Bandung di Tengah Pandemi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Fatimah Azzahra, S. Pd (Warga Bandung)

 

Satu RW di Antapani terpaksa di lockdown karena lebih dari 10 orang warganya terpapar covid-19.  Untuk kota Bandung tersebar peta sebaran pasien covid- 19 yang merah bahkan hitam. Ini menggambarkan banyaknya orang yang terinfeksi covid 19 di kota Bandung. Dan Antapani dinobatkan menjadi wilayah di Bandung yang paling banyak warganya terpapar covid-19 per 5 Desember 2020.

Innalillahi. Semenjak bulan Maret dihimbau untuk di rumah saja, work from home, school from home, semua aktivitas disarankan dilakukan dari rumah. Namun, hingga akhir tahun, kurva yang terpapar covid-19 tak kunjung melandai, malah semakin menukik tajam. Ada apa ini?

Mobilitas Tinggi

Tak dipungkiri, walau memang saat bulan Maret sebagian besar warga melakukan aktivitas di rumah saja, sebulan, dua bulan setelahnya, banyak yang akhirnya kembali melakukan aktivitas di luar rumah. Hal ini dilakukan karena beragam alasan, diantaranya sebagai berikut.

Pertama, mencari nafkah. Tak semua penduduk Indonesia mempunyai gaji tetap tiap bulannya. Banyak yang harus berjuang tiap harinya demi sesuap nasi hari itu. Maka, terpaksa mereka keluar rumah demi mengais rezeki agar perut bisa diisi hari itu. Pekerja kantoran pun ada yang sudah melakukan work from office dengan beragam alasan. Termasuk pekerjaan yang tak bisa dilakukan dari rumah, seperti buruh pabrik. Apalagi, tak ada jaminan pemenuhan kebutuhan dari pemerintah jika harus bertahan di rumah dalam waktu yang lama.

Kedua, kurangnya edukasi. Diakui atau tidak, cukup banyak yang merasa covid-19 hanya hoax belaka. Mungkin mereka belum melihat pasien atau kondisi keluarga pasien yang terjangkiti covid-19. Sehingga bersikap cuek untuk keluar rumah. Bahkan tak mematuhi protokol kesehatan saat di luar rumah. Tak menganggap penting akan protokol kesehatan, atau hanya memakai masker sekananya untuk formalitas.

Ketiga, bosan. Berbulan-bulan diam di rumah tentu menjadi hal yang membosankan. Apalagi kini pemerintah membuka kembali tempat-tempat wisata. Sehingga muncullah fenomena wisata di tengah pandemi. Tetap berwisata, jalan-jalan dan mencukupkan diri dengan protokol kesehatan yang dilakukan. Memakai masker dan cuci tangan atau hand sanitizer. Padahal, penyebaran kasus covid-19 tak bisa dihindari hanya dengan memakai masker dan cuci tangan.

Konsekuensi yang sangat wajar jika kurva masih tinggi, kian banyak yang terjangkit covid-19 karena hal ini.

Sedihnya, di tengah duka pandemi, pemerintah justru tega mengkorupsi dana bantuan covid-19. Parah. Empati hilang terkikis demi modal persiapan pemilu yang butuh dana fantastis. Miris, bukan?

Solusi Pandemi

Mau tak mau, suka atau pun tidak, penyebaran virus harus diputus dan dihentikan. Diantaranya dengan cara mengisolasi wilayah yang sudah terinfeksi, men-tracing rantai penyebaran, dan mengisolasi rantai penyebaran. Juga tentu, mengusahakan dengan optimal obat terbaik bagi virus ini.

Di ranah masyarakat, kepedulian sosial harus dibangun. Di tengah isolasi mandiri yang dilakukan keluarga pasien covid, para tetangga sudah sewajarnya memberikan bantuan semampu mereka untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Apalagi Rasul menghimbau kita untuk berbuat baik pada tetangga, dan memperlakukan tetangga sebagai keluarga kita. Jika masyarakat saja bisa menyisihkan uang pribadi untuk membantu tetangga, maka pemerintah sebagai penguasa lebih wajib lagi untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan warga, khususnya yang sedang melakukan isolasi, umumnya untuk semua rakyat.

Kedua, edukasi di tengah umat harus senantiasa dilakukan. Bukan edukasi yang sekedar penggugur kewajiban. Tapi, terlebih dulu menanamkan pentingnya edukasi tentang pandemi agar tak salah melakukan aktivitas. Dari lingkungan bertetangga harus saling mengingatkan satu sama lain. Saling menjaga jarak dan mematuhi protokol kesehatan. Dari peran pemerintah, berkoordinasi dengan perangkat penguasa dari level atas sampai level RT RW untuk terus mengedukasi warga tentang pandemi dan protokol kesehatan.

Ketiga, ketika rakyat sudah paham tentang pandemi dengan pemahaman yang benar, maka ia akan sadar kebahayaan covid-19. Ia tak akan mau berkumpul di tempat wisata walau tak dipungkiri bosan menyapa dirinya. Ia bisa mencari aktivitas yang produktif walau harus di rumah saja. Seperti ikut kajian, ikut kelas menulis, crafting, knitting, dll.

Sungguh Allah memandang satu nyawa itu sangat berharga dibanding bumi dan seluruh isinya. “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).

Jika pemerintah bisa mengidentifikasi mana warga yang sehat dan warga yang terinfeksi. Maka, warga yang sehat bisa melakukan aktivitas sehari-hari di luar rumah dengan optimal. Sehingga perekonomian akan tetap berjalan.

Tentu perlu kesungguhan, kecepatan dan ketepatan dalam menangani hal ini yang belum terlihat di negeri ini. Pemerintah masih terlihat berat pada para pengusaha dan kondisi kantong pribadi juga kelompoknya. Sehingga dana bantuan pandemi pun tega dilipat. Inilah wajah buruk demokrasi yang tak berperasaan pada rakyatnya. Masihkah kita berharap padanya?

Wallahu’alam bish shawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *