Banjir Brebes dan Tata Kelola Tanah yang Tak Sesuai Syariah

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Banjir Brebes dan Tata Kelola Tanah yang Tak Sesuai Syariah

Uswatun Khasanah

(Muslimah Brebes)

 

Curah hujan yang begitu deras membuat banyak sungai di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah meluap, sehingga menyebabkan banjir meluas di banyak wilayah. Hujan berikutnya mengakibatkan debit air di sungai Cigunung dan Pemali meningkat. Pada saat yang sama, tiga tanggul sungai jebol sehingga menyebabkan air meluap ke pemukiman atau lahan pertanian.

Setidaknya ada tiga kecamatan di Brebes yang mulai terendam banjir, yakni Gandasuli, Limbangan Wetan, dan Limbangan Kulon. Puluhan desa di tujuh wilayah terendam banjir akibat hujan deras yang melanda Kabupaten Brebes di Provinsi Jawa Tengah. Banjir setinggi 1 meter menggenangi 23 desa di 7 kecamatan di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Ribuan rumah yang dihuni puluhan ribu warga terkena dampak bencana. Akibatnya, ratusan orang terpaksa meninggalkan rumahnya dan mengungsi ke berbagai lokasi.

Chomsul mengatakan, 30.556 orang dari 8.358 rumah tangga di tujuh kecamatan terkena dampaknya. Diantaranya, 934 jiwa harus dievakuasi ke Masjid Baitul Rohim di Kecamatan Larangan, Pondok Pesantren Desa Pemaron di Kecamatan Brebes, SD Negeri 01 Krasak dan Balai Desa Krasak di Kecamatan Brebes.

Air yang masuk ke Desa Krasak berasal dari Sungai Sigeleng yang mengalir melalui desa tersebut. Sungai Sigeleng tidak mampu menampung banjir dari Sungai Pemali sehingga meluap dan membanjiri ratusan rumah di Desa Krasak. Ketinggian air banjir bervariasi, mulai dari lima puluh sentimeter hingga dua meter. Warga yang rumahnya terendam banjir terpaksa mengungsi ke tempat aman. Pemerintah setempat membuka titik evakuasi di gedung sekolah dasar dan di lobi kantor desa setempat, namun tidak ada yang terendam banjir.

”Penanganan yang kami lakukan hari ini adalah memenuhi kebutuhan logistik warga terdampak ataupun pengungsi. Selain itu, evakuasi warga juga masih dilakukan karena masih ada sejumlah warga yang masih belum mau mengungsi,” ujar Chomsul. (www.kompas.id, 27 Februari 2024)

Selain menggenangi pemukiman, banjir juga menggenangi lahan pertanian Brebes. Juari, Ketua Asosiasi Bawang Hijau Indonesia, mengatakan sedikitnya 170 hektare areal tanam bawang merah dengan umur tanam 20 hari hingga 1,5 bulan juga ikut terdampak. Selain tanaman bawang merah yang masih berada di lahan pertanian, bawang merah di sekitar tanggul yang sudah dipanen dan dijemur juga ikut terkena dampaknya. Keadaan ini menyebabkan daun bawang tersapu aliran air dan sebagian membusuk.

Beberapa petani memutuskan untuk memanen bawang merah yang terendam lebih awal karena takut tanamannya mati. Hanya petani bawang merah yang berumur lebih dari 40 hari yang dapat melakukan hal ini. Persawahan di Desa Sisalam, Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, terendam banjir. Banjir akibat meluapnya Sungai Pemali dan jebolnya bendungan telah merendam tanaman padi yang baru dua minggu menjelang panen.

Banyak petani yang terpaksa panen lebih awal karena takut padinya busuk dan tidak bisa dijual jika terlalu lama terendam banjir. Selain itu, harga beras saat ini semakin mahal sehingga mereka memperkirakan akan mengalami kerugian yang sangat besar. Namun, tidak semua tanaman padi bisa diselamatkan karena terendam sangat dalam. Banjir juga merendam tanaman padi di Desa Jagalempeni, Glonggong, dan Sidamulya di Kecamatan Brebes Wanasari.

Banjir merupakan bencana akibat kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang kritis. Konversi lahan merupakan penyebab terbesar krisis lahan di daerah aliran sungai. Dampak buruk yang terjadi tidaklah lain karena ulah tangan manusia dengan mengalih fungsikan lahan. Akar permasalahannya terletak pada penerapan sistem kapitalisme. Negara memberikan akses leluasa kepada individu atau kelompok investor terhadap sumber daya ekonomi, salah satunya sumber daya alam. Keberadaan oligarki membuat masyarakat kehilangan ruang hidupnya.

Semua ini merupakan bencana bagi alam, manusia dan kehidupan. Sifat serakah penguasa kapitalis berupaya mengubah hutan dan lahan pertanian menjadi lahan yang bernilai ekonomi dan komersial seperti pembangunan perumahan, hotel, pertambangan, dan lain-lain. Proyek-proyek oligarki menyebar seperti jamur di musim hujan. Proyek-proyek seperti alih fungsi hutan menjadi perkebunan, pertambangan, dan pembangunan jalan tol telah mengubah lahan hutan yang memiliki fungsi iklim menjadi bencana ekologis.

Kebijakan penguasa kapitalis dipenuhi dengan kepentingan oligarki. Bukti nyatanya adalah lahirnya UU Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023 ditentang banyak pihak. Inilah wajah buruk demokrasi kapitalis. Demokrasi melahirkan oligarki kekuasaan. Kapitalisme melahirkan penciptaan penguasa yang memenuhi kepentingan oligarki.

Penguasa Islam berperan sebagai ra’in dan junnah, yaitu mengabdi pada kepentingan rakyatnya, melindungi dan memelihara penghidupan mereka. Dalam pandangan ini, tidak ada cerita mengenai penguasa yang melayani kepentingan korporasi atau oligarki. Penguasa mempunyai kewajiban untuk menganggap rakyat sebagai tugas utama dalam melaksanakan tanggung jawab kepemimpinannya.

Mengatur kepemilikan tanah. Dalam Islam, ada tiga jenis kepemilikan, yaitu kepemilikan perseorangan, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Dalam hal kepemilikan perseorangan, setiap orang berhak memiliki dan mempergunakan tanah pertanian, perkebunan, tanah tambak, dan lain-lain, baik yang diperoleh dengan cara dijual, diwariskan, maupun dihadiahkan.

Dalam hal kepemilikan umum, yaitu tanah yang didalamnya terdapat milik umum berupa fasilitas umum (hutan, mata air, dan lain-lain); tidak ada batasan jumlah barang pertambangan; jalan, laut, dan lain-lain tidak dapat dimiliki dan dikendalikan oleh individu. Semua tanah adalah milik umum dan negara mengelolanya untuk kepentingan umum. Berdasarkan konsep kepemilikan ini, izin pengusahaan perkebunan, pertambangan, atau perkebunan tidak boleh diberikan kepada perusahaan swasta/perorangan pada lahan hutan.

Segala sesuatu yang dimiliki negara, yaitu tanah yang tidak dimiliki dan tanah yang ditinggalkan lebih dari 3 tahun, akan dikuasai oleh negara dan dikelola serta dimanfaatkan sesuai dengan kepentingan nasional. Islam mengatur bahwa kepemilikan tanah akan hilang apabila tanah tersebut ditelantarkan atau ditelantarkan selama tiga tahun berturut-turut. Negara dapat menyerahkan tanah kepada pihak lain yang mampu mengelolanya.

Sanksi tegas dikenakan kepada pihak-pihak yang melanggar syariat Islam, seperti penebang liar, perusak alam, dan segala kegiatan yang menimbulkan kerugian terhadap lingkungan dan masyarakat. Tentu saja sanksi tersebut sejalan dengan pandangan Islam. Sistem Islam benar-benar menjaga fungsi hutan dan memberi manfaat bagi umat. Negara mengelola hutan semata-mata untuk kepentingan rakyat. Dengan adanya penguasa maka masyarakat terlindungi, dan tugas penguasa adalah menjadi pelindung dan tameng (junnah) rakyat.

Para pemimpin akan mengerahkan para ulama untuk memberikan tausiya kepada para korban agar mereka dapat mengambil hikmah dari musibah tersebut dan menguatkan keimanannya agar tetap tabah, sabar dan bertawakal penuh kepada Allah Ta’ala. Ini adalah kebijakan pemimpin dalam menanggapi banjir. Kebijakan ini tidak hanya didasarkan pada pertimbangan ilmiah tetapi juga prinsip-prinsip Islam.

Wallahu’alam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *