Ketuhanan yang Berkebudayaan Dilihat dari sisi Tauhid

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Gus Nur Dampit

Sebenarnya sudah beberapa waktu yang lalu pengen nulis uneg-uneg ini. Tapi disibukkan dengan produksi kopi akhirnya baru kesampaian malam ini dibarengi seduhan hangat arabica dan kopi lanang?

Saya nggak tahu yg mencetuskan ide “Ketuhanan yang Berkebudayaan” itu siapa. Bahkan orang itu ngerti Tuhan atau enggak kayaknya juga burem. Karena frasa Tuhan itu unik, tidak bisa disandarkan dengan kata-kata lain, karena akan mereduksi arti Tuhan itu sendiri.

Kalau dalam kitab sullam munajah bahwa Tuhan itu harus _*munazzahun ‘an kulli naqshin*_ (dibersihkan dari segala hal yang kurang). Sesuatu yang tak patut disandang Tuhan tak boleh disandingkan kepada kata Tuhan. Termasuk imbuhan *Ke-An*.

Okelah kita kaji berdasar kajian bhs Indonesia. Cek di dosenbahasa.com perihal fungsi imbuhan ke-an. Setidaknya ada 3 faidah:
1. Membentuk Kata Benda Abstrak (seni jadi kesenian) dan Konkret (lurah jadi kelurahan)
2. Membentuk Kata Kerja Intransitif (hujan jadi kehujanan)
3. Membentuk Kata Sifat (dekat jadi kedekatan).

Nah, masalahanya apakah kata Tuhan itu seperti _”seni”_ sehingga harus di abstrak kan, ataukah seperti _”lurah”_ sehingga butuh di konkretkan?
Atau seperti hujan sehingga orang-orang bisa terkena tuhan seperti dia “terkena hujan”?
Atau menjadi sifat seperti dekat, sehingga menjadi “bersifat tuhan”?

Kata Tuhan memang mudah diucap. Tapi memahaminya butuh waktu, bahkan bisa butuh seumur hidup untuk mengerti, bahkan sampai mati pun ada yg gak ngerti juga seperti kaum PKl.

Baiklah kita belajar dari Al-fatihah. _*”Tunjukkan kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat”*_.
Ayat ini tidak menyebut:
“Tunjukkan kami jalan yang lurus, yaitu *jalan-Mu*”.
Kenapa?
Karena frase *jalan-Mu* masih memungkinkan pengertian _”jalan yang ditempuh oleh-Mu”_ atau _”jalan yang dilalui-Mu”_.

Jangankan cuma jalan, bahkan mulai start sudah finish plus dibalik finish semuanya milik Tuhan. Sehingga Tuhan tidak butuh menempuh jalan, Tuhan tidak perlu melalui jalan. Dan pengertian-pengertian yang ambigu dan rancu seperti itu harus dibersihkan dari kata Tuhan.
_*Subhaanallah ‘ammaa yashifuun*_ (Maha suci Allah dari apa yg disifatkan kpd-Nya oleh mereka)

Saya bener2 heran dengan yang gembar-gembor “kita harus aqidahnya dulu, harus tauhidnya dulu”, tapi dari dulu tauhidnya di distorsi oleh kaum PKl mingkem saja. Tauhid apa yg kamu kehendaki? Tauhid yang bakar kemenyan?…

Tauhid itu harus bener. Harus lurus. Gak boleh ada pemahaman melenceng atau buram. Gak boleh ada makna abu-abu. Maka Alquran ketika menjelaskan tentang sifat-sifat Allah sendiri dengan bahasa yangg lugas, gamblang dan bisa dimengerti siapapun.

Allah itu Ahad.
Allah itu Shomad.
Allah tidak tidur
Allah tidak lupa
Allah tidak punya anak
Allah tidak dilahirkan
Dan tidak ada sesuatu pun yg menyamai-Nya.

Dan mungkin bersama kopi pahit esok pagi masih membahas tentang Tauhid. Karena ngopi bagi ahlinya adalah representasi dari tauhid. Diawali _Basmalah_ diakhiri _Hamdalah_.

#YukNgopi bareng GusNur, Coffeepreneur

?☕?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *