Dinar Dan Dirham Dikriminalisasi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Nisa Andini Putri (Mahasiswi Bengkulu)

 

Terjadi lagi satu kebijakan pemerintah yang terkesan salah sasaran. Sehabis terbit SKB 3 Menteri yang mempermasalahkan seragam bernuansa keagamaan, kini giliran keping dinar dan dirham yang dikriminalkan.

Seperti dilansir nasional.okezone.com (3/2/2021), Mabes Polri menginformasikan bahwa pendiri Pasar Muamalah Depok Zaim Saidi, disangkakan dua pasal sekaligus. Kedua pasal tersebut adalah Pasal 9 UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dan Pasal 33 UU No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Sementara, PP Muhammadiyah mempertanyakan proses hukum terhadap aktivitas Pasar Muamalah yang menggunakan koin dinar dan dirham dalam bertransaksi. Ketua PP Muhammadiyah Bidang Ekonomi, K.H. Anwar Abbas, membandingkannya dengan kebolehan penggunaan uang asing termasuk dolar, dalam transaksi wisatawan asing di Bali.

Bila didetailkan faktanya, penggunaan koin dinar dan dirham yang ada mengikuti tiga bentuk transaksi yang biasa terjadi. Transaksi barter komoditas emas dan perak dengan barang TV, sepeda, sembako misalnya. Lalu transaksi serupa voucher di mana seseorang untuk belanja menukarkan besaran uang rupiah dengan koin dinar dan dirham. Juga transaksi mirip dengan penggunaan koin di tempat permainan anak-anak, harus membeli koin dulu dengan rupiah, kemudian koin itulah yang digunakan untuk membayar permainan.

Wajar saja kuasa hukum Zaim Saidi, Ali Wardi menyebut terdapat kejanggalan dalam surat penangkapan Zaim Saidi. Dalam surat tersebut, disebut dinar dan dirham sebagai mata uang.

Ali juga membenarkan ada pihak-pihak yang sengaja mengaitkan penggunaan dinar dan dirham di Pasar Muamalah dengan Khilafah, seolah ada yang sengaja mencari jalan untuk mengkriminalkan kliennya.

Adanya kasus ini tentu saja mengundang tanda tanya, ada apa dengan rezim hari ini? yang terlalu berlebihan dalam menyikapi setiap hal yang berbau syariat, bahkan dari kasus ini seolah menunjukkan bahwa pemerintah saat ini terkesan phobia terhadap syariat Islam, bukan karena ingin menertibkan pelanggaran administrasi terkait alat transaksi. Jadi, sebenarnya ini merupakan bagian paket lengkap kriminalisasi ajaran Islam.

Merujuk pada pemberlakuan dinar dan dirham, serta berlangsungnya transaksi jual beli dengan alat tukar tersebut di Pasar Muamalah, Depok, tak lain adalah panggilan nurani seorang Muslim. Kerinduan tak terbendung kepada penerapan ekonomi Islam. Betapa tidak? Sekian tahun dihadirkan sistem ekonomi kapitalis, umat terlampau penat bernasib tragis. Dengan inflasi yang membumbung, riba pun menggurita. Belum lagi dolar yang terus meraja, sementara mata uang rupiah kian hari kian melemah. Bahkan diperparah adanya wabah pandemi dengan penanganan yang inkonsistensi sehingga membuat kian nelangsa ekonomi negeri ini.

Sudah saatnya umat kembali kepada seruan Allah subhanahu wata’ala. Bukan hanya pada pemberlakuan dinar dirham sebagai alat tukar. Namun, kepada kepemimpinan dan sistem Islam sebagai solusi yang mengakar. Sebuah tatanan hidup yang mengembalikan umat kepada fitrahnya. Umat sebagai makhluk, sosok yang diciptakan oleh Sang Khalik. Umat yang hanya memiliki wewenang untuk berkuasa, tapi tidak untuk menetapkan aturan dalam kehidupan. Karena “Sesungguhnya hak membuat hukum adalah hak Allah Subhanahu wata’ala” (terjemahan Al-Quran Surat Yusuf ayat 40).

Maka, manusia tidak boleh merampas hak Allah Ta’ala dengan menjadikan dirinya sebagai As-Syaari’, pembuat UU. Wallahu’alam bishowab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *