. Jika salah satu komponen pendidikan ini tidak berjalan sesuai dengan orientasi pendidikan yang seharusnya maka dunia pendidikan akan pincang. Kampus yang dibekali dengan laboratorium, penelitian -penelitian terstruktur baik di bidang sosial dan science serta segala fasilitas yang dibutuhkan untuk menunjang kreativitas dan inovasi. Ditambah lagi SDM yang mumpuni di keilmuannya. Kampus juga berfungsi sebagai rujukan di masyarakat dalam menghadapi sebuah masalah.

Sayang sekali seiring berjalannya waktu, kampus yang memiliki peran strategis di masyarakat mulai terseret ke dalam arus liberalisasi. Semakin sempurna kebebasannya dengan adanya kebijakan kampus merdeka.

Setidaknya ada beberapa marabahaya yang akan terjadi bila kebijakan kampus merdeka ini benar-benar terlaksana. Diantaranya yaitu,

Pertama, pembukaan program studi baru . kebijakan kni akan membuat kampus berlomba-lomba untuk membuat prodi yang sesuai dengan keinginan dan selera pasar/industri. Bukan berorientasi pada kebutuhan di masyarakat. Apalagi dengan syarat tambahan program studi tersebut baru dapat dibentuk jika kampus telah menjalin kerja sama dengan mitra perusahaan, organisasi nirlaba, institusi multilateral, atau universitas peringkat top 100 QS. Sudah dapat ditebak orientasi pendidikan menjadi orientasi jualan. Terlebih dengan Status sebagai badan hukum pendidikan, maka negara bisa berlepas tangan dalam menyokong dana dan lepas kontrol.

Kedua, pembaruan sistem akreditasi yang otomatis. adalah upaya negara dalam berlepas tangan untuk menjadi barometer pendidikan di kampus. Peran standarisasi kualitas dan kuantitas akan semakin minim.

Ketiga,permudah kampus menjadi BHP akan berakibat pendidikan semakin mahal. Karena mekanisme badan hukum adalah mekanisme bisnis untung rugi. Kampus membiayai sendiri biaya operasionalnya. Tidak ada lagi subsidi dari pemerintah. Kampus bisa dipailitkan. Maka kampus akan membebankan baiayanya kepada mahasiswa yang berakibat biaya kampus mahal. sehingga semakin sulit dijangkau oleh keseluruhan rakyat. Terutama si miskin akan sulit mengenyam pendidikan tinggi.

Keempat, mahasiswa hadi budak kapitalis. Mahasiswa magang adalah cara licik kapitalis mendapatkan tenaga kerja murah.
kita jangan tertipu dengan bahasa fatamorgana program ini “adaptif”. Padahal bersamaan proses adaptasi mahasiswa yang magang di perusahaan, perusahaan mendapatkan tambahan tenaga kerja yang mau dibayar murah. Dengan beban pekerjaan sama dengan pekerja yang lain. Hal ini tentu sangat menguntungkan pengusaha karena dapat menekan ongkos produksi. Maka tidak lain ini adalah bentuk perbudakan terselubung yang “direstui” oleh pemerintah. Sehingga pemerintah berperan seperti agen-agen kapitalis yang materialis. Belum lagi tambahan “bonus” dari pemerintah juga ada pengurangan pajak bagi perusahaan yang mau “memberi ruang” untuk mahasiswa magang.

Negara seharusnya hadir dalam mengontrol dan melindungi warga negaranya. Termasuk di dalam pendidikan. Sebagaimana visi yang tercantum di dalam pembukaan Undang-undang dasar yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukan mengenyangkan para kapitalis.
Semua ini terjadi karena Indonesia melandaskan tata kehidupannya berdasarkan sistem kapitalisme. Sistem yang menguntungkan para pemilik modal. Negara hadir untuk menjadi pelayan para kapitalis.
Berbeda dengan Islam, orientasi pendidikan di dalam islam. Pendidikan di dalam Islam bervisi untuk menghasilkan insan yang berkepribadian islam, menguasai pemikiran Islam yang ganda, menguasai ilmu terapan dan mampu menyelesaikan problematika umat.

Negara punya kendali penuh untuk menahkodai kemana arah pendidikan negaranya. Sebagaimana rosulullah pernah mensubtitusi tebusan orang kafir berupa tawanan perang badar dengan mengajari sepuluh anak -anak dari kaum muslimin(membaca & menulis). Hal ini membuktikan bahwa negara punya kekuatan dan kedaulatan dalam mengatur kemaslahatan kehidupan. Bila negeri ini ingin bangkit maka Islam adalah solusinya. Kembali ke naungan negara bervisi mulia dengan landasan akidah. Negara tersebut adalah khilafah.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *