Hukum Islam, Membuat Jera Pelanggarnya

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Syifa Putri (Ummu wa Rabbatul Bayt, Kab. Bandung)

Penyebaran Covid-19, khususnya di negeri ini, terus bergerak ke segala arah, tak peduli agama, suku, ras, tempat tinggal maupun status sosial. Dari update sebaran kasus virus corona (Covid-19) di Indonesia per Sabtu (18/7/2020). Berdasarkan laporan data pada akun Twitter @BNPB_Indonesia, Sabtu (18/7/2020) sore, tercatat ada 1.752 kasus baru. Sehingga total kasus virus corona di Indonesia menjadi 84.882 orang.

Di situasi pandemi yang terus melonjak, saatnya kita renungkan, apa di balik bencana yang sedang terjadi. Apa ini adalah cobaan ataukah adzab?. Dan kita harusnya bisa mengambil hikmah dari semua kejadian, bagaimana dengan adanya Covid-19 ini, kita lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Kita sebagai manusia sangatlah lemah, hanya dengan virus Corona, makhluk Allah Swt yang berukuran mikro itu, kita dibuat gentar olehnya.

Akan tetapi, mungkin tidak untuk sebagian masyarakat. Hal itu terlihat dari masih ramainya aktivitas masyarakat saat pelaksanaan PSBB termasuk di pelosok kampung. Bahkan masih banyak warga yang kurang mematuhi protokol kesehatan pencegahan penularan Covid-19, seperti memakai masker, sarung tangan non medik, social distancing maupun physical distancing.

Berbagai bentuk tindakan masyarakat yang kurang elok pun banyak diberitakan, salah satunya seperti yang dilansir oleh detikcom. Baru sepekan adaptasi kebiasaan baru (AKB) di Jawa Barat diterapkan, delapan remaja malah pesta miras di Alun-alun Soreang, Kabupaten Bandung. Enam pemuda kabur, dua orang diamankan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Bandung, Kamis (2/7/2020).

Hal ini disebabkan karena minimnya edukasi dari pemerintah membuat sinergitas seluruh elemen masyarakat kurang terjalin, kebijakan-kebijakan pemerintah yang meragukan, bahkan tidak konsisten. Peristiwa tersebut menimbulkan tanda tanya besar, bagaimana bisa persebaran virus Covid-19 di Indonesia yang kian meningkat hari demi hari tidak diiringi dengan peningkatan kesadaran masyarakat akan bahaya pandemi ini.

Selain itu, tindakan pemerintah yang tidak tegas dalam pemberian sanksi pelanggaran PSBB membuat masyarakat masih berkeliaran atau bahkan tak acuh walaupun sudah diberlakukannya kebijakan PSBB tersebut.

Dalam situasi darurat pandemi Covid-19 yang memerlukan kecepatan sekaligus kehatian-hatian karena sudah telanjur meluas, sanksi pidana memang sulit diterapkan. Akal sehat juga terusik ketika pelanggar PSBB dikenai hukuman kurungan di saat puluhan ribu narapidana menikmati pembebasan dini. Satu hal yang pasti, ancaman sanksi mutlak diatur secara jelas dan tegas. Yang lebih penting lagi adalah hukuman tersebut benar-benar dijatuhkan kepada para pelanggar, bukan sekadar menghiasi lembaran peraturan. Dengan begitu timbul efek jera dan lambat laun tumbuh kedisiplinan mematuhi aturan protokol Covid-19 demi kepentingan bersama.

Pangkal kekisruhan hukum yang terjadi hingga kini disebabkan karena sistem hukum yang diterapkan saat ini berlandaskan pada sekularisme. Sekularisme artinya paham yang memisahkan agama dari kehidupan atau memisahkan agama dari politik dan negara.

Ketika landasan hukum bukan berdasarkan wahyu dari Allah Swt, maka manusia akan merujuk pada akalnya. Akal manusia tentunya memiliki keterbatasan. Segala sesuatu yang terbatas pasti tidak akan menghasilkan kesempurnaan.
Berbeda dengan daulah Islam, dimana pemerintahan dipegang oleh khalifah dan hukum yang diaplikasikan adalah hukum Islam yang bersumber dari al-Quran dan As-Sunnah, yang sudah pasti bersumber dari Sang Khalik.

keistimewaan diberlakukannya hukum syariah Islam adalah sebagai jawabir dan zawajir. Misalnya, hukum syariah Islam ketika diterapkan kepada orang-orang yang melakukan tindakan kriminal, dan ketika kepada mereka diberlakukan hukum syariah, maka dosa mereka di dunia telah terhapus, inilah yang dinamakan sebagai jawabir.

Disamping pemberlakukan syariah Islam akan menjadi sarana pencegah terjadinya perbuatan tindak kriminal yang baru, inilah yang disebut sebagai zawajir.

Adapun bentuk-bentuk sanksi di dalam Islam, bisa diklasifikasikan menjadi empat macam:

Pertama. Hudud, yakni sanksi terhadap suatu kemaksiatan yang telah ditetapkan (kadarnya) oleh syariah guna mencegah seseorang terjerumus ke dalam tindakan maksiat yang serupa. Tindakan kejahatan yang mengharuskan dijatuhkan had (hudud) ada tujuh jenis, yakni: zina, homoseksual (liwath), menuduh berzina (qadzaf), meminum khamar, murtad, hirabah (meliputi bughat pembangkangan terhadap negara) dan quthth’athuruq (pembegal di jalan) dan mencuri. Masing-masing dari kemaksiatan tersebut telah ditetapkan jenis sanksinya oleh Allah Swt dan Rasul-Nya.

Kedua. Jinayat, yaitu penganiayaan atas badan yang mewajibkan adanya qishash, atau sanksi (denda) berupa harta. Adapun jenis-jenis qishash adalah: (1) Pembunuhan dan (2) yang bukan termasuk pembunuhan seperti pelukaan/penganiayaan (al-juruuh), mematahkan anggota badan (qath’ul a’dha). Terhadap pelanggaran hukum syariah ini pun, sanksinya telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Ketiga. Ta’zir. Ini adalah hukuman yang disyariatkan atas pelaku maksiat yang tidak ditentukan hudud dan kafaratnya. Ketentuan ta’zir diserahkan kepada Khalifah, namun hakim dibenarkan untuk menetapkan ketentuannya, berdasarkan ijtihadnya. Di antara bentuknya antara lain: (1) Dibunuh, contohnya seperti mata-mata provokator yang memecah belah persatuan kaum Muslim; (2) Dicambuk sebanyak 10 kali; (3) Dipenjara, yang ketentuan lamanya diserahkan kepada hakim (4) Dibuang/Diasingkan; (5) Didenda; (6) Dirampas hartanya, terutama harta yang diperoleh dengan cara yang tidak halal; (7) Dalam bentuk embargo atas pelaku kriminal; (8) Berupa ancaman; (9) Berupa pencabutan nafkah atau pekerjaan; (10) Dipermalukan.

Keempat. Mukhalafat adalah pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan negara. Syariat telah memberikan hak kepada Khalifah untuk memerintah dan melarang warganya, menetapkan pelanggaran terhadapnya sebagai kemaksiatan, serta menjatuhkan sanksi atas para pelanggarnya.

Mukhalafat tidak membutuhkan (adanya) penuntut. Oleh karena itu qadliy memiliki legalitas dalam perkara mukhalafat tatkala ia menjumpainya dimanapun, tanpa memerlukan ruang sidang pengadilan. Contohnya Umar bin Khaththab, adakalanya menjatuhkan sanksi atas mukhalafat. Kadangkala ia memukul seorang laki-laki yang berhenti di tengah jalan dan menghalangi orang yang hendak lewat.

Keistimewaan ini tidak akan kita temui di luar hukum Islam. Jadi, hanya dengan tegaknya daulah Islamiyahlah semua ini dapat direalisasikan.
Wallahu a’lam bi-ashawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *