Apa Kabar Transformasi Digital Indonesia?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Apa Kabar Transformasi Digital Indonesia?

 

Oleh Fajria Nindya Utami

Kontributor Suara Inqilabi

Transformasi digital adalah perubahan besar yang harus segera dilakoni Indonesia. Namun, baru-baru ini, pemerintah justru membatalkan proyek yang sudah berjalan 80% dengan menghabiskan dana Rp. 5,2 triliun. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Menkominfo Budi Arie Setiadi. (tirto.id 27/10/23)

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa Kominfo melalui Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informatika (BAKTI) mengerjakan proyek pengadaan Hot Backup Satellite (HBS) pada 2022. HBS diproyeksikan sebagai satelit cadangan satelit Satria-1 jika terjadi anomali pada peluncuran Satria-1 serta untuk menambah kecepatan internet di Indonesia.

Tetapi, Satelit Satria-1 ini dinilai masih kurang ‘jos’ untuk wilayah terpencil, terdepan, dan terluar (3T) di Indonesia. Kementerian Kesehatan beberapa waktu lalu justru meminta pengusaha Amerika, Elon Musk untuk menyediakan akses internet untuk Puskesmas 3T. Sebelumnya, pemerintah meluncurkan Satelit Satria-1 sebagai akselerasi penyediaan internet di kantor-kantor pemerintah seperti sekolah, puskesmas, rumah sakit, di lokasi tak terjangkau jaringan fiber optik. Lagi-lagi, masih dinilai kurang berkualitas oleh pemerintah Indonesia sendiri. (CNN Indonesia 27/10/23)

Jika permasalahannya karena kualitas internet Indonesia yang buruk, itu berarti harus diadakan evaluasi secara besar-besaran lantaran dana yang telah dikeluarkan memakan angka triliunan rupiah. Hal ini sangat mubadzir jika kualitas jaringan internet Indonesia masih berada di urutan 98 di antara seluruh negara dunia, mengingat dana tersebut seharusnya bisa untuk dibuat pelatihan teknik bagi para pengusaha dan engineer untuk meningkatkan kualitas internet di Indonesia.

Alih-alih mengambil teknologi luar untuk dibawa ke Indonesia, alangkah lebih baiknya jika negara memfasilitasi Research and Development (R&D) kebutuhan jaringan internet di Tanah Air. Selain harganya yang selangit, mengambil satelit Starlink milik Elon Musk dapat mengancam para pengusaha Indonesia dan memonopoli jaringan internet negara. Ini adalah bentuk penjajahan secara struktural yang dapat melemahkan daya juang teknologi Indonesia di ranah internasional.

Media lokal seperti Detik.com (akses 27/10/23) juga telah mengendus adanya potensi ancaman dari Starlink milik Elon Musk terhadap internet di Indonesia, seperti gangguan astronomi lantaran satelit yang terlalu terang mengalahkan bintang langit malam. Lalu, Starlink yang merupakan satelit Low Earth Orbit (LEO) juga dapat membahayakan pesawat terbang lantaran ketinggiannya hanya 550 km dari daratan.

Parahnya lagi, Starlink dapat memonopoli luar angkasa hingga seluruh dunia karena belum adanya regulasi yang mengatur industri luar angkasa komersial. Bisnis operator lokal yang sudah lebih dulu berkembang di telekomunikasi tanah air juga dapat terancam lantaran potensi monopoli dari kekuatan Elon Musk sebagai orang paling berkuasa dengan modal unlimited di seluruh dunia.

Sehingga, pemerintah seharusnya menutup pintu rapat-rapat dari perusahaan asing yang ingin masuk ke Indonesia. Terlebih, kehadiran Starlink juga dapat mengganggu keamanan nasional karena dapat memberikan layanan komunikasi kepada negara pesaing.

Sementara Islam yang selalu terbuka terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) mewajibkan negara memenuhi kebutuhan rakyat termasuk ketersediaan jaringan internet. Alih-alih membawa teknologi luar yang keamanannya belum terjamin, proyek transformasi digital seharusnya direncanakan dengan cermat dan dilakukan pengkajian lebih dalam. Apalagi, dana yang dikeluarkan tidak sedikit. Seharusnya dana tersebut bisa dimaksimalkan untuk memajukan sumber daya yang ada. Kecuali jika di dalamnya ada ‘permainan politik’ dan kecurangan (korupsi), maka dosa besar bagi yang melakukannya.

Terlebih, internet dipahami sebagai wasilah (cara) bukan ghayah (tujuan) dalam pemahaman umat Islam. Sehingga, baik atau buruknya internet bergantung pada bagaimana orang yang menggunakannya. Di sinilah peran negara yang harus diberikan secara totalitas agar internet dapat diambil manfaat sebaik-baiknya tanpa mencacatkan moral, akhlak dan akidah umat.

Selain itu, negara juga seharusnya menguji kelayakan satelit dari berbagai aspek dengan mengutamakan kepentingan rakyat. Ketika ada potensi ancaman keamanan negara jika mengambil kekuatan internet dari luar, maka seharusnya negara secara tegas tidak melakukannya. Islam sendiri mewajibkan negara melindungi kedaulatan dan melindungi usaha rakyat. Pemerintah dan pengusaha seharusnya jangan tergoda dengan iming-iming modal yang besar jika hanya membuat rakyat sengsara.

Padahal sejatinya, Islam sangat mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) termasuk internet. Sehingga, Islam pun memperbolehkan mempelajari ilmu pengetahuan tersebut dari orang non-muslim selagi tidak menyentuh ranah akidah, dan umat Islam yang belajar cukup mengambil manfaatnya untuk kemudian diaplikasikan demi kemaslahatan umat.

Dengan demikian, negara wajib memfasilitasi sebaik-baiknya dan selengkap-lengkapnya, termasuk memberikan perlindungan dan akses yang dibutuhkan. Terlebih transformasi digital, termasuk internet yang canggih saat ini sangat dibutuhkan oleh umat untuk terus berkembang.

Tetapi, perlu diingat bahwa negara wajib membatasi konten yang ada di dalam internet agar tidak merusak umat. Hal yang harus dilakukan negara bersama pengusaha adalah bekerjasama dalam meningkatkan kualitas internet, tanpa merusak moral bangsa.

Wallahu’alam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *