UU Kesehatan Disahkan, Kedaulatan Kian Dipertanyakan!

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

UU Kesehatan Disahkan, Kedaulatan Kian Dipertanyakan!

 

Nahdoh Fikriyyah Islam

(Dosen Pengamat Politik)

 

Zalim! Tidak Urgen! Terburu-buru! Tidak berpihak bagi para nakes terlebih kepada rakyat. Itulah sederatan kalimat-kalimat kritik yang layak untuk pengesahan RUU omnibus law kesehatan yang telah disahkan oleh DPR RI menjadi UU kesehatan pada Selasa (11.07/2023) lalu.

Meskipun para nakes sebelumnya, bahkan hingga kini masih banyak yang melayangkan protes atas pengesahan tersebut, namun pemerintah dan para angota palemen yang terhormat sudah tuli dengan teriakan rakyat.

Seperti yang ditegaskan oleh Ketua siding pengesahana RUU kemarin, Puan Maharani mengatakan bagi siapa yang merasa tidak diakomodir dengan kehadiran UU omnibus kesehatan yang telah diketuk palu, silahkan berhadapan dengan MK. Seolah-olah suara rakyat diajukan ke pengadilan jika kebijakan parlemen maupun pemerintah tidak disetujui.

Padahal, dalam mindset demokrasi, parlemen yang konon diibaratkan jelmaan ratusan juta rakyat Indonesia, dipercayakan sebagai tempat untuk menyatakan aspirasi mereka, ternyata semakin lama justru tidak berfungsi alias mandul. Sebaliknya, pemerintah dan para pembuat hukum di negeri ini terlihat lebih menonjolkan ketidaberpihakan mereka pada rakyat dan kepentingannya.

Malah seperti kata para pakar, kepentingan Tuan alias para kapitalis dan koorporasi jadi prioritas. Perselingkuhan antara penguasa dan pemilik modal sesungguhnya adalah bencana atau malapetaka yang cepat atau lambat akan menenggelamkan negeri yang besar dan kaya seperti Indonesia.

Demikian halnya dengan kebijakan omnibus law yang banyak menilai bahkan para nakes sendiri, jika omnibus lawa kesehatan sejatinya hanya mengundang kerugian bagi bangsa dan negeri ini. tidak hanya bagi para nakes, rakyat pun kian menderita dengan beban omnibus lawa kesehatan.

Bantahan Logis Mematahkan Alasan Pengesahan Omnibus Law Kesehatan

Setiap kebijakan yang diambli oleh penguasa, tentu ada sesuatu yang melatarbelakanginya. Itulah yang dijadikan sebagai asas/dasar pijakan dalam membentuk kebijakan baru. Seperti halnya UU Kesehatan Omnibus law, diajukan menurut para dalangnya dengan berbagai argumentasi. Misalnya, Menteri Kesehatan RI Budi Gunawan, mengatakan bahwa dengan UU Kesehatan omnibus law yang baru disahkan, akan menjadi awal yang baru untuk membangun sistem yang Tangguh di seluruh Indonesia. Baik di wilayah perkotaan, pedesaan, hingga perbatasan-perbatasan luar terpencil, atau daerah kepulauan.

Keinginan Menkes agar RUU omnibus law diterima, tentu saja melalui proses yang panjang dan bertahap. Hanya saja, tidak dipublikasikan alias tidak transparan. Sehinga publik tidak tahu dan ujuk-ujuk DPR dan pemerintah mensahkannya. Dengan kata lain, Menkes tidak sendiri dalam hal pengesahan ini. Karena wilayah mengesahkan UU bukanlah wilayah seorang Menteri melainkan DPR. Pastinya, jalan menuju DPR sudah terlebih dahulu melalui persetujuan pemerintah (para pejabat negara).

Adapun alasan Pemerintah sependapat dengan DPR mensahkan RUU omnibus law, yaitu terkait dengan ruang lingkup dan pokok-pokok hasil pembahasan yang telah mengerucut berbagai upaya peningkatan kesehatan Indonesia ke dalam 20 bab dan 458 pasal di RUU Kesehatan. Pimpinan Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan, RUU tentang kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia.

Namun, bila draft atau teks omnibus law kesehatan itu diyakini mampu memperbaiki sistem kesehatan yang sebelumnya diaggap belum baik, dengan alasan apa para nakes dan juga banyak pihak yang menolak? Oleh karena itu, sangatlah perlu untuk memberikan alasan-alasan yang logis untuk membantah pendapat yang mensahkan UU omnibus kesehatan tersebut. Dan tentunya berangkat dari poin-poin yang layak dikritisi.

Pertama, dari segi transparansi dan urgensi. Founder dan CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah Satyani Saminarsih mengatakan, penyusunan RUU Kesehatan dilakukan terburu-buru dan tidak transparan. Beberapa indikasinya adalah dengan proses konsultasi yang singkat dan tidak dipublikasikannya naskah final kepada publik secara resmi sebelum pengesahan. Artinya, keberadaan UU kesehatan omnibus law terkesan disahkan seperti ada desakan. Lalu, pertanyaannya adalah siapa yang mendesak?

Kedua, terkait misi pemerataan tenaga kesehatan di seluruh pelosok negeri hingga wilayah-wilayah terpencil, seperti 3T. Pemerintah berharapada perbaikan pelayanan di fasilitas kesehatan primer dan sekunder melalui penguatan upaya kesehatan dalam bentuk upaya promotif, preventif, kuratif rehabilitatif, dan atau paliatif. Fakta sebenarnya ini sudah berjalan. Hanya saja pelru dibenahi dan diperhatikan lebih serius para tenaga medisnya. Sebab terdapat begitu banyak konflik yang terjadi di daerah pedalaman yang mengancam nyawa para nakes, utamanya akses transportasi. Selain tiu, pemerintah harusnya mendukung dengan gaji yang memadai dan tunjangan keluarag para medis.

Jika benar bahwa wilayah 3T berdasarkan omninus law akan diturunkan para nakes dari luar negeri, lalu siapa yang menggaji? Tidak cukupkah tenaga medis negara ini? andai negara tidak merasa terbebani dengan kehadiran para nakes luar negeri, untuk apa mereka rela ke wilayah perbatasan? Warga negara asli saja enggan, seharusnya apalagi warga negara asing.

Ketiga, penguatan pelayanan kesehatan rujukan melalui pemenuhan infrastruktur SDM, sarana prasarana, pemanfaatan telemedisin, dan pengembangan jejaring pengampuan layanan prioritas, serta layanan unggulan nasional berstandar internasional. Dan perlunya akselerasi pemanfaatan teknologi biomedis untuk pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan kedokteran presisi.

Poin ini tentunya mengandalkan standar internasional. Mulai dari penetapan nilai-nilai pelayanan medis, penggunan teknonlogi seperti peralatan, juga obat-obatan. Pada poin ini terlihat bahwa dunia internasional sangat berhasrat mendikte negeri ini dari sisi kesehatan. Dalam negeri tidak lagi diperkenankan memiliki standar-standar pelayanan hingga ke pengobatan. Semua harus merujuk kepada kebijakan internasional. Lalu, di mana kedaualan negara yang besar ini untuk mengayomi dan menetapkan serta menjaga kesehatan rakyatnya sendiri? Hingga harus ditentukan oleh dunia luar?

Begitu banyak tenaga medis berkualitas di negara ini, dan sungguh tidak memerlukan tenaga asing dan standarisasi internasional. Karena para medis itu hakikatnya banyak belajar dari pengelaman mereka menghadapi pasien. Tentu hal tersebut tidak perlu berstandar internasional. Termasuk produksi obat-obatan yang sebanarnya negeri ini mampu jika mengelola sendi-sendi negara dengan benar.

Keempat, Pemerintah menekankan pentingnya standardisasi jejaring layanan primer dan laboratorium kesehatan masyarakat disleuruh pelosok Indonesia. percepatan produksi dan pemerataan jumlah dokter spesialis melalui penyelenggaraan pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit. Termasuk peningkatan saran dna prasaran kesehatan. Poin ini sangat ironis. Ekspektasi dan realisasinya bertolak belakang.

Harapan pengembangan insfratsuktur yang merupakan sarana kesehatan, dan peningkatan mutu layanan dengan percepatan dokter-dokter spesialis, akan tetapi DPR RI dan pemerintah sepakat menghapus alokasi anggaran kesehatan minimal 10 persen dari yang sebelumnya 5 persen. Pemerintah beranggapan, penghapusan bertujuan agar mandatory spending diatur bukan berdasarkan pada besarnya alokasi, tetapi berdasarkan komitmen belanja anggaran pemerintah. Tidak logis sekali bukan? Mau peningkatan saraana, tapi menyunat dana. Giliran penyediaan dana, pemerintah sangat reaktif bergerak. Padahal katanya mengikuti standar internasional.

Kapitalisasi Kesehatan Umat Tanpa Aturan Islam

Lahirnya UU omnibus law sebanarnya tidaklah mengejutkan. Tetapi sangat menyedihkan. Sama halnya dengan pengesahan UU omnibus law Ciptaker yang dulu dinarasikan pemerintah sebagai UU yang menguntungkan para buruh dan rakyat. Walhasil, begitukah faktanya? Kebenarannya adalah, lapangan kerja kian sulit dan sempit. Sebab, UU omnibus law menjadi pintu masuk pekerja asing melalui perjanjian Kerjasama para investor asing. Kini, UU omnibus law menyusul. Ke depan, omnibus law apalagi yang akan disahkan?

UU omnibus law kesehatan hadir sebagai perpanjangan kapitalisme dibidang kesehatan yang semakin mencengkram. Sebelumnya, kesehatan rakyat sudah diserahkan ke asuransi melalui JKN yaitu BPJS. Kesehatan dikelola oleh swasta, hingga pelayan kesehatan berantakan dan banyak mengundang masalah. Para nakes sering diadu dengan rakyat. Sementara asuransi pemegang kesehatan dianggap malaikat penyelamat. Padahal itulah persoalan mendasarnya.

Senada dengan arah kapitalisasi kesehatan, Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan, RUU kesehatan yang disahkan tersebut menempatkan peran pemerintah sangat dominan daripada organisasi profesional. Selain itu, Bukti lain bahwa RUU Kesehatan hanya memudahkan oligarki adalah RUU tersebut menghilangkan mandatory kesehatan yang sangat melindungi layanan publik bagi masyarakat bawah.

Sehingga Achmad menilai, RUU Kesehatan yang sudah disahkan jelas tidak memberikan manfaat besar bagi sistem kesehatan nasional. Sistem kesehatan nasional rawan dibajak oleh pemilik modal kesehatan besar karena mereka tidak perlu berkomunikasi dengan organisasi profesi namun cukup terkoneksi dengan pengambil keputusan yaitu Menteri Kesehatan.

Ia juga menilah dengan pengesahan RUU Kesehatan menjadi undang-undang oleh DPR menjadi momen betapa tidak aspiratifnya lembaga perwakilan rakyat tersebut. DPR tidak lagi melayani kepentingan publik luas, namun DPR menjadi pelayan kepentingan ketua umum parpol yang menghamba kepada kepentingan pemilik modal.

Sangat tidak bisa dibantah pendapat pakar kebijakan publik tersebut. Karena itulah hakikatnya yang menjadi alasan latar belakang lahirnya UU omnibus law.

Bisa dibayangkan, UU Omnibus law akan membentuk raksasa indutsri kesehatan yang dimiliki atau dikendalikan oleh merkea yang bermodal. Mereka menentukan segalanya, dari mulai tarif, farmasi, teknologi hingga distibusi para nakes. Pemerintah? cukup diam dan sebagai legislator saja. Selebihnya, serahkan saja pada para pemilik modal.

Keberadaan DPR RI benar kata Achmand Nur Hidayat tidak mencerminkan sebagai wakil raktat yang bisa merasakan kepahitan dan kesulitan mereka. Justur para dewan yang terhormat mayoritas lebih mengakomodir kaingin para pemilik modal. Inilah konskwensi yang tidak bisa dihindari dalam sistem bernegara demokrasi-kapitalis. Ikatan-ikatan kepentingan antara pennguasa dan pengusaha selau terjalin. Atau dalam istilah lain ada persilingkuhan politik antara penguasa -pengusaha di belakang rakyat. Rakyat teriak-teriak meminta hak, penguasa hanya mengelus dengan janji-janji manis.

Oleh karena itu, dengan disahkannya Omnibus law Kesehatan tersebut justur menguatkan sistem kapitalisme Kesehatan atau liebralisasi Kesehatan atau industrliasis Kesehatan tidak bisa terelakkan. Negara yang sejatinya wajib mengelola dengan berpihak kepada rakyat dan para nakes, kini cenderung berpioihak para pemilik modal. Inilah hakikat kesehatan bahkan kondisi kehidupan secara keseluruhan Masyarakat tanpa adanya aturan yang manusiawi, yaitu Islam.

Sangat berbeda 360’ dari ajaran Islam. Kesehatan adalah salah satu kebutuhan pokok dalam panangan Islam. Sebab Kesehatan adalah hak warga negara dan mendapatkan pelayanan yang mudah, murah, bahkan jika bisa digatiskan oleh negara. karena Kesehatan adalah rezeki yang sangat berharga bagi manusia yang kedua setelah yang pertama adalah keimanan.

Islam telah mencontohkan cara mengelola layanan Kesehatan dan maksimal dan bverkualitas sepanjang Sejarah. Saat tidak ada peradaban yang mampu melakukan advance dalam dunia Kesehatan, peradaban Islam hadir dengan segala kemajuannya. Baik dari segi pemikiran, peralatan, juga sumber daya manusia yang ahli dibidangnya masing-masing.

Penjagaan dan pemeliharaan Kesehatan merupakan salah satu maqosid as-syariah yang haram hukumnya diperjual-belikan alias dikapitalisasi atau diliberalisasi. Apalagi diserahkan kepada asing. Kesehatan warga dalam Islam, adalah kewajiban negara untuk menjaga dan memeliharanya.

Langkah-langkahnya tentu dengan Upaya preventif yang maksimal berjalan. Para medis atau nakes akan berkunjung ke Masyarakat dengan layanan prima. Warga tidak perlu datang ke RS jika memang tidak darurat. Sebab dokter-dokter pemerintah akan mendatangi dan memuliakan Masyarakat yang sakit. Mereka juga akan digaji dengan gaji yang sesuai dengan pekerjaan mereka dan kemampuannya. Hingga mereka tidak perlu mati-matian mengumpulakan pundi-pundi rupiah melakukan praktek lagi. Sebab kehiudpan mereka telah dijamin oleh negara.

Negara juga melakukan pengembangan-pengambangan ilmu sainstek bagi yang bersedia dan menyediakan faslitas murah hingga gratis. Jadi siapapun yang ingin jadi pakar dibidangnya, negara hadir menyahuti. Tanpa rakyat harus memikirkan biaya yang mahal.

Darimana negara memiliki modal dan dana? Rasulullah saw bersabda, “ sesungguunya padang rumput, air, dan api adalah milik rakyat,” para ulama mengatakan hadis tersebut menjadi landasan atas keharaman liberalisasi SDA yang dimiliki negara. penghasilan SDA akan dialokasikan untuk penjagaan dan pengelolaan kehidupan warga negara. sehingga tidak ada istilah utang luar negeri apalagi investasi asing yang menjadi akar masalah dalam negeri seperti kita saat ini.

Oleh karena itu, komersialiasi Kesehatan di bawah naungan kapitalisme adalah suatu keharaman menurtu ajaran Islam. Sebelum lahir omnibus law Kesehatan pun, Kesehatan Masyarakat sudah dikomersilakan dengan Jaminan Kesehatan Nasional atau BPJS yang berbasis premi (bayar). Sebab bekerjasama dengan asing. Kesehatan rakyat diserahkan kepada asing dan pemilik modal sama saja negara sedang menggadaikan keselamatan rakyatnya. Zalim bukan?

Sudah sepatutnya, segala bentuk komersialiasasi atau kapitalisasi hajat hidup Masyarakat ditolak. Apakah didengar atau tidak oleh pemilik tampu kekuasaan, tetapi Upaya Masyarakat dan para nakes untuk menolak UU zalim termasuk UU Ciptaker yang katanya melahirkan lapangan kerja, jsutru mengundnag pengangguran, harus ditolak dengan konsisten.

Masyarakat harus jeli dan paham bahwa akar persoalan lahirnya kebijakan zalim adalah karena diterapkan system yang zalim yaitu kapitalisme yang menyingkirkan ajaran-ajaran Islam yang mulia.

Wallahu a’alam Bish-shaawab.

 

 

 

 

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *