Kasus Corona, Menguji Kedaulatan dan Kedewasaan Negara

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Ulli Annafia

Penghentian berbagai kegiatan belajar-mengajar baik di PAUD, Perguruan Tinggi sampai Ponpes, perkantoran, berbagai iven-ivenpun kini ditunda dan bahkan dibatalkan untuk beberapa waktu. Dimana keputusan ini telah diambil lebih awal oleh pemerintah daerah sebelum pemerintah pusat melakukannya. Sebagaimana demi pencegahan penularan virus corona yang semakin meluas maka harus dilakukan pencegahan sedini mungkin. Meski ini telah nampak sangat terlambat.

Bagaimana tidak? Dunia telah digegerkan oleh penyebaran virus corona yang telah menjadi pandemi. Ribuan korban telah berjatuhan. Berbagai tindakan extra pencegahan corona dari isolasi sampai lockdown atas suatu daerah bahkan negara. Namun di saat bersamaan Indonesia masih merasa aman, sebagaimana pernyataan presiden bahwa Indonesia zero corona.

Maka tiada satu kebijakanpun yang dilakukan pemerintah dalam pencegahan. Seperti masih bebas mengeluar masukkan tauris asing yang berasal dari negara yang terjangkit, tidak menghentikan ataupun mengurangi kegiatan perkumpulan-perkumpulan. Hingga akhirnya Indonesia pun benar-benar berjatuhan korban.

Per 22 Maret total pasien positif virus corona bertambah 525 dan 25 meninggal dunia. Dan para dokterpun yang berada digarda terdepan ikut berjatuhan dan meninggal dunia. Namun, masih saja pemerintah tidak mengambil kebijakan. Hingga nampak masih bebasnya masyarakat yang belum memiliki kesadaran akan bahaya corona melakukan berbagai kegiatan perkumpulan dengan berbagai dalih.

Miris dan mencekam, korban terus berjatuhan. Ditambah desakan dari berbagai lembaga, masyarakat dan ulama untuk melakukan lock donwpun masih terabaikan. Maka, tiada akan tergambar sampai kapan corona akan terentaskan dari negeri ini?.

Yang ada pada pernyataan Presiden Jokowi dalam penyampaian keterangan pers di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (16/3/2020). Bahwa lock down adalah kebijakaan pemerintah pusat dan jika pemerintah daerah melakukan tindakkan ini tanpa konsultasi terhadap pemerintah pusat akan dikenakan pidana. Sebagaimana UU Kekarantinaan Kesehatan Pasal 9 ayat 1 dan Pasal 49 ayat 4 serta pasal 93. (tirto.id)

Sikap yang nampak ambigu dan memunculkan seribu tanya bagi masyarakat melihat nyawa rakyat yang ditaruhkan dengan kesia-siaan. Bukan sikap tanggap mengedukasi rakyat dan memberikan perlindungan secara baik dan bertanggungjawab namun malah menimbulkan kegaduhan dan ancaman bagi pihak yang ingin melakukan tindakan. Suatu hal yang sangat disayangkan dan tentu kekecewaan sang sangat besar bagi rakyat.

Rakyat ingin dilindungi dan dijamin keamanannya namun malah pada kepentingan lain diutamakan. Sebagaimana pernyataan Prof. dr. Hasbullah Thabrani, MPH, Dr. PH. dalam wawancaranya di acara Apa Kabar Indonesia Malam tv One, bahwa pemerintah belum siap untuk lockdown terkait cadangan kebutuhan masyarakat yang belum ada. Yang artinya negara tidak memiliki apa-apa untuk diberikan kepada rakyatnya.

Hal ini menampakkan ketelanjangan atas kelemahan dan ketidakberdayaan negara sebagai periayah rakyatnya. Memiliki jumlah penduduk lebih dari 271 juta adalah sebuah negara besar yang haruslah memiliki kekuatan dan kedewasaan dalam mengatasi berbagai problem yang muncul termasuk kasus corona ini.

Sikap negara yang nampak tidak transparan dan tidak sigap adalah wujud dari kebingungan dan ketidak berdayaan negara dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya, termasuk dalam perlindungan. Sebagaimana sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Menjadikan semua kebutuhan rakyat menjadi barang komersil yang wajib diperjualbelikan. Sehingga hilanglah peran negara sebagai periayah. Sebagaimana pelayanan kesehatan yang diserahkan kepada BPJS misalnya. Maka secara tidak langsung menjadikan kesehatan rakyat tergadaikan di tangan BPJS. Maka wajar jika negara tidak memiliki cadangan dana untuk membiayai dibidang kesehatan atas penanganan corona ini.

Di sisi lain negara telah terjerat hutang riba yang jelas-jelas mengadaikan kedaulatan negara. 16 treliun tentu hutang yang tidak mampu ternalar jika melihat SDA yang melipah di negeri yg besar ini.

Benarlah negara yang hanya sebagai regulator tidaklah memiliki kekuatan penuh dalam menjaga keamanan rakyatnya dan bahkan negaranya. Sebab, bagaimanapun negara itu terbagun kekuatan atas rakyatnya. Maka begitupun terkait kebutuhan pokok sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan yang telah dikomersilkan. Menjadikan tanggungjawab negara hilang atas rakyatnya. Bukan negara memberikan kepada rakyat melainkan bagaimana negara bisa mengambil untung atas rakyatnya. Begitulah kapitalis yang hanya memperhitungkan untung-rugi bukan kemaslahatan rakyat lagi.

Maka kemana dana akan dikucurkan untuk penaganan kasus corona ini, sedang keuangan negara sendiri sedang sekarat dalam membayar hutang, bahkan stabilitas ekonomi negarapun sedang tertekan. Begitupun BPJS yang mengalami defisit. Alih-alih negara akan melakukan lockdown dan pengucuran dana yang tinggi dalam penanganan corona melainkan negara kebingungan akan perekonomian yang semakin memburuk ditambah dengan kondisi ini.

Maka perlu berkaca diri dan dengan rasa tanggungjawab tinggi menoleh kembali kepada negara adidaya di 14 abad silam. Islam yang mampu menguasai 2/3 dunia, memiliki kekuatan yang tak terkalahkan dan bahkan menjadi kiblat dunia dalam segala bidang keilmuannya.

Bagaimana tidak? negara yang dibagun atas keimanan dan ketakwaan kepada Sang Pencipta menjadikan semua perbuatan yang dilakukan atas perintah-Nya semata. Maka, jadilah Islam negara adidaya karena ia menjalankan segala kewajiban yang ditanggunnya. Menjamin berbagai kebutuhan pokok seluruh rakyatnya, baik muslim maupun non muslim. Sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, keamanan dan bahkan kebutuhan-kebutuhan yang dinilai urgen lainnya. Yang semua diambil dari Baitul Mal.

Maka jadilah rakyat merasa memiliki pelindung dan perisai dalam kehidupan. Kehidupan menjadi sejahtera dan terjaga atas keimanan setiap insannya. Ridha atas pemerintahan dan berbagai kebijakan yang mengantarkan kepada kemaslahatan. Sebab, tiada tujuan negara melainkan menegakkan dan menjaga Dinnul Islam.

Maka, ketika negara mengalami kesulitan rakyat akan berbondong-bondong untuk memberikan pengorbanan terbaiknya, baik harta maupun nyawa. Hal ini tentu dibangun atas keimanan dan ketundukan atas Islam. Disinilah negara benar teruji akan kedaulatannya. Bahwa negara memiliki kekuatan yang penuh atas kepemimpinannya. Tiada bergantung kepada satu negara asingpun.

Sebagaimana terjadinya kasus penyakit yang mewabah di negara khilafah. Yang telah terjadi dimasa pemerintahan Rasulullah dan Umar bin Khatab misalnya. Negara akan sesegara mungkin melakukan isolasi dan bahkan lockdown bagi wilayah yang telah terjangkiti. Sebagaimana sabda Rasulullah yang juga diterapkan dalam pemerintahan Umar bi Khatab
“Jika kalian mendengar wabah terjadi disuatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya jika wabah itu terjadi ditempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu” (HR. al-Bukhari)

Begitulh mereka yang sedang berada di wilayah wabah akan rela untuk memutus interaksi dengan anak istri dan kerabat demi menghentikan penyebaran penyakit itu. Meski mereka harus mati, sebab mati dengan seperti itu adalah syahid.
“Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang yang mati syahid ada lima macam, yaitu orang yang kena tha’un (wabah), orang yang mati karena sakit perut, korban tenggelam, korban yang tertiban reruntuhan, dan orang syahid di jalan Allah.’” (HR Bukhari dan Muslim).

Sehingga mereka ridha terhadap keputusan itu dan secara serempak melakukan pertobatan dan permohonan ampunan atas kemasiatan yang telah dikerjakan. Kemudian dari wilayah-wilayah lain dalam negara Islam akan membantu dengan mengirimkan berbagai kebutuhan pokok, makanan dan pengobatan lainnya.

Yang kemudian dalam waktu singkat wabah itupun dapat teratasi atas ijinNya tentunya. Tanpa harus menambah para korban berjatuhan dan menelantarkannya tanpa penanganan. Sebab, sikap demikian adalah kekejaman yang sangat bagi rakyatnya.

Maka sudah seharusnya kita sebagai muslim kembali kepada ajaran islam yang seutuhnya. Sebagaimana Rasulullah mencontohkan. Tiada pilihan lain atas islam untuk kehidupan yang mulia dan memuliakan.

Wallahu A’lam bisshawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *