Benarkah Demokrasi Suburkan Ajaran Sesat?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Nanik Farida Priatmaja

 

Miris! Yaqut Cholil Qoumas Menteri Agama baru tengah menuai kontroversi atas pernyataannya yang akan melindungi Syiah dan Ahmadiyah kasus pelik yang sudah lama menjadi permasalahan di negeri ini. Tak lama kemudian muncul klarifikasi dan penegasan dari Gus Yaqut terkait pernyataan kontroversi tersebut.

Dikutip dari Tempo.com, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menegaskan bahwa tak pernah menyatakan akan memberikan perlindungan khusus kepada kelompok Syiah dan Ahmadiyah. “Tidak ada pernyataan saya melindungi organisasi atau kelompok Syiah dan Ahmadiyah. Sikap saya sebagai Menteri Agama melindungi mereka sebagai warga negara,” kata Yaqut seperti dikutip dari kantor berita Antara, Jumat, 25 Desember 2020. Maka dalam rangka memberi perlindungan sebagai warga negara itu, kata Yaqut Cholil Qoumas, Kementerian Agama siap menjadi mediator jika ada kelompok tertentu bermasalah dengan dua kelompok tersebut (26/12).

Kasus Syiah dan Ahmadiyah yang pelik dan alot telah lama meresahkan umat Islam hingga memunculkan sejumlah kebijakan yang mengatur keberadaan Syiah ataupun Ahmadiyah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak lama mengeluarkan fatwa penyimpangan Syiah dan terus mengingatkan umat muslim seperti pada Rakernas MUI 7 Maret 1984. Kemudian pada 9 Juni 2013, Kementerian Agama, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Dalam Negeri, mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri, berisi “Peringatan dan Perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat”.

Munculnya kasus Syiah dan Ahmadiyah akan terus berpolemik selama tak ada upaya menjernihkan ajaran mereka dari Islam. Syiah tak hanya bermasalah di Indonesia saja namun keberadaannya di negeri muslim yang lain pun juga berseberangan. Konflik Sunni-Syiah memang telah lama terjadi dan berlarut-larut. Sekte Syi’ah dinilai banyak penyimpangan dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Keberadaan Ahmadiyah di dalam Islam bukan sekedar perbedaan tafsir semata namun sudah menyangkut akidah yang sangat penyimpangan dari ajaran Islam. Sehingga ketika kedua aliran tersebut masih mengaku sebagai bagian dari Islam, hal ini akan mengotori ajaran Islam dan memunculkan pertikaian di kalangan umat.

Kontroversi ajaran agama akan sering bermunculan ketika tidak ada standar yang jelas dalam pengaturan peribadatan. Misalnya kasus Ahmadiyah yang mengakui bahwa pemimpin mereka Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Padahal dalam ajaran Islam sudah sangat jelas bahwa Nabi terakhir adalah Nabi Muhammad Saw. Hal tersebut di dalam Islam merupakan konsep dasar yang wajib diyakini oleh setiap muslim. Jika tidak demikian, maka hal tersebut merupakan penyimpangan bahkan dikatakan murtad yang layak dihukum sesuai syariat Islam. Namun dalam sistem demokrasi yang memberikan kebebasan dalam berkeyakinan setiap individu, maka akan memberi peluang untuk memahami, menafsirkan, menerapkan suatu keyakinan berdasarkan pandangan individu tanpa mengindahkan konsep atau ajaran yang sudah ada (konsep yang sudah pakem dalam aturan suatu agama). Wajar jika keberadaan Ahmadiyah mendapatkan respon negatif di kalangan kaum muslim karena merasa ajarannya telah dinodai dengan adanya pemahaman yang menyimpang dari ajaran Islam.

Tak hanya masalah Syiah dan Ahmadiyah. Ketika kebebasan berkeyakinan begitu diagungkan tanpa adanya pengaturan yang jelas, pastinya akan berpotensi memunculkan ajaran-ajaran yang menyimpang dari agama-agama yang telah ada sebelumnya. Hal inilah dampak kebebasan berkeyakinan yang telah diagungkan dalam sistem demokrasi sekuler. Apalagi paham sekulerisme yang memisahkan antara pengaturan agama dan kehidupan sangat berpengaruh terhadap peluang munculnya ajaran-ajaran sesat yang hadir dengan penafsiran sesuai hawa nafsu atau kepentingan si pembuat/penganut.

Islam memiliki konsep yang jelas terkait akidah dan syariah. Meski demikian di dalam Islam secara fitrah memang muncul berbagai penafsiran yang berbeda-beda dan memunculkan berbagai organisasi atau harokah Islam. Hal tersebut tidak bermasalah selama masih sesuai dengan konsep dan koridor Islam yang pakem. Namun ketika terdapat ajaran yang jelas-jelas tidak sesuai dengan konsep Islam, maka akan ada pemberlakuan hukum (misalnya murtad).

Selama berabad-abad Islam diterapkan dalam sebuah negara, Khilafah mampu menyatukan beragam perbedaan baik ras, agama, adat, suku. Rasulullah SAW di Madinah telah mampu menyatukan berbagai suku bahkan ketika wilayah Islam semakin luas, Islam tetap mampu menyatukan berbagai suku dalam satu kepemimpinan negara Islam meski terdapat agama yang berbeda-beda (Yahudi, Nashrani, Majuzi, dan sebagainya). Islam menjamin adanya pluralitas hingga memuliakan warga negara non Islam yang telah berstatus kafir dzimmi. Pluralitas secara fitrah memang tak bisa dibendung sehingga Islam pun menjamin dan mengatur dengan aturan terbaik dari Allah SWT. Sedangkan Pluralisme jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam sebuah agama pastinya memiliki suatu keyakinan yang kuat dan lurus atas sesuatu yang diagungkan. Sehingga dalam hal ini adanya pluralisme (menganggap adanya kesamaan dalam berbagai agama) bukan hal yang fitrah. Wajar Islam memandang pluralisme telah menyalahi ajaran Islam.

Pluralisme memang tumbuh subur dalam sistem demokrasi karena muncul dari kebebasan berkeyakinan yang dijamin dalam demokrasi. Hal ini akan menjadi peluang memudahkan orang-orang yang berkepentingan untuk merusak suatu ajaran agama atau memecah-belah suatu agama dengan dalih adanya perbedaan penafsiran ataupun keyakinan padahal jelas bahwa setiap agama pastinya selalu memiliki konsep atau ajaran yang pakem yang ketika terjadi perbedaan maka akan dinilai menyimpang atau menyalahi ajaran agama tersebut.

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *