Bahaya Liberalisasi Budaya Warnai Ibukota Baru

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Syahida Adha (Aktivis Dakwah Muslimah dari Samarinda)

Ibukota merupakan pusat pemerintahan suatu Negara. Ianya akan menjadi sebuah pintu masuk hubungan luar negeri dan dalam negeri. Program pindah ibukota tentu saja menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan karena akan memengaruhi iklim politik, ekonomi, sosial dan budaya suatu daerah. Daerah ibukota dan sekitarnya cenderung lebih terdepan dalam menerima dampak kebijakan pusat suatu Negara.

Pindahnya ibukota Negara ke Kalimantan Timur sudah menjadi pembicaraan yang panjang dan disambut hangat oleh beberapa daerah di Kalimantan Timur. Masyarakat sudah bersiap untuk meraih keuntungan dari sisi ekonomi dengan memperkirakan peluang bisnis yang akan datang dengan menyiapkan perangkat yang dibutuhkan dalam meraih tujuan pembangunan ekonomi dan daerah.

Namun ada sisi yang kurang diperhatikan dari isu pindah ibukota ini. Yaitu budaya dari Negara luar yang akan lebih mudah masuk ke Indonesia. Tidak bisa dipungkiri, selama ini Indonesai mengalami degredasi moral generasi yang parah. Nilai-nilai kebebasan yang sifatnya merusak semakin kental di kalangan masyarakat. Dimana budaya ini merupakan invasi budaya barat yang tidak di filter dan masuk ke Indonesia.

Tentu saja budaya liberal yang mewarnai sosial dan politik ini pintu gerbangnya ada di ibukota. Sehingga wajar jika warga ibukota cenderung lebih western dari pada daerah yang jauh dari pusat pemerintahan. Efek dari budaya yang liberal nantinya akan memberatkan kerja di sektor pendidikan. Dimana pendidikan dituntut untuk mencetak insan yang berwawasan global, berakhlak mulia, beriman dan bertakwa kepada Allah swt. Generasi yang rusak akan membawa sebuah Negara menuju kehancuran.

Adapun peningkatan kualitas hidup masyarakat dilihat dari tingkat kebahaagiaan masyarakat dan pandangan mereka terhadap kebahagiaan itu sendiri. Banyak Negara (termasuk Indonesia) yang memandang kebahagiaan dari sudut pandang materi. Sehingga usaha peningkatan ekonomi sering mengabaikan rasa tenang dan kesadaran hubungan mereka kepada Allah swt. Hal ini juga terjadi di Negara mayoritas muslim terbesar seperti Indonesia. Dalam mencapai tujuan ekonomi, pembangunan, politik dan lainnya cenderung menghalalkan segala cara tanpa mempertimbangkan pandangan islam. Tak ada batasan kecuali standar keuntungan yang ingin diraih.

Dasar pemikiran yang selalu ingin meraih keuntungan dan liberalisme akan semakin kental di masyarakat yang dekat denga ibu kota. Yang berbahaya adalah kondisi masyarakat yang cenderung bermaksiat akan memperbanyak kasus kejahatan dan pidana di berbagai sektor. Disebabkan oleh tidak adanya rasa takut kepada Allah swt. Juga berkembangnya kemunafikan karena keinginan meraih keuntungan yang tidak dilandasi dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala. Terlebih karakteristik kota metropolitan cenderung sibuk dan identik dengan kehidupan malam. Yaitu dibangunnya tempat kemaksiatan (diskotik, prostitusi, dll) yang lebih banyak sebagai efek dari budaya barat yang diadopsi masyarakat.

Sebagai individu dan masyarakat, tentunya kita harus mempelajari islam secara mendalam, sehingga dapat menyaring informasi dan budaya, agar tidak terjerumus kepada kehancuran moral. Di sisi lain, peran Negara jauh lebih penting, yaitu dengan tidak membebaskan Negara luar dalam memasukkan pemahaman yang dapat membahayakan moral masyarakat dan generasi seperti paham kebebasan yang tanpa batas dan hedonisme. Negara juga perlu mengkaji syari’at islam dan menerapkannya, agar dapat menyaring pemahamann yang sifatnya berbahaya.

Kenapa harus syari’at islam? Pertanyaan ini jamak dipertanyakan di kalangan intelektual dan masyarakat. Jika kita mengevaluasi, selama ini kita selalu dirundung masalah yang tidak kunjung selesai. Selalu saja dalam mencari solusi kita menjadikan fakta permasalahan bukan hanya sebagai objek, tetapi juga salah satu sumber pembuatan hukum.

Seringkali merujuk pada teori yang belum tentu sesuai dengan kondisi masyarakat yang dihadapi. Hingga akhirnya memperumit masalah dan menimbulkan masalah baru. Bahkan banyak membuka peluang penjajahan secara sosial, politik dan ekonomi.

Sedangkan syari’at islam sudah memiliki aturan yang bersumber dari Allah dan rasulnya. Dimana problematika ummat dijadikan sebagai objek yang harus diatasi, dan sumber hukunya adalah syari’at Allah swt. Juga telah kita ketahui firman Allah swt dan sabda Rasulullah Saw tidak pernah sebanding dengan teori para ahli sekalipun, karena posisinya yang lebih tinggi. Hal ini sudah terbukti dengan bertahannya masa kekhilafahan selama 1300 tahun sebagai Negara adidaya. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Maidah ayat 50:

“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (Agamanya)”?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *