Hilangnya Peran Negara dalam Pengurusan Wilayah

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Hilangnya Peran Negara dalam Pengurusan Wilayah

Fatma Limbong

Kontributor Suara Inqilabi

 

Sudah menjadi pemahaman umum saat ini, dimana sektor pariwisata dijadikan salah satu sumber pendapatan negara.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki banyak potensi tersebut. Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia masih memiliki tempat ataupun daerah yang belum terekspos.

Dikutip pada buku Peta Jalan Indonesia Emas 2045 rilisan dari Kadin RI tahun 2021, dimana sektor pariwisata Indonesia berpengaruh sebanyak 2,4% terhadap produk domestik bruto tanah air. lebih tinggi dibandingkan PDB Vietnam saat itu. (data.goodstats.id)

Selain itu juga, pada laman Republika, Bogor, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno menyatakan akan menargetkan pembentukan desa wisata sebanyak 6.000 desa, selama tahun 2024 untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional. Dari 6.000 desa tersebut nantinya akan dapat berkontribusi sekitar 4,5% terhadap PDB secara nasional. Selain itu juga, jika desa wisata tersebut berhasil terwujud, maka akan terdapat 4,4 juta lapangan kerja yang dihasilkan. (18/2/2024)

Negara Lepas Tangan dalam Pengurusan Wilayah

Potensi desa wisata saat ini memiliki banyak peminat, baik lokal hingga mancanegara, seperti halnya Bali yang tidak asing didengar yang katanya memiliki keindahan pantai nan eksotik.

Lantas bagaimana jika 6000 desa tersebut mampu dikembangkan dan berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi baik secara lokal maupun nasional. Apakah negara akan lepas tangan terhadap wilayah itu?

Berdasarkan buku Pedoman Desa Wisata Edisi 1 (Kemenparekraf, 2019), tahapan pengembangan desa wisata yaitu Desa Rintisan, Desa Wisata berkembang dimana tersebut sudah dikunjungi oleh wisatawan dan sarana prasarananya sudah berkembang, desa wisata maju yaitu desa yang mampu memanfaatkan dana desa, juga sarana dan prasarananya sudah lebih baik, dan desa wisata mandiri yaitu desa yang memiliki inovasi dalam pengembangan kewirausahaan sampai pada mancanegara.

Negara mengharapkan masyarakat bisa berkreasi dan berinovasi untuk kemajuan wilayahnya, sementara negara tidak ikut campur tangan dalam pembangunan tetapi hanya mengiklankan desa wisata yang mana itu dibangun oleh pemerintah setempat dengan dukungan rakyatnya. Tentu untuk membangun desa wisata membutuhkan dana besar, sehingga itu membuka peluang masuknya investor untuk berinvestasi. Adanya investasi ini akan menjerat wilayah itu, dimana masyarakat hanya mendapatkan keuntungan yang tidak seberapa justru pengusaha/investor yang mendapatkan keuntungan luar biasa.

Selain itu, membangun desa wisata untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah bentuk kemalasan negara dalam mengelola sumber daya alam yang tentu memiliki potensi pemasukan lebih besar dan membutuhkan upaya lebih rumit. Akibatnya wilayah pedesaan dipaksa untuk mengembangkan sumber wisatanya. Namun disisi lain jika wilayah itu memiliki sumber daya alam berupa migas, emas, dan lain-lain negara akan menyerahkan pengurusan itu kepada para investor swasta. Padahal pengelolaan sumber daya alam mampu memberi pemasukan besar bagi negara dan mampu menyejahterakan rakyat.

Lebih parahnya lagi, dengan banyaknya wisatawan asing yang masuk dapat memberikan dampak liberalisasi dan budaya yang mereka bawa akan mempengaruhi masyarakat sekitar, seperti yang terjadi bali dan gili trawangan. Belum lagi dengan paradigma pembangunan kapitalisme hari ini dalam membangun desa wisata juga bisa turut serta memperparah lingkungan, semisal merubahnya dari bentuk alaminya demi meraup untung sebesar-besarnya.

Pariwisata dalam Pandangan Islam

Islam sebagai agama paripurna yang mengatur seluruh konsep kehidupan termasuk pariwisata. Pariwisata dalam Islam bukanlah sumber utama pendapatan negara. Pariwisata hanya dijadikan objek tadabbur alam yang mana untuk menguatkan keimanan dan menambahkan pemahaman islam, kemudian objek wisata yang dijadikan tempat-tempat wisata adalah yang memiliki keindahan alam secara natural atau peninggalan bersejarah peradaban islam.

Adapun sumber pendapatan utama negara dalam islam yaitu SDA. Negara akan mengelola SDA untuk kemaslahatan rakyat dan tidak akan memberikan pengelolaan tersebut kepada swasta, sebab negara memiliki amanah sebagai pengatur urusan rakyat.

Dalam kitab Syekh Taqiyuddin An-Nabhani yaitu Nizham Al-Iqtishadi, menjelaskan terdapat dua cara pengelolaan SDA dalam islam, yaitu:

1. Sumber daya alam bisa langsung dimanfaatkan oleh rakyat seperti padang rumput, air laut, dan sejenisnya. Dalam hal ini negara hanya akan mengawasi agar pemanfaatannya tidak membawa kemudharatan.

2. Sumber daya alam yang tidak bisa dimanfaatkan langsung oleh rakyat, sebab membutuhkan biaya besar, tenaga ahli maupun terampil, serta teknologi yang canggih seperti tambang minyak dan gas. Semua pengurusan itu akan di kelola oleh negara sendiri.

Rasulullah bersabda “kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api”. (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Dalam pengelolaan SDA, negara bisa bekerja sama dengan swasta dalam hal kontrak ijarah atau sewa jasa. Mereka hanya diperlakukan sebagai pekerja dan tidak memiliki wewenang untuk menguasai SDA. Pengelolaan SDA sebagai kepemilikan umum yang akan diberikan kepada rakyat dalam bentuk seperti gratisnya biaya pendidikan, kesehatan, serta infrastruktur yang memadai. Kesejahteraan rakyat dengan perekonomian negara yang tangguh sungguh akan terwujud hanya dalam penerapan aturan islam secara sempurna.

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *