Ekonomi Sulit, UKT Tetap Melilit

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Himatul Solekah, pengamat media

Ramai, mahasiswa di beberapa wilayah keluhkan lilitan Uang Kuliah Tunggal (UKT) agar diturunkan bahkan digratiskan di tengah pandemi covid-19. Sebab, kondisi ekonomi orang tua sedang sulit dan beban biaya Pendidikan tetap mencekik. Disamping itu, saat aksi mereka tetap memperhatikan protokol kesehatan dengan menjaga jarak, memakai masker, dan membawa hand sanitizer seperti di UIN Banten dan Universitas Brawijaya Malang.

Sayangnya tidak ada titik temu antara pihak kampus dan mahasiswa, dan respon pemerintah yaitu dengan mengeluarkan Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020 untuk meringankan biaya UKT di tengah pandemi covid-19. Hal ini dilakukan dengan menganggarkan Rp 1 triliun untuk 410.000 mahasiswa khususnya Perguruan Tinggi Swasta PTS dengan persyaratan tertentu (kompas.com, 21/6/2020).

Plt. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdikbud Prof. Ir. Nizam juga menjelaskan jika Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri telah menyepakati untuk menerapkan 4 skema pembayaran UKT di tengah pandemi covid-19 yang terdiri dari: 1. Penundaan Pembayaran, 2. Pencicilan Pembayaran, 3. Penurunan Level UKT, 4. Pengajuan Beasiswa (kompas.com, 22/6/2020).

Padahal, tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga merupakan hak tiap individu warga negara. Apalagi, kesulitan ekonomi tidak hanya dirasakan oleh kalangan orang tua tertentu. Tetapi hampir seluruh warga negara mengalami kesulitan ekonomi dalam kondisi wabah saat ini. Baik yang bekerja sebagai karyawan di perusahaan besar, pengusaha, hingga pedagang kaki lima. Banyak dari mereka yang di PHK, dipulangkan sementara, berhenti bekerja, hingga seretnya pemasukan.

Selain itu, pembelajaran saat ini dilakukan secara daring. Sehingga mahasiswa tidak menggunakan fasilitas kampus, justru kuota harus selalu full. Tidak masalah bagi mereka yang masih bisa memenuhi kebutuhan kuota dan tinggal di perkotaan, tetapi masalah bagi mereka yang kesulitan memenuhi kuota dan tinggal di pelosok dan sulit sinyal.

Sudah seharusnya pendidikan diberikan secara cuma-cuma oleh negara disertai fasilitas yang berkualitas dalam kondisi pandemi covid-19 maupun tidak. Sebab, hal ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk mencerdaskan warga negara hingga bisa membawa kemajuan negeri. Jadi wajar jika rakyat menuntut keringanan beban biaya pendidikan yang sudah menjadi hak mereka.

Pendidikan saat ini memanglah dikomersilkan, berorientasi profit yang terlihat dari meningkatnya beban biaya pendidikan dari tahun ke tahun. Akhirnya mindset rakyat jika ingin pintar dan mendapatkan pekerjaan bagus harus memiliki banyak uang agar bisa sekolah berkelanjutan. Sehingga orang tua disibukkan untuk bekerja mencari uang demi terpenuhi kebutuhan pendidikan. Padahal cerdasnya warga negara bukanlah kebutuhan individu saja, tetapi masyarakat secara keseluruhan. Walhasil orang kaya saja yang dapat mengampu pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Inilah pandangan pendidikan kapitalisme sekuler.

Berbeda dengan Islam, pendidikan di pandang sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan setiap individu muslim. Baik ilmu umum maupun ilmu agama. Dengan konsep tersebut, maka negara akan menjamin pendidikan gratis bagi seluruh warga negaranya. Pendidikan Islam juga harus saling bersinergi di antara keluarga, masyarakat,, dan negara.

Keluarga adalah pendidikan pertama anak, sejak lahir hingga siap berinteraksi dengan umat untuk mencari ilmu. Masyarakat melakukan kontrol sosial terhadap pendidikan yang sedang berlangsung, sedangkan negara bertugas untuk memberikan fasilitas yang berkualitas agar tercipta generasi-generasi yang berkualitas pula.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *