Perundungan Makin Brutal, Butuh Solusi Fundamental

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Perundungan Makin Brutal, Butuh Solusi Fundamental

Oleh Suaibah, S.Pd.I.

(Pemerhati Masalah Umat) 

 

Tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia, maka semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin menghargai manusia. Olehnya itu negara berkewajiban untuk memberikan pendidikan yang terbaik untuk rakyatnya. Karena pendidikan akan menentukan nasib bangsa di masa mendatang maka harapan terhadap output pendidikan ini sangat besar. Jadi sudah seharusnya pendidikan mendapatkan perhatian yang serius oleh pemerintah. Lantas bagaimana kalau dunia pendidikan kini menjadi sarang penjahat bak mafia, dimana harus mencari generasi yang memperbaiki negeri? Sedang kasus perundungan masih saja menghiasi berita media massa, bahkan kasusnya kian hari kian meningkat.

Sebagaimana yang diberitakanTribun medan pada 28/11/2023 bahwa Polisi akhirnya menangkap satu orang lagi pelaku bully dan penganiayaan terhadap siswa MAN 1 Medan, berinisial MH (14). Kasat Reskrim Polrestabes Medan, Kompol Teuku Fathir Mustafa, mengatakan, pelaku yang diamankan ini yakni bernama Ahmad, seorang mahasiswa.

Kasus perundungan juga menimpa 12 siswa kelas X SMAN 26 Jakarta menjadi korban perundungan atau bullying oleh kakak kelas. Kondisi belasan siswa tersebut memprihatinkan usai dianiaya secara brutal oleh 15 orang kakak kelasnya, XI dan XII. Peristiwa nahas itu terjadi di rumah salah satu pelaku berinisial D di kawasan Setiabudi, Jakarta Dua Selatan, Jumat (1/12/2023) sore sekitar pukul 16.00 WIB. Salah satu korban dalam kasus ini yaitu siswa berinisial AF (16). Tubuhnya lebam hingga kemaluannya terluka akibat dianiaya belasan kakak kelas.

Dua Kasus di atas adalah secuil kejadian, kasus yang serupa bahkan lebih sadispun banyak terjadi tapi tidak terungkap oleh media. Lantas kenapa semua itu bisa terjadi, apakah tidak ada solusi saat ini yang mampu membuat pelaku bullying jera? Dan Bagaimana Islam memandang persoalan perundungan ini.

Saat ini, Kasus kekerasan pada anak di sekolah terjadi di semua jenjang pendidikan. Hal ini dinyatakan oleh Kemendikbudristek bahwa berdasarkan hasil Asesmen Nasional pada 2022, terdapat 36,31% atau 1 dari 3 peserta didik (siswa) di Indonesia berpotensi mengalami perundungan (bullying).

Masifnya kasus perundungan dan kekerasan terhadap anak di lingkup pendidikan juga menjadi sorotan KPAI. Ditemukannya kasus perundungan di lingkup sekolah dengan berbagai jenjang, seperti di Jakarta, Cilacap, Demak, Blora, Gresik, Lamongan, dan Balikpapan.

Data pelanggaran terhadap perlindungan anak yang diterima KPAI hingga Agustus 2023 mencapai 2.355 kasus. Anak sebagai korban perundungan (87 kasus), anak korban pemenuhan fasilitas pendidikan (27 kasus), anak korban kebijakan pendidikan (24 kasus), anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis (236 kasus), anak korban kekerasan seksual (487 kasus), serta masih banyak kasus lainnya yang tidak teradukan ke KPAI.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan bertajuk Indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia 2022, mayoritas siswa yang mengalami perundungan di Indonesia adalah laki-laki. Laporan itu mencatat, siswa laki-laki yang dominan menjadi korban kasus perundungan tersebut pada kategori kelas 5 SD, kelas 8 SMP, dan kelas 11 SMA/SMK dalam setahun terakhir pada 2021.

Perinciannya, persentase kasus perundungan pada kategori kelas 5 SD, untuk siswa laki-lakisebanyak 31,6%, perempuan 21,64%, dan secara nasional 26,8%. Selanjutnya, persentase kasus perundungan kategori siswa kelas 8 SMP pada siswa laki-laki mencapai 32,22% atau tertinggi di antara kategori kelas maupun gender lainnya, siswa perempuan 19,97%, dan secara nasional 26,32%. Kemudian, persentase kasus perundungan kategori siswa kelas 11 SMA/SMK pada siswa laki-laki sebanyak 19,68%, perempuan 11,26%, dan secara nasional 15,54%.

Sebagai antisipasi terhadap pencegahan dan penanganan kekerasan pada anak di satuan pendidikan, pemerintah sebetulnya sudah mengeluarkan Permendikbudrustek 46/2023. Hanya saja, penerapan aturan ini baru di beberapa sekolah saja.

Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menyatakan, masih banyak sekolah yang tidak memahami, bahkan tidak mendapatkan informasi yang memadai mengenai aturan baru tersebut.

Dalam Permendikbud tersebut dimuat bahwa setiap sekolah wajib memiliki tim pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan. Tidak hanya itu, pemerintah daerah juga wajib membuat dan membentuk satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan.

Mengharuskan Sekolah untuk memiliki fasilitas sarana prasarana yang menunjang bagi terciptanya keamanan, ketertiban, dan kesehatan. Hal ini dilakukan untuk mencegah kekerasan, olehnya itu sekolah diminta untuk memasang CCTV di sejumlah titik rawan yang jarang terawasi oleh tenaga pendidik atau orang dewasa di satuan pendidikan.

Kendatipun demikian, berbagai program antiperundungan maupun aturan resmi dari pemerintah sebagaimana Permendikbudristek 46/2023, pada faktanya tidak menyentuh pada akar persoalan kasus bullying, alih-alih mengatasi kasus perundungan di satuan pendidikan secara tuntas justru kasus bullying makin brutal.

Semua itu dikarenakan kasus perundungan memang tidak berdiri sendiri, melainkan melibatkan banyak faktor yang melatarbelakangi kasus perundungan dari setiap pelaku. Bisa disebabkan fenomena adanya geng sekolah, pengaruh negatif media, maupun pola pengasuhan di dalam keluarga. Hal ini membuktikan bahwa perundungan butuh solusi jera dan segera.

Maraknya kasus perundungan membuktikan kepada kita bahwa solusi yang sudah ada tidaklah mampu menyentuh akar persoalannya. Faktanya, perundungan tidak cukup disolusi dengan aturan pemerintah sekalipun, kendati lemahnya implementasi masih menjadi alasannya. Ini dikarenakan kasus perundungan bukan sekadar berupa kekerasan psikis maupun perundungan fisik yang ringan, melainkan sudah mencapai tingkat brutal yang tidak jarang bisa menghilangkan nyawa korban.

Dengan menyimak secara seksama, kendati Permendikbudristek 46/2023 sudah diklaim sebagai aturan sistemis untuk mengatasi perundungan, tetapi akar permasalahan munculnya tindakan tersebut sejatinya adalah ditegakkan sistem sekuler yang memisahkan agama sehingga menjadikan anak tidak takut melakukan dosa termasuk kasus bullying.

Sistem sekuler ini menjadikan faktor utama tumbuh suburnya pemikiran yang salah terhadap kehidupan bagi tiap individu yang bernaung di dalamnya. Tidak mengherankan jika berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan perundungan yang diproduksi oleh sistem ini tidak akan pernah mampu mengatasi akar persoalan bullying ini. Solusi yang ditawarkanpun hanya tambal sulam belaka.

Para kaum ibu yang sejatinya adalah Ummu warabbatul bait kini telah berbondong-bondong keluar rumah untuk bekerja demi membantu mencari nafkah keluarga, akhirnya mencabut eksistensi ibu sebagai pihak pendidik yang pertama dan utama melakukan pendidikan terhadap anak dalam keluarga. Sementara para ayah merasa perannya adalah hanya mencari nafkah dan berlepas tangan terhadap pendidikan sang anak. Akibatnya, lahirlah generasi motherless dan fatherless yang haus akan kasih sayang dan perhatian sehingga mereka tidak memiliki rasa simpati dan empati.

Selain rusaknya benteng keluarga, masyarakat juga tak kalah rusaknya. Masyarakat yang seharusnya menjadi kontrol sosial tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya karena sistem hidup kapitalisme menjadikan orang bersikap individualis. Beratnya beban hidup yang dihadapi masyarakat saat ini menjadikan setiap orang sibuk memikirkan dirinya sendiri sehingga abai terhadap persoalan sekitar.

Tayangan media yang berbau kekerasan sangat berperan dalam membentuk karakter bengis dan sadis pada anak. Begitu banyak kasus-kasus kekerasan anak yang berawal dari tontonan. Budaya bully dianggap biasa, dianggap candaan padahal sejatinya telah merusak mental korban. Negara yang seharusnya berperan sentral sebagai perisai dan penjaga calon generasi dari kerusakan termasuk bullying ternyata perannya mandul.

Untuk mengeluarkan para calon generasi penerus dari budaya kekerasan bullying ini, maka tak ada jalan yang lain selain kembali kepada Islam. Karena Islam berasal dari yang Maha benar yakni Allah SWT yang sudah pasti akan membawa kebaikan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Olehnya itu, menjadikan akidah Islam sebagai asas kehidupan merupakan sebuah kewajiban bagi umat Islam, sekaligus merupakan solusi atas berbagai masalah yang mereka hadapi termasuk kasus bullying.

Perundungan merupakan perbuatan dosa, olehnya itu harus dijauhi bagi tiap individu termasuk anak-anak. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰۤى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ مِّنْ نِّسَآءٍ عَسٰۤى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۚ وَلَا تَلْمِزُوْۤا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَا بَزُوْا بِا لْاَ لْقَا بِ ۗ بِئْسَ الِا سْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِ يْمَا نِ ۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُ ولٰٓئِكَ هُمُ الظّٰلِمُوْن

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”

(QS. Al-Hujurat 49: Ayat 11)

Dalam Islam Penanganan kasus bullying tidak hanya dibebankan kepada individu dan orang tua semata namun harus ada peran negara. Negara akan memberikan pendidikan dalam rangka membentuk kepribadian yang islami kepada anak dan mengcounter tayangan media massa. Untuk mencetak generasi yang anti bullying maka dibutuhkan kerjasama 3 lingkup lembaga pendidikan, yakni: pendidikan informal, formal dan non formal.

Pertama, Pendidikan Informal (keluarga). Keluarga adalah pendidik pertama dan utama untuk menanamkan keimanan yang kokoh kepada anak untuk menjadi bekalnya dalam kehidupan agar selamat di dunia dan akhirat. Dengan memiliki aqidah yang kuat, membuat individu takut untuk melakukan perbuatan maksiat termasuk budaya bullying.

Kedua, Pendidikan Formal (Sekolah). Dalam Islam tujuan pendidikan adalah mencetak generasi yang berkepribadian Islam, yakni memiliki pola pikir dan pola sikap yang islami. Sehingga para out put pendidikan adalah orang-orang yang Sholeh dan muslih yang siap untuk menjadi Agent of change ditengah umat.

Ketiga, Pendidikan Nonformal (masyarakat). Masyarakat sebagai kontrol sosial, melakukan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar ditengah-tengah umat. Hingga celah untuk melakukan kekerasan itu bisa dihilangkan termasuk budaya bullying.

Negara memiliki kewajiban untuk memberikan tayangan media massa yang mencerahkan dan mencerdaskan umat. Sehingga tidak ada celah untuk melakukan perbuatan dosa termasuk perundungan. Jika masih ada pelaku yang melakukan perundungan maka negara akan menindak tegas dengan hukum Islam.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *