Oleh : Dewi Fitratul Hasanah (Pemerhati Sosial dan Pendidik Generasi)
2020 telah berlalu dan kita telah berada di tahun baru 2021. Namun, pandemi masih bersemi dan belum terprediksi bisa berhenti. Bagaimana tidak, tiap hari penambahan jumlah kasus Covid-19 terus saja terjadi.
Pemerintah melalui Satgas Covid-19 pada 20 Desember lalu, mengumumkan jumlah kematian kasus Covid-19 harian mencapai angka tertinggi dalam sejarah pandemi Covid-19 di Indonesia. Tercatat 221 kasus kematian Covid-19 yang dilaporkan. Sehingga, jumlah akumulasi kasus kematian Covid-19 menjadi 19.880 orang per hari.(Republika.com, 25/12/2020).
Sungguh pilu mendapati nyawa-nyawa manusia ternominalisasi dalam kumpulan angka kematian yang terus membumbung tinggi ke awang-awang.
Peningkatan kematian akibat kasus Covid-19 ini telah begitu jelas mempertontonkan keberadaan negeri dalam situasi yang kritis menyayat hati.
Apa yang hendak disanggah, percepatan penanganan kasus Covid-19di negeri ini terkesan tak cepat dan tak tepat. Sebaliknya, langkah kelambanan dan dampaknya justru begitu sarat menyayat.
Sistem demokrasi-kapitalisme yang diadopsi oleh negeri ini adalah akar dari semua masalah yang terus menjalar.
Dalam sistem ini, nyawa tidak lebih berharga dibanding pengambilan suara. Buktinya, pemilukada berikut rangkaian kampanye tetap gigih di gelar ditengah covid-19 yang memapar. Banyak petugas KBPS dan juga kandidat pemimpin daerah yang terinfeksi covid-19. Jauh sebelum itu pula, pemberlakuan “New Normal” yang di umumkan oleh Presiden Jokowi yang konon menurutnya digadang-gadang mampu menyelamatkan perekonomian negeri.
Namun faktanya, hingga hari ini hutang semakin tinggi dan perekonomian negeri justru nyaris di ujung resesi. Program PSBB juga karantina parsial yang on-off dan tak terintegrasi terkesan setengah hati. Pun, sangsi pelanggaran “Kerumunan Orang” yang pandang bulu menjadi serba-serbi dagelan kezaliman negeri. Sementara itu, korban jiwa terus bergelimpangan baik dari yang terinfeksi Covid-19 secara langsung maupun dari yang terdampak tak secara langsung.
Sistem demokrasi yang lahir dari asas sekularisme-kapitalisme ini memang tak pernah berpihak pada rakyat. Melainkan, rakyat hanya diposisikan sebagai konsumen pasar yang hanya diambil manfaat untuk menguntungkan para kapital dan segelintir orang demi kekuasaan.
Bebalik banding, ketika sistem Islam yang dijadikan standard acuan. Segala masalah termasuk penanganan pandemi akan segera terpecahkan. Sistem Islam sangat mampu meminimalisir dampak dari pandemi yang memungkinkan.
Sistem sahih yang bersumber dari Sang Pemilik kehidupan Allah Aza wa jala ini, sejak awal telah memposisikan sistem pemerintahannya sebagai pelayan dan junnah atau pelindung rakyat.
Sebagaimana, Rasulullah SAW bersabda :
‘Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.’” (HR Ibnu Asakir, Abu Nu’aim).
Sebagaimana pula sabda Rasullullah yang termaktub dalam hadist berikut :
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).
Sehingga sistem Islam memustahilkan rakyatnya memjadi objek cuan apalagi membiarkan nyawa-nyawa rakyat menjadi taruhan. Sistem Islam akan dengan serius dan menangani pandemi agar nyawa dan hajat hidup rakyat selalu terlindungi.
Sejak pertama kali mendengar adanya suatu wabah, sistem Islam akan memberlakuan “Lockdown” yakni menjauhkan dan mensterilkan wilayah terkena wabah dengan wilayah yang tidak terkena wabah
Memisahkan yang sakit dengan yang sehat. Mengobati dan menyembuhkan yang sakit dengan memberikan fasilitas memadai.
Menggratiskan biaya pengobatan dan juga kebutuhan yang menjadi tanggungan hidup, setidaknya sampai yang sakit benar-benar sembuh. Biaya tersebut akan diambil dari keuangan milik negara yakni Baitul Mal dan tak perlu berhutang pada pihak asing.
Sementara, rakyat yang sehat akan bisa beraktivitas seperti biasa seperti, bermuamalah, beribadah dan bersekolah dan lain sebagainya tanpa terhambat.
Semua itu pernah dicontohkan Rasulullah Saw, sebagaimana sabdanya:
“Jika kalian mendengar tentang thoún di suatu tempat maka janganlah mendatanginya, dan jika ada wabah di suatu tempat sementara kalian berada di situ maka janganlah keluar karena lari dari thoún tersebut.” (HR Bukhari).
Pun, Aspek medis dan kesehatan kala itu sudah mendapat perhatian besar Rasulullah Saw semasa hidupnya.
Bahkan, para muslimah misalnya, secara sukarela menjadi tenaga perawat untuk mendukung perjuangan yang dilakukan pasukan Islam dalam sejumlah pertempuran. Pemanfaatan teknik pengobatan dan ilmu kedokteran terus berlanjut.
Baik pemeluk Islam, Kristen, maupun Yahudi, semuanya memperoleh pelayanan terbaik dan tanpa mengeluarkan dana sepeser pun. Tenaga dokter dan perawatnya berasal dari beragam etnis dan agama.
Banyak ayat Al-Qur’an dan hadits yang membeberkan persoalan kesehatan. Di masa selanjutnya 2/3 yakni masa Khulafaur Rasyidin dan kekhilafahan Islam pun telah terbukti berjaya ketika mempraktekkan apa-apa yang di contohkan Rasulullah Saw tersebut.
Inilah yang mengilhami pencapaian luar biasa sistem Islam pada aspek kesehatan, penanganan pandemi dan seluruh aspek kehidupan. Kegemilangan tersebut telah berlangsung selama 13 abad dalam format negara Islam yakni negara Khilafah Islamiyyah ala manhajinnubuwwah.
Selayaknya sistem demokrasi yang tak layak pakai ini dicampakkan dengan segera kembali menerapkan sistem yang piawai.
Wallahua’lam bishshawaab