Hanya Islam yang Menghargai Nyawa

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Nur Aisyah

 

Setahun penuh pandemi covid-19 menghantui manusia di seluruh dunia. Sejak pertama kali ditemukan di Wuhan, Tiongkok pada Desember 2019 silam. Dikutip Pikiran-Rakyat.com dari worldometers total kasus Covid-19 di dunia per Jumat 1 Januari 2021 mencapai 83.749.350 jiwa. Sedang pasien meninggal dunia akibat Covid-19 mencapai 1.824.140 orang. Para tenaga medis dan kesehatan pun turut menjadi korban keganasan sang virus.

Dikutip Kompas.com Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PBIDI) Adib Khumaidi mengatakan, kematian tenaga medis dan kesehatan di Indonesia tercatat paling tinggi di Asia. Selain itu, Indonesia juga masuk ke dalam lima besar kematian tenaga medis dan kesehatan di seluruh dunia.

“Sejak Maret hingga akhir Desember 2020 terdapat total 504 petugas medis dan kesehatan yang wafat akibat terinfeksi covid-19. Jumlah itu terdiri dari 237 dokter dan 15 dokter gigi, 171 perawat, 64 bidan, 7 apoteker, 10 tenaga laboratorium medis.” ujar Adib dikutip dari siaran pers PB IDI, Sabtu (2/1/2021).

Lebih lanjut Adib mengungkapkan, sepanjang Desember 2020 PB IDI mencatat 52 tenaga medis dokter meninggal akibat Covid-19. Angka ini naik lima kali lipat dari awal pandemi. Salah satu dampak dari peningkatan aktivitas dan mobilitas yang terjadi seperti liburan, pilkada dan aktifitas berkumpul bersama teman dan keluarga yang tidak serumah.

Sampai kapan nakes harus menjadi korban? Peran nakes sangat dibutuhkan untuk menanggulangi pandemi ini. Tetapi makin hari jumlah nakes yang wafat terus bertambah. Padahal jumlah nakes sangat terbatas. Jika terus berguguran, nanti siapa yang akan memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat?

Penyebab nakes mudah terjangkit virus dikarenakan minimnya infrastruktur dan fasilitas kesehatan, seperti Alat Pelindung Diri (APD) yang terdiri dari hazmat dan masker. Salah satu dokter di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) COVID-19 Extension, dr. Debryna Dewi Lumanauw mengungkapkan banyak rumah sakit yang saat ini kekurangan alat pelindung diri (APD).

“Saya gak usah ngomong yang luar pulau yah, saya ngomong yang di Jawa aja tapi agak masuk. Itu jauh sekali dari pertama sampai sekarang. Pertama mungkin masih ada donatur yang mau mendonasikan sampai ke pelosok-pelosok Jawa. Sekarang, sudah gak ada, bukan lagi menurun, tapi sudah gak ada lagi,” katanya.

Para tenaga medis di garis terdepan dalam menghadapi pasien-pasien COVID-19. Mereka mempertaruhkan nyawa, di tengah minimnya fasilitas keselamatan. Belum lagi jumlah mereka yang terbatas menyebabkan mereka lelah. Banyak para nakes yang bahkan tidak pulang ke rumah karena banyaknya pasien yang bertambah tiap harinya sedangkan nakes terbatas. Alhasil nakes harus lembur demi menyelamatkan pasien.

Ketiadaan negara sebagai pelayan dan pengayom rakyat yang seharusnya memberikan keselamatan dan perlindungan kepada para nakes menjadikan nakes harus bekerja ekstra. Bahkan untuk APD sendiri, banyak nakes yang tidak difasilitasi hazmat alhasil hanya memakai jas hujan plastik. Bahkan ada juga dokter yang harus membeli APD dengan uang pribadi.

Nyawa melayang akibat pandemi seperti hal yang lumrah yang dianggap wajar. Padahal satu nyawa yang hilang sangat berharga. Allah berfirman:

“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain , atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya”. (QS. Al-Ma’idah [5]: 32)

Berharganya nilai sebuah nyawa dalam Islam menjadikan kesehatan adalah kebutuhan primer rakyat yang wajib dijamin pemenuhannya oleh negara. Khilafah Islam sebagai negara yang mengatur dan mengayomi rakyat sangat memperhatikan insfratruktur dan fasilitas kesehatan. Pada zaman Pertengahan, hampir semua kota besar Khilafah memiliki rumah sakit.  Di Kairo, rumah sakit Qalaqun dapat menampung hingga 8000 pasien.  Rumah sakit ini juga sudah digunakan untuk pendidikan universitas serta untuk riset. Rumah Sakit ini juga tidak hanya untuk yang sakit fisik, namun juga sakit jiwa.  Di Eropa, rumah sakit semacam ini baru didirikan oleh veteran Perang Salib yang menyaksikan kehebatan sistem kesehatan di Timur Tengah.

Semua rumah sakit di Dunia Islam dilengkapi dengan tes-tes kompetensi bagi setiap dokter dan perawatnya, aturan kemurnian obat, kebersihan dan kesegaran udara, sampai pemisahan pasien penyakit-penyakit tertentu.

Rumah-rumah sakit ini bahkan menjadi favorit para pelancong asing yang ingin mencicipi sedikit kemewahan tanpa biaya, karena seluruh rumah sakit di Daulah Khilafah bebas biaya.  Namun, pada hari keempat, bila terbukti mereka tidak sakit, mereka akan disuruh pergi, karena kewajiban menjamu musafir hanya tiga hari.

Maasya Allah hanya islamlah yang bisa menghargai nyawa manusia salah satunya dengan memberikan infrastruktur dan fasilitas kesehatan yang layak untuk para tenaga kesehatan agar maksimal dalam menyembuhkan para pasiennya.

Wallahu alam bishawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *