Edukasi Bencana Antara Teknis dan Ideologis

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Edukasi Bencana Antara Teknis dan Ideologis

Oleh Umi Lia

Member Akademi Menulis Kreatif

 

Gempa bumi termasuk bencana alam yang tidak bisa diprediksi, bisa terjadi kapan saja. Ketika terjadi fenome tersebut beberapa waktu lalu, wilayah lain terkena dampaknya, tidak terkecuali Kabupaten Bandung. Karena itu Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat berkoordinasi dengan pihak Provinsi mempersiapkan kendaraan dan pelatihan pemasangan tenda. Mereka pun memberikan edukasi kepada masyarakat terkait kebencanaan lewat medsos atau secara langsung melalui berbagai kegiatan. Di antaranya mengenalkan istilah drop, cover, hold on, yaitu tiga metode perlindungan diri ketika terjadi guncangan beserta jenis-jenisnya. (Koran Gala, 5/1/2024)

Edukasi memang penting dilakukan supaya ketika terjadi bencana tidak banyak memakan korban jiwa dan kerugian materil bisa diantisipasi. Indonesia adalah wilayah yang berada di kawasan ring of fire (cincin api) yaitu berada di pertemuan lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik, yang mempunyai 129 gunung api aktif yang berpotensi gempa, longsor, tsunami dan erupsi. Dengan keadaan alam yang seperti itu, harusnya negara ini lebih ahli dalam mengatasi dan menangani musibah. Seperti Jepang yang memiliki kerawanan yang sama, mereka bisa mengantisipasinya dengan pembangunan infrastruktur yang baik.

Sementara Indonesia BPBD-nya baru berusaha mengenalkan drop, cover, hold on (berlutut, lindungi dan pegang). Metode ini belum dikenal di tengah masyarakat dan ketiganya tidak bisa disamakan di semua wilayah. Di Jepang yang sebagian besar bangunannya sudah tahan gempa mungkin cara ini dianggap cocok.

Pada dasarnya menyikapi bencana itu dapat dibagi tiga, yaitu dengan pencegahan, tanggap darurat dan pemulihan. Hanya saja banyak orang memfokuskan pada tanggap darurat saja, karena menyangkut penyelamatan jiwa, menolong pengungsi yang terlantar, kekurangan makanan, selimut dan popok bayi. Upaya pemulihan setelah bencana masih menarik perhatian, tapi justru lebih fokus pada upaya pencegahan korupsi selama upaya rekonstruksi dan rehabilitasi. Sementara upaya pencegahan sebelum kejadian yang meliputi upaya struktural (pembangunan fisik) dan non fisik (pembangunan budaya siap bencana) kurang diperhatikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Setelahnya baru terpikirkan upaya untuk mencegahnya, itu pun hanya bersifat sementara.

Menurut Prof. Ing. Fahmi Amhar, peneliti Utama di Geospatial Information Agency, dalam menangani bencana ada tujuh level masalah yang harus diperhatikan. Yaitu masalah di level praktis, mekanis, teknis, yuridis, politis, akademis dan ideologis. Ketujuh tingkatan ini bisa disederhanakan menjadi persoalan teknis dan non teknis (ideologis). Dalam persoalan teknis Indonesia bisa meniru atau belajar dari negara maju bagaimana mengatasi bencana, tapi itu belum cukup. Tanpa perubahan di level non teknis atau ideologi, maka perbaikan sistem teknis seberapa pun tidak akan berhasil.

Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, tentunya dalam perubahan ideologi ini harus memilih Islam. Karena keberadaannya bukan sekedar agama ritual, melainkan sebuah ideologi yang kedudukannya lebih unggul dibanding sosialis dan kapitalis.

Dalam pandangan Islam bencana adalah bentuk teguran Allah Swt. kepada manusia karena kemaksiatan yang dilakukannya baik individu atau negara. Bisa karena kelalaian pemimpin berupa penerapan aturan/hukum buatan manusia dan mencampakkan hukum-hukum Allah. Ketika penguasa tidak menerapkan hukum-hukum Allah dengan sendirinya agama Islam itu dijauhkan dari kehidupan rakyat. Rasul saw. bersabda:

“Dan tidaklah pemimpin-pemimpin mereka enggan menjalankan hukum-hukum Allah dan memilih apa yang diturunkan Allah (yang suka dilaksanakan, yang tidak suka ditinggalkan), kecuali Allah akan menjadikan bencana di antara mereka.” (HR. ibnu Majah no.4009 dengan sanad hasan)

Jadi solusi non teknis untuk menolak bencana adalah dengan beristigfar dan bertobat sungguh-sungguh menghentikan kemaksiatan kepada Allah lalu bersegera menerapkan syariah Islam secara total dalam semua aspek kehidupan. Jika terjadi bencana penguasa dalam Islam akan menjadi pihak yang terdepan menolong rakyat. Karena ia sadar kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di Akhirat tentang apa yang menimpa rakyatnya. Sehingga edukasi bencana akan benar-benar diupayakan demi menunaikan kewajibannya sebagai pelindung dan pengurus rakyat.

Kemudian dengan sumber keuangan yang berasal dari baitulmal, negara akan melakukan upaya pencegahan bencana dengan optimal. Edukasi bencana tidak hanya dilakukan sementara tapi terus-menerus sehingga menjadi budaya masyarakat. Jika peneliti mengharuskan membangun infrastruktur atau rumah-rumah yang tahan gempa di wilayah rawan gempa, maka penguasa bertanggung jawab untuk pembangunannya. Termasuk menyediakan material yang murah sehingga rakyat mampu mendirikannya. Hal ini dilakukan karena menyangkut keselamatan jiwa manusia.

Pada saat terjadi bencana evakuasi korban akan dilakukan secepat mungkin dengan alat-alat yang canggih dan tenaga/petugas yang terampil. Karena evakuasi berkaitan dengan waktu, semakin cepat korban ditemukan maka akan banyak jiwa yang akan terselamatkan. Setelah itu penanganan pasca bencana juga diperhatikan dengan cepat membangun infrastruktur yang rusak sehingga kehidupan rakyat kembali pulih.

Bencana alam juga pernah terjadi masa kepemimpinan Islam dan berhasil diatasi. Yaitu pada masa Khalifah Umar bin Khaththab pernah terjadi kekeringan selama sembilan bulan yang mengakibatkan kelaparan. Pada saat itu beliau menasihati rakyatnya: “Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah dalam diri kalian dan dalam urusan kalian yang tidak kelihatan manusia. Sesungguhnya aku diuji dengan kalian dan kalian diuji denganku. Aku tidak tahu apakah kemurkaan itu kepadaku, bukan kalian, atau kemurkaan itu kepada kalian, bukan diriku, atau kemurkaan itu berlaku umum kepadaku dan kepada kalian. Oleh karenanya, marilah kita berdoa kepada Allah agar Dia memperbaiki hati-hati kita dan merahmati kita, serta agar Dia mengangkat bencana ini dari kita.”

Begitu menenangkan nasihat pemimpin kepada rakyatnya di saat hati gundah menghadapi bencana. Bukan hanya nasihat, langkah-langkah nyata juga dilakukan untuk menanggulanginya. Satu tahun berikutnya Khalifah Umar dengan rakyatnya hidup sejahtera sampai mampu menggaji seorang guru 15 dinar (63,75 gram emas) per bulan.

Wallahu a’lam bish shawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *