Jaminan Halal Terganjal Kapitalisasi Sertifikat Halal

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Jaminan Halal Terganjal Kapitalisasi Sertifikat Halal

 

Oleh Dwi Indah Lestari

(kontributor Suara Inqilabi)

 

Bagi kaum muslim, mengonsumsi produk halal bukan hanya kebutuhan, namun juga kewajiban. Namun mampukah negara menjaminnya di tengah kapitalisasi sertifikat halal?

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menegaskan bahwa pada tahun 2024, produk-produk yang beredar di Indonesia namun belum mengantongi sertifikat halal akan dikenakan sanksi. Pada penahapan pertama yang berakhir tanggal 17 Oktober 2024, ada tiga produk yang wajib bersertifikat halal, yaitu produk makanan dan minuman, bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong untuk produk makanan minuman, serta produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan (beritasatu.com, 7/1/2023).

Jaminan Pangan Halal, Tanggung Jawab Negara

Memang sudah semestinya negara memberikan jaminan halal pada produk-produk yang beredar di tengah masyarakat. Apalagi mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim yang memang wajib mengonsumsi barang yang halal. Pemerintah memang telah mengatur hal ini dalam PP No. 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal yang merupakan pelaksanaan amanat dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Melalui peraturan tersebut, pemerintah mewajibkan semua pelaku usaha harus sudah memiliki sertifikat halal hingga tenggat waktu yang telah ditentukan pada produknya. Bukan hanya pelaku usaha menengah hingga besar, kewajiban ini juga menyasar usaha mikro dan kecil. Nantinya para pedagang kecil seperti tukang bakso dan penjual gorengan pun wajib menyertakan sertifikat halal pada jualannya. Bila tidak, mereka harus siap menerima sanksi mulai dari peringatan, denda, hingga penarikan produk.

Sayangnya, dalam sistem kapitalisme yang saat ini diterapkan, sertifikat halal dijadikan komoditas yang turut dikapitalisasi dengan tarif yang telah ditentukan besarannya. Para pelaku usaha perlu membayar sejumlah biaya untuk mendapatkannya. Paradigma sekuler yang mendasari sistem ini menjadikan dorongan untuk memberikan sertifikat dan label halal pada produk bukan lagi karena keimanan, namun faktor ekonomi dan nilai materialistik semata.

Padahal sejatinya penjaminan produk halal merupakan tanggung jawab negara untuk memastikan setiap warga negara muslim dapat menjalankan kewajiban syariat tersebut. Agar dapat tertunaikan secara sempurna, semestinya negara menyediakannya secara gratis, sebagai bagian dari pelayanannya kepada rakyat. Bahkan seharusnya, negara menerapkan sistem yang dapat memastikan barang yang beredar di tengah masyarakat, sepenuhnya halal mulai dari hulu hingga hilir.

Meskipun negara telah menyediakan program Sertifikasi Halal Gratis (Sehati) yang memberikan satu juta sertifikat secara gratis sepanjang tahun 2023. Namun demikian, sertifikat yang sudah didapatkan memiliki masa berlaku, yaitu selama empat tahun. Setelahnya pelaku usaha wajib memperpanjang dengan dikenai tarif berkisar Rp200.000 hingga Rp5 juta, sesuai level usaha. Biaya ini akan memberatkan terutama pada usaha mikro dan kecil yang sejatinya justru membutuhkan sokongan modal.

Beginilah yang terjadi ketika negara dijalankan dengan memakai sistem kapitalisme. Segala sesuatu dipandang dari nilai materinya saja dan dapat dijadikan sebagai ladang bisnis untuk mengeruk keuntungan. Sementara rakyat terus menjadi korban pemalakan melalui berbagai cara. Ironisnya, hal ini dilegalkan lewat konstitusi yang dikeluarkan oleh penguasa, sehingga rakyat tak dapat berbuat apa-apa.

Jaminan Pangan Halal dalam Sistem Islam

Islam mewajibkan kepada setiap muslim untuk hanya mengonsumsi makanan yang halal dan thoyib (baik).

“Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (TQS. Al Maidah: 88)

Untuk itu, sistem Islam telah memberikan tuntunan agar kewajiban ini dapat dijalankan kaum muslim, yaitu oleh negara. Tanpa pengaturan oleh negara, tentu sangat sulit bagi setiap individu untuk dapat memastikan bahwa apa yang dikonsumsinya memang sesuai dengan ketentuan syariat. Selain itu, Islam telah meletakkan pengurusan umat Islam di tangan seorang imam atau pemimpin, yaitu Khalifah.

“Seorang imam (pemimpin) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat). Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya,” (HR. Bukhari dan Muslim)

Karenanya negara akan menjamin kehalalan produk yang beredar dan dikonsumsi oleh rakyatnya dengan dorongan ketaatan kepada Allah Swt. Negara dengan sistem Islam juga akan bertindak sebagai pengawas sekaligus mendanai setiap upaya untuk menjamin kehalalan seluruh produk. Penjaminan produk halal dilakukan mulai dari pembuatan bahan, proses produksi hingga distribusi. Prosesnya akan dikontrol dan diawasi oleh para ahli dan ulama yang disediakan oleh negara.

Bahkan negara juga akan mensterilkan pasar dari bahan-bahan yang diharamkan. Dengan begitu, masyarakat tidak perlu bingung untuk membedakan antara bahan halal dan haram. Sekain itu juga akan menempatkan qadhi (hakim) untuk berpatroli di pasar-pasar yang bertugas melakukan kontrol terhadap barang-barang yang diperjualbelikan. Bila ditemukan pelanggaran, hakim akan memberikan sanksi tegas sesuai ketentuan syariat.

Sementara terkait penduduk nonmuslim, maka Khilafah memperbolehkan mereka untuk mengonsumsi apa saja sesuai ketentuan agamanya. Jadi, mereka boleh saja minum minuman keras atau memakan daging babi. Hanya saja mereka diizinkan melakukan di rumahnya atau kehidupan privatnya saja. Mereka dilarang memperlihatkannya di kehidupan umum, termasuk memperjualbelikannya di tengah masyarakat.

Hanya dengan pengaturan dalam sistem Islam saja, masyarakat akan merasakan ketenangan saat mengonsumsi makanan dan minuman. Jaminan produk halal betul-betul akan terealisasi. Sebab sistem Islam sungguh-sungguh melakukan penjagaan dan perlindungan terhadap umat, termasuk apa saja yang mereka konsumsi. Begitu pula memperlakukan rakyat, baik muslim maupun nonmuslim dengan adil dan sebaik-baiknya.

Wallahu’alam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *