Catatan Politik 2019 (1): Ambyar

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Hanif Kristianto (Analis Politik-Media di Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD)

Maksud hati rakyat larut dalam pemilu. Apa daya rakyat beroleh getah dan nasib parah. Hal paling fenomenal pada 2019 ialah Pemilu serentak: Presiden, DPR, dan DPD. Ditambah bebarapa Pilkada dan Pilkades serentak di beberapa kota. Sontak, 2019 menjadi hajatan tahunan Indonesia. Demokratisasi yang didengungkan, tampaknya bukanlah jawaban untuk keluar dari belenggu persoalan. Memusatkan perhatian solusi pada demokrasi, sama halnya harapan semu yang tak pernah bertemu.

Nasib politik rakyat benar-benar ambyar. Ambyar dalam KBBI berarti bercerai-berai, berpisah-pisah. Arti lain dari kata ambyar ialah pikiran yang tidak terkonsentrasi lagi. 2019 adalah tahun polarisasi politik kedua yang mewarnai rezim Jokowi. 2014 Jokowi-JK versus Prabowo-Hatta. 2019 Jokowi-Ma’ruf Amin versus Prabowo-Sandi. Perang simbolik pun mewarnai semua media kampanye. Tak terkecuali, dunia maya tempat netizen berkumpul telah menjadi ruang berisi yang berisik dengan adu argumentatif.

Pemilu serentak diwarnai cerita pilu dan menyedihkan. Ratusan petugas KPPS wafat, saling tuding curang, pencoblosan surat suara sebelum pemilihan, pengerahan massa dan penyalahgunaan wewenang sebagai pejabat negara. Belum lagi, money politic dan hujatan politik. Alhasil, udara alam Indonesia dipenuhi retorika dan hujatan sesama anak bangsa. Seperti supply and demand. Rakyat yang pragmatis menginginkan kompensasi materi berupa uang. Politisi pragmatis pun menginginkan suara terbanyak untuk memenangi pemilihan. Capek. Benar-benar melelahkan.

Politik ambyar di Indonesia yang mewarnai selama tahun 2019, dikarenakan beberapa hal:

Pertama, wabah demokrasi yang kian meliberalisasi mengakibatkan polarisasi rakyat. Ambyar pun benar-benar tak terhindarkan. Penguasa yang sudah gelap mata, sekuat tenaga dengan menghalalkan segala cara bertahan. Bahkan dimunculkan wacana penambahan masa jabatan. Rakyat pun ada kubu 01 dan 02. Konsentrai penguasa tak lagi mengurusi urusan rakyat. Justru, ragam cara memperdaya rakyat dengan segunung janji-janji.

Kedua, hilangnya fungsi negara ri’ayah (urusi urusan rakyat) menjadi negara tak berdaya. Negara melupakan peranan penting pengurusan kecukupan sandang, pangan, dan papan rakyat. Terkadang yang tampak negara sering kalah dengan sekelompok pemodal kapitalis. Pemodal bagi negara yang kalah seolah menjadi dewa penolong untuk tetap berkuasa. Sementara rakyat dianggap merepotkan dan kalau bisa hidup mandiri dan sendirian.

Ketiga, sikap politisi yang haus duniawi dan kekuasaan. Membincangkan penguasa tak cukup melihat person to person. Ada mekanisme sistematis yang juga perlu ditelisik lebih dalam. Lingkaran demokrasi telah menciptakan arus baru dan perubahan radikal. Seseorang yang dahulu menganggap kekuasaan adalah hal najis dan penuh adarma. Tatkala masuk lingkaran kekuasaan sikapnya manis dan klimis. Kekuasaan dan duniawi telah mampu menundukkan kekritisannya dan berubah menjadi partisan.

Oleh karena itu, rakyat Indonesia harus terus berupaya meningkatkan pemahaman politiknya. Sikap apatisme rakyat untuk tetap kritis telah melanggengkan kekuasaan dzalim bercokol. Sikap diam rakyat terhadap kebijakan yang menyengsarakan, telah melanggengkan kekuasaan itu memperkosa hak-hak politik rakyat. Sikap memuja penguasa yang salah arah, telah melegitimasi bahwa rakyat bersiap dijadikan sapi perah dan penghamba penguasa. Lalu, berada di posisi manakah Anda? 2019 segera berlalu, kondisi politik Indonesia tampaknya masih sama. Cuma lompatan-lompatan kecil yang akan mewarnai 2020. Sebab, penguasa dan pejabat saat ini telah membawa beban berat. Baik moral kepada manusia, maupun spiritual kepada Allah SWT yang memengang jiwa dan nyawa manusia.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *