Oleh : Irayanti (Pemerhati Sosial Politik Kendari)
Toleransi! Harus Toleran! Itulah kata-kata yang selalu digaungkan kepada umat Islam di negeri ini seolah umat Islam tidak tahu menahu akan toleransi. Islam punya prinsip dalam kemajemukkan agama yakni “Lakum diinukum wa liya diin” yang berarti untukmu agamamu, dan untukku agamaku. Dalam kenyataannya Islampun tidak pernah melakukan sikap intoleran terhadap agama lain. Mirisnya, tak kurang dalam kurun waktu seminggu, dua tempat ibadah umat Islam dirusak oleh sekumpulan oknum tidak bertanggung jawab.
Dilansir dari pojoksatu.id bahwa masjid di Sumatera Utara, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, dilempari batu pada Jumat malam (26/01/2020) lalu. Selanjutnya, musala Al Hidayah di Kecamatan Kauditan, Minahasa Utara, Sulawesi Utara dirusak oleh puluhan massa pada Rabu malam (29/01/2020)
Catatan Intoleransi di Indonesia
Di negeri yang ‘katanya’ menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama, realitanya tidak dapat menghentikan aksi perusakan rumah ibadah umat Islam.
Kejadian ini bukan kali pertama terjadi dan tentu sangat menyita perhatian publik. Kita tidak pernah lupa bagaimana tahun-tahun sebelumnya terjadinya pembakaran masjid di Papua saat Idul Adha, beberapa oknum yang masuk ke masjid membawa anjing ataupun melemparkan sesuatu yang lagi-lagi dilepas dengan alasan gila.
Mirisnya, banyak pihak berwenang seolah-olah menyepelekan dan menenggelamnkan pemberitaan deengan dalih penuh tipu daya. Seperti Bupati Minahasa Utara, Vonnie Anneke yang meminta umat Islam di Perumahan Agape, Minahasa Utara untuk sementara waktu salat saja dirumah. Padahal, masjid dalam Islam adalah tempat ibadah yang sakral dan krusial. Belum lagi pernyataan yang terkesan bias oleh Karo Penmas Divisi Humas Mabes Polri yang mengatakan bahwa itu adalah balai pertemuan bukan merupakan tempat ibadah, padahal jelas dalam video yang beredar terlihat jelas pula spanduk bertuliskan penolakan warga Desa Tumaluntung atas pendirian masjid. (teropongsenayan.com)
Toleransi Sekuler di Indonesia
Walaupun, kejadian di Minahasa Utara tersebut berakhir dengan pemberian IMB oleh Bupati, tetap saja ini seharusnya menjadi pelajaran tentang toleransi yang seperti apa di Indonesia. Selama ini toleransi terus dipatokkan untuk umat Islam kepada umat minoritas sedangkan umat yang lain atau oknum-oknum lainnya terkesan diacuhkan. Pembelaan kepada minoritas pun dilakukan oleh pihak berwenang. Jika hal demikian dibiarkan maka akan muncul tirani minoritas.
Wajar adanya, dalam sistem sekuler saat ini toleransi hanya dimaksudkan kepada ritual ibadah dan rumah ibadah tapi tidak untuk diluarnya. Padahal agama Islam bukan hanya mengatur pemeluknya sebatas dua hal tersebut saja. Segala aspek kehidupan manusia di atur oleh Pencipta. Akhirnya, ajaran-ajaran Islam yang dijalankan oleh pemeluknya dipersoalkan. Seperti pelarangan cadar, jenggot, pembahasan bab khilafah dan perang di buku agama yang sempat menjadi buah bibir di negeri ini. Sayangnya pelarangan tersebut digaungkan oleh orang-orang muslim pula di pemerintahan. Begitulah orang sekuler yang tidak mau diatur dengan ajarannya sendiri diluar dari rumah ibadah.
Di Indonesia sendiri catatan-catatan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan sepanjang 2019 oleh Imparsial tercatat ada 31 pelanggaran, 11 diantaranya adalah pengrusakan terhadap rumah ibadah. Inilah bentuk kegagalan sistem sekuler dalam mewujudkan toleransi yang hakiki, sangat berbeda jika di dalam sistem Islam. Alhasil perlakuan toleransi di Indonesia sendiri hanyalah konsep belaka karena berdasar tuntutan toleransi ala Barat.
Toleransi dalam Sistem Islam
Islam mengajarkan dan mempraktekkan toleransi dengan begitu apik sejak masa Rasulullah Sholallahu ‘Alahi Wassalam. Islam memberikan tuntunan toleransi dengan agama yang lain seperti tidak memaksa mereka masuk Islam walaupun saat itu Islam berkuasa. Rasul juga pernah menjenguk Yahudi yang sedang sakit, menyuapi pengemis Yahudi, bertransaksi dengan non muslim, menghargai tetangga non muslim dan sebagainya.
Dalam sistem Islam kemajemukkan agama terjadi dengan begitu cemerlang. Umat Yahudi, Nasrani dan Islam hidup berdampingan dengan damai. Mereka pun memperoleh hak-hak yang sama sebagai warga negara dalam sistem Islam. Namun, penyimpangan dalam hal pokok atau akidah tidak boleh ditoleransi tetapi wajib diluruskan sedangkan perbedaan dalam hal furu/cabang harus dihargai dengan adil dan lapang dada. Tuntutan toleransi bukan sekedar konsep namun dilakukan untuk menjalankan hukum syariah Islam berdasarkan hukum syara.
T.W Arnold dalam bukunya The Preasing of Islam menulis bahwa sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak daripada orang Turki dari berbagai provinsi Khilafah di Eropa saat itu, toleransi keagamaan diberikan kepada mereka, perlindungan jiwa dan harta membuat mereka mengakui kepemimpinan dalam Sistem Islam atas seluruh umat Kristen. Demikianlah toleransi yang terbukti dalam sistem Islam dan hanya kembali kepada sistem Islamlah toleransi akan tercapai.
Wallahu ‘alam bi ash showwab