Inkonsistensi Rezim Jokowi Melalui Diksi ‘Hidup Damai Dengan Corona’

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Khadijah

Pandemi Covid 19 belum jua berakhir sejak pandemi ini hinggap di Indonesia tertanggal hingga hari ini masih menjadi momok yang menakutkan bagi keberlangsungan kehidupan rakyat. Ditengah-tengah kesulitan memutus mata rantai Covid 19 salah satunya karena belum ditemukannya vaksin yang mampu menyembuhkan virus ini, muncul kabar baru yang justru terdengar kabar yang membuat was-was dari pemerintah Jokowi.

Untuk diketahui, Jokowi mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan di tengah situasi penanganan penyebaran virus corona. Melalui akun resmi media sosialnya pada Kamis (7/5/2020), Jokowi meminta agar masyarakat untuk bisa berdamai dengan Covid-19 hingga vaksin virus tersebut ditemukan.

Dalam postingannya tersebut, Jokowi menyadari perang melawan virus yang telah menjadi pandemi dunia itu harus diikuti dengan roda perekonomian yang berjalan.

Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Cabang Bekasi mengaku khawatir dengan pernyataan Presiden Jokowi yang meminta masyarakat untuk hidup berdamai dengan Covid-19 sampai vaksin untuk penyakit ini ditemukan.

Dokter Eko S khawatir pernyataan tersebut menimbulkan pengabaian terhadap bahaya covid 19.

Pasalnya, lanjut Eko, pesan berdamai dengan Covid-19 yang disampaikan oleh Jokowi tetap harus diiringi dengan usaha. Eko menilai berdamai dengan virus asal Wuhan tersebut dapat diterminologi sebagai dancing with Covid-19.

Eko mengingatkan, bahwa tidak semua rumah sakit dapat dijadikan sebagai rumah sakit rujukan pasien Corona atau Covid-19.

Oleh sebab itu, dengan status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) saat ini, masyarakat pun masih bisa beraktivitas meski ada penyekatan pada beberapa hal.

..

Diksi “hidup damai dengan Corona” jelas merupakan inkonsistensi kepemimpinan rezim Jokowi. Bagaimana tidak, ketidak mampuan pemerintah menanggulangi dan mencegah pandemi covid 19 sejatinya sudah menjadi bukti kelemahan kepemimpinan berfikir para petinggi negara sebagai pemangku kekuasaan, ditambah lagi dengan inkonsistensi kepemimpinan yang seolah-olah mengajak rakyat untuk pasrah terhadap keadaan.

Ajakan pasrah semacam ini menunjukan kepada rakyat bahwa pemerintah tak mau mengurusi urusan rakyat. Atau lebih tepatnya abai dengan urusan rakyatnya. Langkah-langkah yang nyleneh ini bukan yang pertama kali ditempuh pemerintah. Sebelumnya, diksi ‘stay at home’sudah mematikan gerak masyarakat dikarenakan ketidaksiapan pemerintah menjamin kehidupan rakyat.

Fakta-fakta kepemimpinan bobrok yang terhampar membuat rakyat bak disambar petir. Hal ini juga merupakan pengabaian terhadap bahaya covid 19, kelemahan kepemimpinan dan kemandulan sistem Demokrasi serta bobroknya penerapan sistem Demokrasi yang melahirkan pemimpin minus visi dan misi serta mengalami krisis inkonsistensi.

Kepemimpinan hari ini seolah menjadi ajang memperkaya diri bukan untuk mengurusi urusan rakyat. Lemahnya sosok pemimpin hari ini mengajak kita berkaca kepada kepemimpinan Islam pada masa silam. Kepemimpinan yang didikasikan hanya untuk meraih predikat takwa guna meraih ridha Allah ta’ala.

Mengenai kepemimpinan yang konsisten ini hanya akan terwujud tatkala islam diterapkan dalam bingkai khilafah rasyidah yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Suatu ketika Rasulullah saw hendak mengirim Muadz bin Jabal ke Yaman, beliau bertanya, “Apa yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Mu’adz?”

“Kitabullah,” jawab Mu’adz.

“Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?”, tanya Rasulullah pula.

“Saya putuskan dengan Sunnah Rasul.”

“Jika tidak kamu temui dalam Sunnah Rasulullah?”

“Saya pergunakan pikiranku untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia,” jawab Muadz.

Maka berseri-serilah wajah Rasulullah. “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridhai oleh Rasulullah,” sabda beliau.

Begitulah sekelumit gambaran kepemimpinan dalam islam. Memiliki konsistensi, visi dan misi yang jelas agar kepemimpinan tidak berakhir pada kesengsaraan dan kerusakan yang disebabkan karena faktor lemahnya kepemimpinan.

Wallahu a’lam bish-shawab. [ ]

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *