PIP, Motivasi Belajar atau Sekadar Penawar Sementara dalam Pendidikan Kapitalis?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

PIP, Motivasi Belajar atau Sekadar Penawar Sementara dalam Pendidikan Kapitalis?

Uswatun Khasanah

(Muslimah Brebes)

 

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim melaporkan hingga 23 November 2023, penyaluran bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) telah mencapai 100% dari target, yakni telah disalurkan kepada 18.109.119 penerima. Sebelumnya, biaya bantuan tahunan sebesar Rp9,7 triliun untuk 17,9 juta siswa.

Dalam rangka meningkatkan motivasi belajar siswa SMA dan SMK serta memotivasi mereka untuk terus mengenyam pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, mulai tahun 2024 pemerintah akan menambah besaran bantuan bagi siswa SMA melalui “Program Indonesia Pintar” dan siswa SMK dari tahun sebelumnya 1 juta rupiah meningkat menjadi 1,8 juta rupiah. Pemerintah juga menambah jumlah siswa SMA penerima PIP sebanyak 567.531 dan siswa SMK sebanyak 99.104.

Presiden berharap dengan bertambahnya besaran dana bantuan bagi siswa SMA dan SMK, akan meningkatkan semangat belajar bagi siswa penerima PIP untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.

“Ada kelanjutan dari bantuan PIP itu, yakni KIP kuliah dan LPDP. Untuk KIP Kuliah, sampai saat ini telah diberikan pada sebanyak 960 siswa dari Aceh sampai Papua” demikian ujar Presiden, dikutip dari laman (puslapdik.kemdikbud.go.id, 23 Januari 2024).

Untuk Rencana Pendidikan Prioritas 2024, pendanaan PIP selain pendanaan pada jenjang SD hingga SMA/SMK juga mencakup KIP Kuliah yang memiliki target sebanyak 985.577 siswa dan alokasi anggaran sebesar Rp13,9 triliun. Program Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) menyasar 3.943 siswa dengan alokasi Rp107 juta. Program Beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADik) menyasar 9.276 mahasiswa dengan alokasi anggaran sebesar Rp7,7 miliar.

Nadiem mengklaim kualitas pelaksanaan program PIP merupakan bagian dari upaya persamaan hak dan kualitas pendidikan. Bantuan PIP ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan siswa selama bersekolah. Dengan begitu, diharapkan seluruh anak Indonesia dapat merasakan manfaat dari proyek ini. Oleh karena itu, mahasiswa harus pintar-pintar mengelola dana bantuan PIP yang telah diberikan.

Namun jika dilihat dari besaran nominal bantuan setiap tahunnya, sebenarnya besaran bantuan tersebut tidak sepadan dengan kebutuhan pendidikan siswa. Coba kita hitung, misalnya di tingkat sekolah dasar. Jika besaran bantuannya Rp450.000 per tahun, maka besaran bantuan bulanannya hanya Rp37.500. Jika ingin membeli perlengkapan belajar, uangnya hanya cukup untuk membeli satu pak isi 10 buku.

Kemiskinan Pemicu Anak Putus Sekolah

Pada saat yang sama, sekolah membutuhkan lebih dari sekedar buku catatan. Ada juga kebutuhan lain seperti alat tulis, buku pelajaran, seragam sekolah, dan uang jajan harian anak. Belum lagi beberapa kegiatan di luar kampus seperti Kegiatan Tengah Semester (KTS) yang wajib dilakukan setiap pertengahan semester, yang tentunya memerlukan dana pribadi dari mahasiswa.

Permasalahan pembiayaan sektor pendidikan tidak berhenti sampai di situ. Di sisi lain, kita tidak bisa menutup mata terhadap angka putus sekolah. Ini sungguh ironis. Dengan anggaran pendidikan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, jumlah anak putus sekolah di Indonesia justru semakin meningkat. Menurut data Kementerian Keuangan, anggaran pendidikan pada tahun 2023 mencapai Rp 612,2 triliun. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun 2022 yang mencapai Rp574,9 triliun.

Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan pada tahun ajaran 2022/2023, jumlah anak putus sekolah, kecuali pada jenjang sekolah menengah pertama (SMP), mengalami peningkatan dibandingkan tahun ajaran sebelumnya. Pada tahun ajaran 2022/2023, jumlah putus sekolah SD mencapai 40.623 orang, jumlah putus sekolah SMP sebanyak 13.716 orang, jumlah putus sekolah SMA sebanyak 10.091 orang, dan jumlah putus sekolah SMK sebanyak 12.404 orang.

Angka dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa mayoritas (76%) rumah tangga mengatakan alasan utama anak-anak mereka putus sekolah adalah karena faktor keuangan. Sebagian besar dari mereka (67,0%) tidak mampu membayar biaya sekolah, sedangkan sisanya (8,7%) harus mencari nafkah.

Kemiskinan dapat menyebabkan anak putus sekolah karena terpaksa membantu orang tuanya mencari nafkah. Angka putus sekolah didominasi oleh laki-laki. Terdapat 15,29% lebih banyak anak laki-laki yang putus sekolah dibandingkan anak perempuan.

Selain kemiskinan, salah satu penyebab tingginya angka putus sekolah pada siswa laki-laki adalah pekerja anak. Anak laki-laki cenderung lebih mudah menjadi pekerja dibandingkan anak perempuan. Faktor ini menyebabkan tingginya angka pekerja anak, terutama di kalangan anak laki-laki, yang berbanding lurus dengan angka putus sekolah di kalangan siswa laki-laki.

Penawar Sementara

Pemerintah boleh saja berbangga diri atas serapan 100% dana PIP. Namun, selain nominalnya yang kecil dan angka putus sekolah serta angka kemiskinan yang semakin meningkat, dana PIP seolah hanya sekedar “penawar” sementara.

Rupanya, PIP ada seperti pepesan kosong. Besaran nominal tersebut tidak sebanding dengan bantuan yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat. Berdasarkan angka saja, jelas mustahil menyasar setiap anak Indonesia. Pemerataan mutu pendidikan dalam jargon tersebut mau tidak mau akan bertolak belakang dengan mutu pendidikan bahkan nasib peserta didik itu sendiri.

Bantuan dana pendidikan harus bisa mencapai 100%. Sayangnya, 100% dana yang dialokasikan belum mencakup 100% jumlah siswa saat ini, itupun penyalurannya secara bertahap. Faktanya adalah akses terhadap pendidikan tidak terdistribusi secara merata, demikian pula kondisi infrastruktur secara kuantitatif dan kualitatif. Pendidikan Indonesia masih mempunyai banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Apalagi mutu pendidikan tidak hanya bergantung pada jumlah pendanaan, tetapi juga pada kurikulum dan sumber daya manusia pendidikan.

Pendidikan Gratis Dalam Pemerintahan Islam

Jelas, setiap aspek sektor pendidikan akan membawa perbedaan ketika pendidikan diselenggarakan sebagai bagian dari kebutuhan publik dan bukan berasal dari kantong individu. Akan sangat sulit jika kebutuhan publik harus dibiayai swasta. Pentingnya pendidikan dibiayai oleh negara, yakni sebagai wujud pengelolaan urusan rakyat mulai dari penguasa hingga rakyat.

Sayangnya, kapitalisme menganggap pendidikan yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat sebagai barang ekonomi. Belum lagi dengan adanya UU Cipta Kerja menjadikan pendidikan sebagai klaster ekonomi, dan tentunya lulusan sistem pendidikan cenderung menghasilkan generasi pekerja dibandingkan generasi pemikir dan pemimpin.

Sebaliknya dalam sistem pemerintahan Islam, negara menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan masyarakat. Pendidikan sebagai bagian dari kewajiban thalabul ilmi dilakukan secara proporsional. Tak hanya itu, pendidikan juga merupakan prototipe peradaban masa depan.

Islam menjadikan pendidikan sebagai tanggung jawab negara, meliputi seluruh aspek materi, sumber daya manusia, kurikulum dan hal-hal terkait lainnya. Faktanya, Islam menggratiskan pendidikan bagi semua orang. Dan juga mempunyai kurikulum terbaik yang berlandaskan akidah Islam dan dapat mencetak generasi insan yang berkepribadian Islami, beriman teguh, berjiwa kepemimpinan dan penguasaan teknologi yang baik.

Dalam sistem pemerintahan Islam, siap melahirkan khairu ummah yang berkualitas secara cuma-cuma oleh negara. Kita tidak perlu berpikir sendiri atau menanggung beban apa pun terhadap kelangsungan penyelenggaraan pendidikan dan pembiayaannya.

Banyak pos pendanaan dalam sistem pemerintahan Islam di kas Baitumal yang dapat digunakan untuk membiayai kebutuhan masyarakat seperti pendidikan, di semua tingkatan dan memiliki sarana dan prasarana terbaik.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *