Mendidik dan Mewujudkan Kesadaran Ruhiyyah Anak

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Vita Ghaziyah

Manusia adalah sebagai makhluk bagi Allah Subhanallahu Wa Ta’ala, Sang Khaliq (Pencipta). Hal tersebut merupakan aspek ruh (penciptaan) yang tidak dapat dibantah lagi. Karenanya, setiap manusia harus selalu menghadirkan kesadaran akan hubungan dirinya dengan Allah Subhanallahu Wa Ta’ala dalam setiap aktivitas perbuatannya. Kesadaran inilah yang disebut dengan ruh.

Orang tua memiliki kewajiban menanamkan dan menumbuhkan kesadaran (ruh) di dalam diri anak-anaknya. Sehingga anak akan selalu mengingat dan merasa terpaut dengan Sang Pencipta. Untuk itu mewujudkan kesadaran ruhiyyah anak menjadi sangat penting dan harus dimulai sejak dini.

Seringkali orang tua dapatkan permasalahan pada anaknya adalah kapan dia sadarnya. Ketika anak masih melakukan kesalahan dan selalu mengulangi kesalahannya, maka yang keluar dari lisan orang tua “Kok kamu gak ada sadar-sadarnya yah, sudah berulangkali diingatkan masih melakukan kesalahan, kapan sadarnya kamu?.” Untuk itu, orang tua perlu memahami kapan kesadaran itu diperoleh anak, atau jangan-jangan selama ini justru orang tua nya yang tidak memahami mereka dan belum mendidik mereka hingga sampai tingkat kesadaran anak, karena sebagian orang tua juga tidak tahu bagaimana mewujudkan kesadaran tersebut.

Lebih ironisnya, sebagian besar orang tua di masa ini lebih mengutamakan pendidikan akademik bagi anaknya. Mereka tidak memperhatikan sisi ruhiyyah si anak. Akibatnya, banyak dari mereka yang tumbuh menjadi anak yang cerdas dan menguasai ilmu pengetahuan namun jauh dari Tuhan-nya. Sehingga, sebagian dari mereka tidak mengenal ibadah, memiliki akhlak yang buruk, bahkan tak sedikit sampai terjerumus ke lembah maksiat.

Perlu diketahui bahwa kesadaran itu ada tiga ; kesadaran sensasional (al-idrak al-syu’uriy), kesadaran rasional (al-idrak al-aqliy), dan kesadaran ruhiyyah yaitu kesadaran akan hubungannya dengan Allah SWT (idrak shillah billah).

Kesadaran Sensional (al-idrak al-syu’uriy)

Kesadaran sensasional sejatinya tidak muncul dari akal akan tetapi dari stimulus kebutuhan jasmani dan naluri. Jadi, kesadaran ini fungsinya bukan fungsi akal tetapi fungsi fithrah, bisa terjadi pada hewan dan bisa juga terjadi pada anak usia di bawah 2 tahun.

Anak usia 2 tahun lebih kepada tuntutan kebutuhan jasmani dan naluriah. Kemampuan akalnya sangat terbatas yang mana masih mengandalkan identifikasi naluri karena pengulangan penginderaan. Ketika diminta untuk membedakan mana yang roti dan mana yang batu anak di usia 6 bulan belum bisa membedakannya, namun karena dilakukan pengulangan indera lama-lama anak bisa membedakan mana yang bisa dia makan dan mana yang tidak bisa dimakan.

Begitu juga terjadi pada hewan, kera hanya memiliki sensasi kepada pisang saja tidak pada durian, dan kambing hanya memiliki sensasi kepada rumput dan dedaunan tapi tidak pada daging dan ikan.

Maka di usia dini 0-6 tahun yang lebih dominan pada anak adalah kesadaran sensasional, walau semakin berkurang saat anak diberikan informasi yang semakin banyak dan penginderaannya juga semakin tajam serta pengaitan antara informasi dan fakta semakin aktif. Maka akal anak di usia ini belum sempurna dalam fiqh belum disebut aqil, karenanya anak di usia ini lebih cenderung ke emosional dan sering sekali membuat sensasi.

Kesadaran Rasional (al-idrak al-aqliy)

Kesadaran rasional adalah kesadaran yang muncul dari aktifitas berpikir memindahkan fakta ke otak melalui panca indera disertai adanya informasi terdahulu tentang fakta tersebut (ma’lumah sabiqah). Aktifitas ini juga disebut metode berpikir rasional. An-Nabhani menyebutkan bahwa dalam metode rasional adalah pendekatan tertentu dalam pengkajian yang ditempuh untuk mengetahui realitas sesuatu yang dikaji, dengan jalan memindahkan penginderaan terhadap fakta melalui panca indera ke dalam otak, disertai dengan adanya sejumlah informasi terdahulu yang akan digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut. Selanjutnya otak akan memberikan penilaian terhadap fakta tersebut. Penilaian ini adalah pemikiran (al-fikr) atau kesadaran rasional. Kesadaran ini hanya terjadi pada manusia dan tidak terjadi pada hewan.

Dalam perkembangannya, anak akan mengalami kesadaran rasional secara sempurna di usia 7 tahun yaitu di usia mumayyiz. Di usia 4 tahun aktifitas berpikir rasional nya sudah mulai berkembang dan mengalami puncak perkembangannya menjelang usai 7 tahun, di saat ini pula anak sudah memiliki metode berpikir rasional. Misalnya anak sudah bisa menilai fakta antara mana perangai orang tuanya yang baik dan yang buruk bahkan sudah bisa membandingkannya. Sehingga anak akan diberi pilihan mau ikut ayahnya atau ibunya dalam hadhanah saat ayah ibunya bercerai.

Kesadaran Ruhiyyah (idrak shillah billah)

Kesadaran ruhiyyah adalah kesadaran yang muncul dari akal dikarenakan adanya kesadaran manusia tentang keberadaan segala sesuatu yang mengharuskan adanya eksistensi Allah sebagai pencipta (khaliq) dan pengatur (mudabbir) terhadap segala sesuatu berupa alam semesta, manusia dan kehidupan. Alam, manusia dan kehidupan ini tidak ada begitu saja, melainkan ada dengan penciptaan dan tidak ada keteraturan tanpa adanya Dzat Yang Maha Mengatur.

Kesadaran akan adanya pengaruh keberadaan Allah ini mengharuskan adanya kesadaran berhubungan dengan Allah SWT, yaitu hubungan penciptaan. Hal ini akan memunculkan bagi manusia perasaan mengagungkan dan perasaan untuk mensucikan-Nya dan bergantung pada-Nya. Dan memunculkan perasaan lemah dan perasaan membutuhkan pada Allah SWT. Kesadaran ruhiyyah ini sudah mantap dialami oleh anak di usia 7 tahun, walau usia sebelumnya sedang dalam pencarian.

Budaya barat dan sistem kapitalisme telah memisahkan agama dari urusan kehidupan. Begitu pula dengan sistem pendidikannya. Dimana, mereka mengesampingkan urusan ruhiyyah. Akibatnya adalah menghasilkan generasi yang hanya memikirkan tentang makan, main dan bersenang-senang. Ketika dewasa pun yang mereka utamakan hanyalah bekerja dan mencari kesenangan dunia. Yang lebih paranya lagi, saat kenyataannya tidak sesuai dengan keinginannya, mereka tidak mampu menemukan solusi yang tepat. Akhirnya menyelesaikan masalah dengan serampangan. Bahkan tidak sedikit yang berakhir dengan putus asa dan bunuh diri.

Sayangnya, sebagian umat Islam sendiri telah terpengaruh dengan euforia sistem ini. Mereka lupa bahwa sistem inilah penyebab kehancuran generasi karena minimnya pemahaman Islam. Padahal Islam memiliki pendidikan yang terbaik. Pendidikan yang mencakup semua aspek kehidupan. Tak hanya mengasah akal, tetapi juga ruhiyyah. Kesadaran akan keterikatan manusia pada Allah semata.

Dalam QS. Luqman ayat 13 Allah berfirman:

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya. Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu kezaliman yang besar.”

Dalam ayat tersebut Allah memberikan contoh pendidikan ruhiyyah yang dilakukan oleh Luqman. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya mendidik ruhiyyah anak.

Mendidik dan mewujudkan kesadaran anak bukan cuman kewajiban negara tapi orang tua juga memiliki kewajiban dan sangat berperan dalam hal ini.

Untuk itu, orang tua perlu memahami hakekat berpikir anak agar bisa mewujudkan kesadarannya, perlu juga terus menerus mendidik akal anak dengan tsaqafah Islam. Agar kesadaran anak dapat terbentuk dengan pemahaman yang islami yang akan mempengaruhi perilakunya menjadi Islami. Sebab, tsaqafah Islam tersebut adalah standar untuk menilai bagi anak terhadap apapun baik dan buruknya perbuatan, benda maupun peristiwa.

Kesadaran ruhiyyah adalah kesadaran yang tertinggi yang harus dimiliki oleh anak, bisa disuasanakan sedini mungkin dengan cara kuatnya orang tua memiliki kesadaran pada Allah saat berinteraksi dengan anak dan saat mendidik anak. Apapun keputusan dan perilaku orang tua dengan dorongan ruhiyyah ini akan mengikatkan seluruh amal dengan syariah Islam. Suasana ini ada stimulus langsung yang diindera oleh anak dan yang akan memproses kesadarannya hingga capaian yang sama dengan orang tuanya. Oleh karena itu, orang tua harus memberi teladan yang baik, dalam ucapan maupun perbuatan. Hal-hal yang dapat ditanamkan pada anak antara lain mengucapkan kalimat thayibah, berdzikir, membaca dan menghafal Al-quran, juga menceritakan kisah para Nabi dan sahabat.

Selain itu, orang tua juga sudah harus melatih anak melakukan ibadah. Hal ini sangat penting agar anak paham akan kedudukannya sebagai seorang hamba yang harus beribadah dan taat pada Allah SWT. Mulai dari melatih berwudhu, shalat, puasa, bersedekah, bahkan umrah dan haji.

Orang tua juga harus seringkali menasihati anak tentang kebaikan dan kebenaran. Menyampaikan pada anak akan hal-hal yang dilarang Allah SWT. Meski anak belum menanggung dosa, dan anak harus terbiasa melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT.

Di samping itu, orang tua juga jangan lupa untuk mengenalkan surga dan neraka. Ceritakanlah betapa menyenangkannya surga. Semua itu hanya untuk orang-orang yang taat pada Allah SWT. Sehingga anak termotivasi untuk beribadah dan berbuat kebaikan.

Aktivitas lain yang dapat dilakukan adalah menyanyikan dan memperdengarkan lagu-lagu islami. Selain menyenangkan, lagu juga dapat menjadi sarana menyampaikan pemahaman kepada anak. Sehingga anak mendapat pelajaran tanpa harus didoktrin dan merasa bosan.

Demikianlah betapa pendidikan ruhiyyah harus dimulai sejak dini. Orang tua sebagai pendidik utama harus dapat menanamkan ruh (kesadaran hubungan dengan Allah SWT) pada anak. Tidak lupa pula untuk menjadi teladan bagi anak. Agar tercapai cita-cita membentuk generasi yang saleh. Yang senantiasa terikat dan taat pada Allah SWT.

Meski sulit bagi orang tua untuk dapat terus menjaga ruhiyyah anak di sistem saat ini. Terutama saat anak mulai beraktivitas di luar rumah. Dengan berbagai godaan dan gempuran yang jauh dari nilai-nilai Islam. Kehidupan sekuler kapitalistik yang mewujud dalam sistem di negeri ini telah melahirkan sifat hedonis dan materialis. Sekalinya orang tua lepas kesadaran akan hubungannya dengan Allah, maka hal itu dapat mempengaruhi kehidupan anak dan melepaskan anak dari keterikatan dengan hukum-hukum Allah SWT.

Dengan demikian kesadaran ruhiyyah tersebut adalah puncak kesadaran yang akan mengontrol perilaku anak tetap berada dalam ketakwaannya. Serta perjuangan demi mewujudkan generasi Islam yang taat pada Allah SWT harus terus dilakukan. Pendidikan yang ideal memang hanya bisa diterapkan melalui peran pemerintah dengan penerapan syariat Islam.

Wallahu a’lam bish-shawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *