Jalan Tol Getaci: Antara Kebutuhan atau Keuntungan 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Jalan Tol Getaci: Antara Kebutuhan atau Keuntungan 

Oleh Rianny Puspitasari

Pendidik

Pembangunan jalan tol terus digencarkan. Sarana yang dibuat untuk memudahkan jalur perlintasan antara wilayah satu dengan yang lainnya. Tidak jarang pengadaannya terkesan memaksakan, karena menelan dana yang fantastis sementara perekonomian masyarakat sedang tidak baik-baik saja. Satu sisi, bahkan dijadikan sebagai ajang prestasi bagi sebuah rezim kepemimpinan.

Pembangunan tol Getaci (Gedebage-Tasikmalaya-Cilacap), rencananya akan melintasi 2 provinsi yakni Jawa Barat dan Jawa Tengah. Proyek ini digadang-gadang akan menjadi jalan tol terpanjang di Indonesia dengan total 206,65 km. Setidaknya ada 6 desa di Kabupaten Bandung yang akan tergusur dengan luas total 72,16 hektare, dan wilayah Bojong menjadi lahan terbesar diantara lima lainnya yaitu sekitar 66,85 hektare. Sayangnya, hingga saat ini pembayaran Uang Ganti Rugi (UGR) di wilayah tersebut belum juga ditunaikan bahkan kegiatan musyawarah UGR pun belum ada tanda-tanda akan diadakan. Padahal rencananya pembangunan tahap 1 akan dimulai akhir tahun 2023 dan target perkiraan akan rampung pada tahun 2024. (TribunPriangan.com, 12/8/23)

Tujuan awal pembangunan jalan tol adalah untuk memperlancar konektivitas dan meningkatkan perekonomian masyarakat, khususnya di Jawa Barat bagian Selatan. Adapun nilai investasinya sebesar Rp 56,20 triliun. Sebuah angka yang sangat fantastis. Pertanyaannya, seberapa penting pembangunan jalan tol bagi masyarakat? Benarkah demi meningkatkan ekonomi masyarakat?

Tarif jalan tol saat ini tidaklah murah. Tidak mungkin dijangkau oleh masyarakat bawah. Di samping itu lahan rakyat yang tergusur kadangkala menyisakan masalah bagi pemiliknya. Sudah seharusnya dipertimbangkan dalam pelaksanaannya. Karena yang akan banyak diuntungkan bukanlah rakyat kecil, melainkan para pengusaha besar yang telah mengeluarkan modal besar untuk mewujudkan sarana infrastruktur ini. Mereka lah yang selama ini diberi kemudahan dan diutamakan kepentingannya oleh penguasa.

Begitu jelas watak kapitalisme dalam kebijakan rezim. Dimana para pemilik modal yang membiayai para penguasa untuk bisa naik ke tampuk kekuasaan, akan lebih didahulukan kepentingannya dibanding rakyat. Padahal saat ini yang mendesak dan sangat dibutuhkan masyarakat adalah harga kebutuhan pokok yang terjangkau, pendidikan dan kesehatan murah, juga keamanan yang terjamin. Namun sayang, hal itu seolah tidak menjadi prioritas para pemimpin negeri.

Kapitalisme merupakan sebuah paham dimana pemilik modal (capital) memiliki kekuasaan untuk membuat aturan. Aturan dibuat sedemikian rupa supaya bisa menguntungkan diri dan kelompoknya. Meskipun klaim yang ditonjolkan adalah demi kemaslahatan publik, namun dibalik itu semua selalu ada motif ekonomi yang dijadikan tujuan. Suatu hal wajar, karena saat ini kehidupan kita diatur oleh sistem hidup yang menjadikan arah pandangnya difokuskan pada pundi-pundi materi. Maka tidak heran jika segala kebijakan penguasa pun tidak akan jauh dari kepentingan materi.

Tentu akan sangat jauh berbeda dengan Islam. Sebagai sebuah ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan dengan aturan dari Sang Pencipta, maka dipastikan tidak akan melenceng dari fitrah keadilan hakiki. Dalam sistem ini, infrastruktur merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan oleh penguasa untuk memudahkan urusan rakyatnya. Bukan untuk kepentingan sebagian orang, tapi benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Pembangunannya pun dipastikan tidak akan merugikan umat. Dalam pengadaanya, negara tidak boleh memungut biaya dari rakyat, dan tidak boleh ditujukan untuk mencari keuntungan. Jika pun harus ada nilai yang harus dibayarkan, hanya sebatas untuk pemeliharaan saja.

Di dalam Islam, hubungan yang terjalin antara penguasa dan rakyat bukanlah antara pengusaha dan konsumen. Dalam hadis disampaikan bahwa pemimpin adalah pelindung bagi rakyat, sebagaimana sabda Rasulullah:

“Sesungguhnya al imam (khalifah) itu (laksana) perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (Khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (khalifah) mendapat pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapat siksa” (HR. Al Bukhari, Muslim, An-Nasa’I, Abu Dawud, Ahmad)

Hadis ini tentu menjadi pakem bagi pemimpin dalam menjalankan amanahnya sebagai penguasa. Begitu besar perannya dalam melindungi, sehingga rakyat akan menjadi prioritas utama dalam melaksanakan aturan Allah Swt. Terlebih di dalamnya ada janji pahala dan ancaman siksa yang seharusnya menjadi pengingat bagi penguasa untuk lebih berhati-hati dalam mengemban amanahnya. Tidakkah kita rindu dengan diterapkannya hukum Islam di tengah kancah kehidupan ini? Semoga Allah mudahkan perjuangan untuk menegakkannya.

Wallahu ‘alam bishshowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *