Perppu Cipta Kerja Menjadi Undang – Undang, Akankah Rakyat Sejahtera?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Perppu Cipta Kerja Menjadi Undang – Undang, Akankah Rakyat Sejahtera?

Ummu Aisyah

(Pemerhati Sosial)

 

“Kami tidak butuh Dewan Perampok Rakyat,” demikian unggahan meme BEM UI dengan ilustrasi Ketua DPR berbadan tikus. Dalam unggahannya, BEM UI memuat kritikan perihal DPR yang mengesahkan Perppu Cipta Kerja menjadi UU. Hujan kritik dan penolakan selalu mewarnai perjalanan UU Cipta Kerja. Dibuat secara maraton, disahkan sebagai UU 11/2020, lalu dinyatakan inkonstitusional bersyarat, kemudian diterbitkan melalui Perppu 2/2022, dan disahkan menjadi UU. Meski ditolak sana sini, Perppu Cipta Kerja sah menjadi UU. Inikah akhir “dramaturgi” UU yang penuh kontroversi?

Perjalanan UU Ciptaker 

“Kesaktian” UU Cipta Kerja bukanlah isapan jempol semata. Walaupun banyak hambatan dan ditentang banyak pihak, DPR RI yang katanya lembaga wakil rakyat itu tetap mengesahkannya. Ibarat anjing menggonggong, kafilah berlalu, apa pun halangan dan rintangannya, pemerintah dan DPR ngotot dan ngeyel mengesahkannya. UU Cipta Kerja pertama kali digagas pemerintahan Jokowi guna mengatasi tumpang tindih regulasi di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan investasi dan lapangan kerja. Draf RUU itu pun dirancang secepat kilat dan rampung pada 12 Februari 2020. Tidak berselang lama, RUU Cipta Kerja dibahas legislator pada April 2020.

Meski menuai penolakan dari berbagai elemen masyarakat, RUU tetap dilanjutkan. Para anggota dewan rela menggelar rapat berkali-kali secara maraton demi meloloskan aturan tersebut menjadi UU. Dalam rentang waktu tujuh bulan, RUU Cipta Kerja sah menjadi UU Cipta Kerja dan diteken Jokowi pada 2 November 2020. Tidak butuh waktu lama, UU 11/ 2020 tentang Cipta Kerja ramai-ramai digugat ke Mahkamah Konstitusi. Pada 25 November 2021, MK memutuskan UU No.11 Tahun 2020 dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Artinya, jika dalam rentang waktu dua tahun pemerintah tidak memperbaiki UU tersebut, maka UU dinyatakan inkonstitusional secara permanen.

Setahun setelah putusan MK, pemerintah buru-buru menerbitkan Perppu No. 2/2022 untuk menggantikan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Aturan itu diteken Presiden Jokowi pada Jumat (30-12-2022). Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto berdalih bahwa Perppu diperlukan karena ada kegentingan yang memaksa, yakni Indonesia menghadapi krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim.

Penerbitan Perppu ini juga mendapat penolakan keras seperti sebelumnya. Namun, pembuat UU tetap menggelar rapat pengesahan Perppu Cipta Kerja lewat Rapat Paripurna DPR ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2022-2023, Selasa (21-3-2023). Jadilah Perppu Cipta Kerja sah menjadi UU.

 

Penolakan Publik 

Dari perjalanan pembuatan UU Cipta Kerja ini saja bisa dilihat bahwa pemerintah tidak peduli penolakan yang bergulir. Maraton, tergesa-gesa, memaksakan kehendak, dan ada kepentingan besar di balik kejar tayang pengesahan UU Cipta Kerja. Penolakan keras terus menggelinding bak bola salju. Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) menolak keputusan tersebut, dan menilai Presiden dan DPR RI telah melanggar konstitusi UUD 1945. Menurut KSPSI, keputusan pengesahan tersebut telah menjadikan Indonesia sebagai negara anarkis, yang mana aturan dilanggar oleh pembuat UU itu sendiri.

KSPSI mengajak seluruh komponen bangsa untuk melawan kesewenang-wenangan melalui jalur hukum Mahkamah Konstitusi maupun unjuk rasa agar Presiden dan DPR membatalkan UU Cipta Kerja. (republika.com, 22/03/2023).

Hal senada disampaikan Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana. Ia menyerukan agar rakyat melakukan kudeta konstitusional dengan merebut kembali daulat rakyat. Denny menilai Presiden dan DPR telah melanggar konstitusi secara berjemaah dengan mengesahkan Perppu Cipta Kerja menjadi UU.

Bagai sinetron yang kejar tayang, pemerintah dan DPR seperti sedang habis-habisan demi memuluskan kepentingan mereka dalam UU ini. Dari pengesahan UU Cipta Kerja yang terkesan terburu-buru, ada pelajaran berharga yang patut kita garis bawahi:

Pertama, memasuki injury time, keberadaan UU Cipta Kerja sangat penting dan genting bagi penguasa sebelum masa kekuasaan mereka berakhir. Sudah jamak kita ketahui salah satu ciri khas liberalisasi ekonomi pada masa pemerintahan Presiden Jokowi adalah menarik dan mengundang investor asing agar berinvestasi di Indonesia. Contohnya adalah memberikan kemudahan perizinan atau investasi sebagai daya tarik investasi asing.

Kedua, setiap kebijakan zalim memang harus dilawan dan ditentang. Kapasitas perlawanan rakyat adalah dengan bersuara dan menyampaikan aspirasi sesuai jalur hukum yang ada, seperti demonstrasi atau mengajukan uji materi UU Cipta Kerja ke MK. Meski rasanya pesimis jika perlawanan rakyat akan membuahkan hasil sesuai harapan. Pasalnya, sudah berulang kali masyarakat bersuara lantang menentang dan mengkritik UU ini. Namun, pemerintah dan DPR bergeming. Bahkan, seorang menteri dengan santainya menanggapi penolakan itu dengan alasan penolakan UU itu dianggap biasa karena setiap UU pasti menghasilkan pro dan kontra.

Ketiga, pro dan kontra produk hukum buatan manusia akan selalu terjadi dalam sistem demokrasi. Bagaimana mungkin hukum buatan manusia bisa menyatukan setiap keinginan atau harapan dalam pikiran masing-masing orang? Pro dan kontra terjadi karena tidak ada standar hukum baku yang memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat manusia agar tunduk pada hukum tersebut. Konsep hukum baku dan tidak mengikuti setiap kehendak manusia hanya ada dalam sistem hukum Islam, yakni standar benar dan salah dikembalikan pada syariat Allah Taala, bukan pemikiran manusia yang cenderung subjektif dan berubah-ubah. Keempat, politik transaksional dan konflik kepentingan akan selalu mewarnai roda pemerintahan demokrasi. Seperti adagium yang sudah sangat kita kenal “tidak ada makan siang gratis”.

Pandangan islam

Dalam Islam, manusia tidak berhak membuat hukum karena hak membuat hukum hanya ada pada Allah Taala sebagai Al-Khaliq (pencipta) dan Al-Mudabbir (pengatur makhluk-Nya). Manusia diberi wewenang menjalankan hukum sesuai ketetapan syariat Allah Swt. Inilah salah satu perbedaan mendasar sistem demokrasi dengan Islam. Perbedaan lainnya ialah:

Pertama, tugas pemimpin dalam Islam adalah riayah suunil ummah, yakni mengurusi urusan masyarakat. Artinya, kepentingan dan kemaslahatan rakyat adalah prioritas pemimpin negara. Penguasa adalah pelayan rakyat yang melayani kepentingan rakyat dengan baik. Bukan sebaliknya, dalam demokrasi justru rakyat sebagai pelayan penguasa.

Kedua, Khilafah tidak mengenal pembagian kekuasaan, seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Parlemen atau dewan perwakilan rakyat dalam demokrasi memiliki otoritas membuat UU, mengangkat, dan memberhentikan penguasa. Sementara dalam Khilafah, para tokoh representatif rakyat dikenal dengan Majelis Umat, hanya bertugas mengoreksi kebijakan penguasa, menerima aduan masyarakat, dan memberi masukan, kritik, dan saran kepada penguasa meski pandangannya tidak selamanya mengikat. Sedangkan otoritas pemberhentian Khalifah ada di tangan Mahkamah Mazhalim.

Ketiga, menghidupkan kebiasan melakukan amar makruf nahi mungkar. Dalam Islam masyarakat berperan sebagai kontrol sosial atas kemaksiatan dan pelanggaran syariat yang terjadi di masyarakat.

Keempat, Islam melarang utang dan investasi asing dalam membiayai dan menguasai proyek strategis milik umum. Ini karena utang dan investasi asing adalah jalan bagi orang-orang kafir menguasai kaum muslim.

Kelima, masyarakat boleh memberikan kritik terhadap setiap kebijakan penguasa yang melenceng dari syariat Islam. Masyarakat berkewajiban mengingatkan jika terjadi kezaliman atas kebijakan penguasa. Sistem Khilafah sangat terbuka dengan kritik dan aduan dari rakyat. Bahkan, aktivitas kritik atau muhasabah kepada penguasa disejajarkan dengan aktivitas jihad fi sabilillah, sebagaimana sabda Nabi saw.,

“Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang melawan penguasa kejam, ia melarang dan memerintah, namun akhirnya ia mati terbunuh.” (HR Ath-Thabrani).

Demikianlah konsep Islam berkaitan dengan peran pemimpin dan pengaturan masyarakat berdasarkan syariat kafah. Tidak ada pro dan kontra terhadap hukum sebab hukum yang berlaku di dalam Khilafah adalah hukum Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunah. Andai terjadi perbedaan pandangan terhadap suatu hukum, maka perintah Khalifah menghilangkan perbedaan tersebut.

 

Wallahu A’lam bishshawab.

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *