Ketersediaan Fasilitas Umum dan Kewajiban Negara

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh Nur Syamsiah Tahir (Praktisi Pendidikan, Pegiat Literasi, dan Member AMK)

 

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, fasilitas umum atau sering diakronimkan fasum adalah istilah umum yang merujuk kepada sarana atau prasarana atau perlengkapan atau alat-alat yang disediakan oleh pemerintah yang dapat digunakan untuk kepentingan bersama dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Contoh dari fasilitas umum antara lain : jalan raya, tempat sampah, tempat parkir khusus sepeda, trotoar, ruang terbuka hijau, taman kota, lampu penerangan jalan, lampu lalu lintas, papan penunjuk jalan, hidran, dan pelayanan pemadaman kebakaran. Sedangkan dalam menggunakan fasilitas umum, masyarakat tidak dikenai bayaran.

Dari definisi di atas, tampak jelas urgensi ketersediaan fasilitas umum tersebut bagi kehidupan seluruh rakyat. Keberadaannya tanpa tebang pilih, baik rakyat kaya maupun miskin, di perkotaan maupun di pedesaan, di daerah pantai dan daerah pegunungan. Karena sejatinya seluruh rakyat itu adalah warga negara yang memiliki hak yang sama, di mana pun mereka tinggal.

Terkait dengan hal itu, maka menjadi kewajiban negara untuk menyediakannya. Pembangunan demi pembangunan yang dilakukan semata-mata difokuskan pada ketersediaan fasilitas umum sebagai penunjang kelancaran kehidupan rakyatnya. Hanya saja di Indonesia sebagai negeri yang menganut sistem kapitalis, sumber pendanaan bagi pembangunan fasilitas umum menjadi perkara yang pelik, bahkan mencekik rakyatnya sendiri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pajaklah sumber pemasukan terbesar bagi kas negara, sehingga segala sesuatunya dikenai pajak. Selain itu, hutang juga menjadi sumber pemasukan dan pendanaan bagi pembangunan-pembangunan fasilitas umum tersebut. Pun hutang dalam sistem kapitalis pastilah berbunga, sehingga penunggakan-penunggakan yang terjadi terhadap pembayaran hutang akan semakin melambungkan jumlah hutang itu sendiri. Akhirnya rakyat jua yang akan dibebani untuk membayar hutangnya dengan cara pemerintah memalak rakyat melalui penarikan pajak. Tak ketinggalan, kerja sama dengan pihak swasta menjadi alternatif pilihan untuk penyediaan fasilitas umum bagi rakyat. Alhasil, swasta mengenakan tarif dalam hal pemanfaatan fasilitas umum tersebut. Contohnya pemanfaatan jalan tol, rakyat kian tercekik dengan adanya tarif tol yang kian hari kian melambung.

Sebaliknya, ketersediaan fasilitas umum dalam sistem pemerintahan Islam menjadi hal yang diprioritaskan dan tujuannya semata-mata demi kenyamanan dan kesejahteraan rakyatnya. Hal ini dikarenakan dalam sistem pemerintahan Islam, penguasa adalah ra’in (pemimpin) atau junnah (tameng). Pemimpin ini akan dimintai pertanggungjawaban tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat. Sebagaimana peristiwa yang pernah dialami oleh Umar bin Khattab ra, suatu hari Khalifah Umar bin Khatab r.a melihat kondisi jalan yang rusak lalu ia berkata “Aku akan segera perbaiki jalan itu sebab Aku takut dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt hanya karena ada seekor unta yang terjungkal”. Dari kisah ini jelas bahwa pengadaan fasilitas umum merupakan kewajiban negara, bukan kewajiban swasta apalagi personal.

Adapun sumber pendanaan bagi pembangunan fasilitas umum ini hanya dari satu pintu, yaitu Baitul Mal atau kas negara, saat kas negara ada maupun saat kosong. Jika kas negara kosong, sedangkan pembangunan fasilitas umum tersebut mendesak maka negara tetap akan mengupayakan pendanaannya melalui pinjaman dengan meminjam pada rakyat yang kaya dan tanpa bunga. Selanjutnya negara mencari cara bagi pembayaran pinjaman tersebut dengan cara memungut pajak pada rakyatnya. Hanya saja pungutan pajak dalam sistem Islam amat berbeda dengan pungutan pajak dalam sistem kapitalis.

Dalam sistem Islam, pajak/dharibah hanya dipungut pada orang-orang tertentu saja, yaitu dikhususkan pada rakyat yang kaya. Pungutan pajak ini pun hanya sementara alias temporal, yakni selama kas negara kosong. Apabila kas negara sudah mampu memenuhi pembiayaan atas urusan-urusan rakyat maka pungutan ini dihentikan. Selain itu, baitul mal juga memperoleh aliran dana melalui harta fa’i dan kharaj, yang pemanfaatannya telah ditentukan oleh Allah Swt. Sedangkan dalam sistem kapitalis, pajak dipungut dari rakyat secara keseluruhan tanpa terkecuali. Pungutan pajak ini puntanpa ada batas waktu, bahkan pajak dikenakan pada setiap elemen yang dimanfaatkan oleh rakyat, antara lain : jalan tol, listrik, telepon, tanah, bangunan, barang-barang konsumsi dan lain sebagainya. Sehingga rakyat dalam sistem kapitalis ini jauh dari kata hidup sejahtera.

Demikianlah sistem Islam mengatur kehidupan ini, sistem pemerintahan Islam ini telah berhasil terwujud selama ratusan tahun. Bahkan dengan sistem ini, Islam mampu menguasai 2/3 wilayah dunia. Amat berbeda dengan sistem pemerintahan kapitalis, dari tahun ke tahun keterpurukan saja yang terjadi. Kesejahteraan yang digaungkan hanyalah lipservis semata. Bagaikan fatamorgana. Kesejahteraan hanyalah kenikmatan bagi segelintir orang saja. Lalu, akankah kita akan terus bertahan dan mempertahankan sistem kapitalis ini?

Wallahu‘alam bi-ashawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *