Isu Terorisme Menstigma Islam, Rezim Liberal Kian Menghunjam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh Leihana (Ibu Pemerhati Umat)

 

Ibarat maling teriak maling, isu terorisme selalu diarahkan kepada umat Islam oleh rezim saat ini. Ironisnya justru penguasa saat ini lebih banyak memberi rasa takut di tengah masyarakat akan impitan ekonomi, rasa ketidaknyamanan, pendidikan, dan sosial yang kian kacau.
Semua ini akibat salah kelola negeri ini dengan aturan liberal yang merusak. Bahkan tidak tanggung-tanggung stigma terorisme ini dialamatkan kepada para ulama yang aktif menyerukan kebenaran dan menjaga umat dari kemaksiatan.

Meskipun munculnya isu terorisme pelakunya umat Islam tetapi pemerintah selalu menolak jika isu terorisme ini membawa napas islamofobia. Seperti yang diungkapkan oleh anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Muhammad Nasir Djamil, bahwa Densus 88 Antiteror Polri dan Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT) harus menjawab keraguan masyarakat terhadap tindakan penangkapan tiga terduga anggota terorisme Ahmad Zain an-Najah (AZA), Anung al-Hamad (AA), dan Farid Ahmad Okbah (FAO) yang sarat akan muatan islamofobia. Ungkapan Nasir tentu berdasarkan adanya opini keraguan masyarakat terhadap upaya ini memang dianggap masyarakat adalah bentuk islamofobia (Republika co.id, 21/11).

Meski pihak Polri dan BNPT terus berusaha menepis dugaan masyarakat akan adanya muatan Islamofobia, dalam penangkapan terorisme dengan menyampaikan bahwa yang tengah ditangkap memiliki dugaan kuat melakukan tindak terorisme. Namun data berbicara bahwa jelas seluruh hasil kerja BNPT selama tahun 2021 adalah ditangkapnya 216 terduga terorisme yang semuanya beragama Islam. Yakni terdata dari bulan Januari hingga Mei 2021, terdapat 216 orang dengan rincian sebagai berikut, yang terkait jaringan Jamaah Al Islamiah ada 71 orang, kemudian kedua kelompok Jamaah Ansharut Daulah 144 orang, dan satu orang adalah terkait deportan
(Kompas.com, 27/11).

Dugaan kuat masyarakat bahwa penangkapan terduga terorisme ditujukan untuk menciptakan Islamofobia (kebencian atau ketakutan terhadap Islam) menjadi berdasar karena sepanjang tahun 2021 tentu ada juga pelaku terorisme yang beragama nonmuslim seperti anggota KKB Papua yang sampai membunuh kepala BIN Papua adalah nonmuslim, tetapi nyatanya tidak kunjung ditangkapi oleh Densus 88 maupun BNPT.

Densus 88 Antiteror seakan-akan dibentuk khusus untuk menangkap terduga teroris yang muslim saja. Hal ini karena tindakannya yang cepat dan keras dalam menindak tersangka yang muslim, tetapi justru lamban dalam kasus terorisme yang dilakukan nonmuslim.

Kasus yang ditangani dari para tersangka pun tidak menunjukkan ada tindakan kekerasan atau upaya terorisme lainnya yang dilakukan terduga pelaku terorisme yang beragama Islam. Seperti yang dilakukan Densus 88 Lampung yang menangkap dua tersangka teroris berinisual SU dan DRS, di wilayah Lampung. Keduanya, merupakan pejabat Lembaga Amil Zakat (LAZ) Baitul Maal (BM) Abdurahman bin Auf (ABA), di Lampung. (Beritasatu.com, 3/11).
Semua sebatas dugaan memiliki keterkaitan dengan organisasi terorisme tidak ada bukti langsung tersangka melakukan terorisme.
Informasi yang diungkapkan Densus 88 kepada publik selalu menggunakan informasi dugaan yang tidak memiliki bukti langsung. Seperti yang diungkapkan Kabag Bantuan Operasi Densus 88 Kombes Aswin Siregar. “Program wakaf produktif, yaitu menerima wakaf atau hibah dari perorangan yang biasanya merupakan anggota JI, seperti wakaf produktif kebun kurma seluas kurang lebih 4 hektare di Lampung yang dikelola S. Hasil panen dimasukkan dalam hasil pendapatan ABA (Abdurrahman Bin Auf) pusat.” (Detiknews.com, 12/11).

Redaksi kata ‘biasanya’ menunjukkan belum ada bukti pasti bahwa orang terkait adalah bagian dari anggota JI. Memang sudah menjadi rahasia umum menjelang
pemilu dan akhir tahun isu terorisme makin intensif diangkat. Bahkan di-blow up angka keberhasilan penangkapan, dikaitkan dengan banyak hal yang diasosiasi dengan Islam (tokoh ulama, dana zakat, kebun kurma, organisasi Islam dan ulama (MUI), pemahaman jihad).

Isu terorisme terus digoreng guna menutupi banyak
ketidakberesan penguasa mengatur negeri ini. Seperti halnya penanganan pandemi Covid-19 yang tak kunjung menemui jalan keluar tetapi justru menjadi ajang bisnis basah para penguasa. Isu ini terus ditutupi dengan mengarahkan opini kepada agama Islam. Tujuannya tiada lain agar tersebar, bahwa Islamlah sebagai agama yang memproduksi teroris.

Padahal secara pengertian KBBI teror adalah upaya memberi rasa takut terhadap komunitas atau masyarakat. Faktanya saat ini yang ditangkap adalah orang-orang yang menjaga umat, mengayomi, dan mengarahkan menuju jalan keselamatan.

Adapun ketakutan sesungguhnya yang dirasakan mayoritas masyarakat adalah rasa takut akan kemiskinan ekonomi yang semakin meningkat. Harga-harga kebutuhan pokok yang kian melangit. Bukan hanya itu masyarakat dihantui oleh virus yang entah kapan akan menghilang.

Jika ditelisik adanya penangkapan para ulama dan umat Islam menegaskan adanya proyek sistematis menstigma buruk Islam. Dari sini juga terlihat bahwa adanya pembentukan Islamofobia semakin kentara.

Muslim dan ajaran Islam seperti jihad dan khilafah menjadi sasaran stigma terorisme. Padahal nyatanya stigma terhadap Islam, umat dan ajarannya adalah salah alamat. Sebab, jika kembali pada pengertian teror adalah upaya memberi rasa takut justru yang pantas menyandang gelar teroris adalah pemerintah saat ini. Pemerintah yang menerapkan aturan liberalisme sekuler yang terus menyengsarakan rakyat.
Masyarakat pun bisa menilai adanya ketidakadilan dari pemerintah manakala pelakunya bukan muslim justru bersikap lembek sedangkan kepada umat Islam sebaliknya.

Bukti dan data telah jelas menunjukkan Densus 88 memang hanya menangkapi umat Islam. Sehingga upaya stigmatisasi Islam sebagai teroris benar adanya. Padahal banyak bukti langsung yang bermunculan di tengah masyarakat, bahwa ulama yang ditangkapi adalah individu masyarakat yang sangat baik dan tidak pernah melakukan tindak terorisme. Bahkan organisasi Islam yang menaungi para ulama yaitu MUI menjadi sasaran stigmatisasi teroris hanya karena mengeluarkan pendapat bahwa khilafah adalah ajaran Islam.

Upaya stigmatisasi terhadap Islam ini memang skenario musuh-musuh Islam yang tidak pernah rida terhadap Islam apalagi jika diterapkan secara kafah di bawah naungan khilafah. Sebagaimana yang Allah kabarkan dalam surat al-Baqarah:
وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ ٱلْيَهُودُ وَلَا ٱلنَّصَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى ٱللَّهِ هُوَ ٱلْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ ٱتَّبَعْتَ أَهْوَآءَهُم بَعْدَ ٱلَّذِى جَآءَكَ مِنَ ٱلْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن وَلِىٍّ وَلَا نَصِيرٍ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)’. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.(TQS. al-Baqarah:120).

Untuk dapat mengalahkan skenario jahat musuh Islam ini, maka kita harus melakukan hal yang mereka takut. Jangan pernah mengikuti apalagi menjadi antek mereka seperti rezim saat ini. Umat Islam harus terus melakukan perjuangan syariat Islam hingga diterapkan secara kafah dalam institusi negara khilafah. Jangan berikan peluang atas yang mereka lakukan dengan menerapkan sistem aturan kapitalisme–sekuler.

Wallahu a’lam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *