ISLAM DAN POLITIK  

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

ISLAM DAN POLITIK

 

 Irawati Tri Kurnia

(Aktivis Muslimah)

 

Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa Islam dan Kekuasaan ibarat saudara kembar. Ini menunjukkan eratnya hubungan keduanya, ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Fungsi kekuasaan adalah untuk menjaga agama, sedangkan kekuasaan mengatur dengan agama.

Agama Islam terdiri dari akidah dan syariah. Syariah berfungsi sebagai pemberi solusi problem kehidupan. Dan syariah ini membutuhkan kekuasaan untuk menerapkannya. Hubungan harmonis keduanya kini dirusak oleh sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga banyak yang bilang bahwa jika bicara politik jangan bawa-bawa agama. Tapi herannya, saat berkampanye, membawa simbol-simbol Islam. Jadilah politisasi Islam, memanfaatkan Islam untuk mendapatkan kekuasaan.

Saat ini sistem politik yang ada demokrasi, di mana pemilik kedaulatan adalah rakyat. Terlebih saat kemarin saat pesta demokrasi, ternyata lebih terlihat sekali rakyat hanya dieksploitasi untuk mendapatkan suara demi tampuk kekuasaan. Begitu kekuasaan didapat, rakyat disingkirkan. Terlihat sekali bahwa demokrasi hanyalah ilusi.

Apa lagi demokrasi penuh trik dan manipulasi.  Terlihat saat rekayasa aturan usia cawapres oleh MK kemarin sebagai puncaknya, di mana sebelumnya sudah banyak rekayasa lain yang terstruktur dan sistemik. Ini telah didokumentasikan dalam film dokumenter “Dirty Vote” (1). Terlihat bahwa regulasi mengabdi pada kekuasaan.

Rekayasa oleh MK berkaitan usia cawapres, sangat mengherankan. Mengapa bukan pihak parlemen (baca : DPR) yang merumuskan hal ini. Mengapa MK? Ini menunjukkan  penguasa berhak mengatur segalanya, termasuk mengarahkan produk hukum MK mendukung politik dinasti. Puncaknya, saat pengumuman resmi KPU dirilis, MK dipenuhi tuntutan para paslon yang kalah untuk membatalkan keputusan KPU berkaitan blunder MK ini, juga tuntutan dari banyak pihak untuk mengembalikan kedaulatan pada pemiliknya semula, yaitu rakyat. Semua bermuara pada siapakah yang sesungguhnya berdaulat memutuskan hal ini?

Jika dikembalikan pada fakta, manusia punya keterbatasan. Jika kita melihat Amerika sebagai teladan demokrasi negara di seluruh dunia, terlihat fakta bahwa tahun 1950-an pernikahan sesama jenis menjadi sesuatu yang tabu. Tapi dengan dengan berjalannya waktu hal ini legal di beberapa negara bagian. Begitu juga di negara ini, bahwa riba itu haram tapi ini dilegalkan oleh undang-undang dengan berdirinya bank konvensional yang mendominasi walau ada bank syariah tapi sifatnya hanya sub ordinat. Ini menunjukkan manusia mempunyai keterbatasan dalam memandang hakikat kebaikan hakiki, selalu relatif. Bahkan MK Amerika saat memvoting tentang pernikahan sejenis, menang 5 suara dibanding 4. Ini ironis, karena kalah menang sesuatu yang buruk hanya bergantung pada 1 suara. Sangat absurd dan tidak masuk akal.

Jika kita menggambarkan tentang penerapan syariah, ini berkaitan dengan keyakinan kita pada Allah SWT. Seperti keyakinan kita pada dokter. Jika kita sakit, kita langsung periksa ke dokter. Diperiksa pun nurut, disuruh pantangan pun nurut, disuruh minum obat pun patuh. Pada dokter yang manusia saja kita yakin, mengapa kita masih tidak yakin pada Allah SWT sebagai Zat Yang Yang Maha tidak ingkar janji? Tentu jika masih tidak yakin, ini tidaklah logis. Allah lah pemilik kedaulatan hakiki, syariatNya lah yang berdaulat. Sedangkan dokter saja masih sering mal praktik.

Saat ini masyarakat berharap pada sebuah sistem yang mampu menciptakan pertumbuhan, pemerataan yang menghasilkan kesejahteraan, kestabilan dan keadilan. Dan ini hanya ada pada sistem Islam. Karena kapitalisme dan sosialisme hanya akan menghadirkan kesengsaraan dan penderitaan. Kapitalisme hanya memihak pada pemilik modal, sedangkan sosialisme memberangus hak individu.

Kedaulatan di tangan rakyat adalah pikiran sekuler. Dan sekulerisme ini harus segera dienyahkan dari benak umat Islam. Kita umat Islam adalah hamba Allah, manusia yang diciptakan Allah, telah nyata kelemahan akalnya. Saat akal manusia menerapkan aturan buatannya, itu menjadi bumerang bagi dirinya. Karena justru aturannya yang akan membuat dirinya sengsara. Semua disebabkan karena lemahnya akal membuat aturan tersebut terbatas, tidak mampu menghadirkan solusi yang hakiki.

Oleh karenanya, pemisahan agama dengan politik juga negara dalam Islam, adalah hal yang tidak logis. Tidak sesuai dengan fitrah manusia yang mempunyai kecenderungan alamiah menyucikan Allah SWT. Maka ini, saat bulan Ramadan, menemukan momennya. Bahwa kita ingin menghadirkan pembiasaan positif pada diri kita, yaitu pembiasaan untuk taat pada aturanNya. Jangan sebatas aturan yang bersifat individualistik seperti salat, zakat, menutup aurat, umrah, naik, haji, nikah, waris, dan lain-lain. Tapi termasuk syariat yang berkaitan dengan kebijakan publik, yang kaitannya dengan kebijakan negara untuk masyarakat secara keseluruhan baik muslim dan non muslim. Sejarah membuktikan, non muslim justru dinaungi, dilindungi, disejahterakan oleh penerapan Islam secara kafah dalam naungan Khilafah; selama 13 abad lamanya. Semoga di bulan suci ini kita bisa meraih ketakwaan sejati, sebagai hambaNya yang siap mempelajari dan memperjuangkan Islam kafah dalam naungan Khilafah. Aamiin..

Wallahu’alam Bishshawab

 

Catatan Kaki :

(1)       https://youtu.be/yHX7N-gcvhQ?si=DcAgQwtP2YTkrvmF

“Dirty Vote” full movie

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *