Paradoks Pembangunan Tidak Menyelamat, Konflik Lahan Terus Meningkat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Paradoks Pembangunan Tidak Menyelamat, Konflik Lahan Terus Meningkat

Aisyah Humaira 

(Aktivis Muslimah)

 

Belakangan ini, konflik lahan di Indonesia menjadi persoalan yang sedang masif terjadi. Fenomena ini muncul seiring meningkatnya upaya pembangunan dalam negeri. Atas nama pembangunan yang digaungkan sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan negeri banyak lahan terampas dan warga kehilangan hak atas ruang hidupnya. Jika demikian yang terjadi, lalu untuk siapa sebenarnya tujuan pembangunan yang digaungkan?

Permasalahan ini menimbulkan ricuh di tengah masyarakat hingga pemimpin tertinggi negeripun yakni Presiden Jokowi angkat bicara. Beliau mengungkapkan bahwa pada 2015—2016, banyak warga yang memintanya untuk segera menyelesaikan masalah sengketa lahan. Berikut pernyataanya dikutip dari Kementerian ATR/BPN (27-12-2023), “Di mana-mana saya tuh kalau masuk ke desa tuh, di telinga saya selalu, tahun-tahun 2015—2016, ‘Urusan sertifikat, Pak, urusan sertifikat, Pak, sengketa, Pak, konflik lahan, Pak.’ Tapi masih ada 80 juta (lahan) yang belum bersertifikat, baru 46 juta dari 126 juta yang harusnya bersertifikat,”

Menanggapi peristiwa ini, pemerintah menilai bahwa perkara sertifikat lahan menjadi pemicu masifnya kasus sengketa lahan baik antar-warga, warga dengan pemerintah, atau warga dengan perusahaan. Dilansir dari Detik.com (28-12-2023) akhirnya lahir kebijakan untuk menyelesaikan konflik lahan yakni pemerintah menggenjot penerbitan sertifikat kepemilikan.

Sayangnya kebijakan ini dinilai tidak ada korelasinya dengan penuntasan kasus konflik lahan. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bidang Advokasi dan Jaringan Zainal Arifin menyatakan bahwa penerbitan sertifikat tanah masyarakat tidak dapat menyelesaikan konflik agraria. Lanjutnya perkara pembagian sertifikat memang adalah kewajiban negara untuk pengakuan secara hukum hubungan masyarakat dengan lahan yang dimiliki.

Artinya pelegalan kepemilikan terlepas dari ada konflik atau tidak itu memang kebutuhan. Namun, tetap saja pembagian sertifikat tanah tidak akan menyelesaikan konflik agraria. Tidak terselesaikannya dengan kebijakan penetapan sertifikat disebabkan karena persoalannya bukan tentang konteks sertifikasi tanah, tetapi kaitannya dengan penyelesaian konflik-konflik agraria yang masih ada. Ada ketimpangan kekuasaan yang masih belum terselesaikan,” ungkap Zainal.

Adapun tanah-tanah yang disertifikasi oleh pemerintah saat ini bukanlah tanah berkonflik, melainkan tanah masyarakat yang memang belum disertifikasi karena berbagai faktor. Sementara itu, banyak konflik agraria belum terselesaikan karena sejumlah proyek strategis nasional (PSN) merampas lahan masyarakat seperti yang terjadi di desa Wadas, Jawa Tengah; Pulau Rempang, Riau; dan Pulau Obi, Halmahera Selatan.

Inilah wujud reforma agraria palsu, dimana melalui UU Cipta Kerja, konflik agraria makin meningkat. Ini adalah paradoks pembangunan. Setelah adanya UU Cipta Kerja, terjadi pemutihan terhadap sawit secara gila-gilaan di kawasan hutan. Tampak bahwa kebijakan pemerintah tidak berpihak pada rakyat, tetapi pada pemilik modal. Padahal negara seharusnya menjadi yang paling berperan dalam menyelesaikan konflik ini bukan malah sebaliknya justru menjadi biang kerok terampasnya lahan secara ugal-ugalan.

Mudahnya perampasan lahan oleh pemilik modal melalui penguasa terjadi dikarenakan saat terjadinya konflik pemerintah justru membuat aturan yang memudahkan perampasan terhadap lahan masyarakat dengan dalih proyek pembangunan nasional. Pada Kamis (21-12-2023), Walhi merilis Siaran Pers nomor 5618 yakni “Demi Genjot Proyek Strategis, Jokowi Terbitkan Peraturan Percepat Perampasan Tanah Rakyat”. Ngeri sekali.

Walhi menjelaskan bahwa Presiden Jokowi pada Jumat (8-12-2023), telah mengeluarkan Perpres 78/2023 tentang Perubahan atas Perpres 62/2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional (Perpres 78/2023). Walhi menyebut perpres ini sebagai produk regulasi sesat pikir yang lahir atas kegugupan dan kegagapan Jokowi terkait kelanjutan ambisi proyek nasional pada satu tahun terakhir masa kepemimpinannya.

Media Walhi menyorot cara pandang Perpres 78/2023 makin memperlihatkan kesesatan logika hukum Jokowi. Terdapat beberapa masalah fundamental dalam peraturan tersebut. Pertama, presiden gagal memahami makna Hak Menguasai Negara (HMN). Kedua, presiden menganggap rakyat tidak memiliki hak atas tanah yang dikuasainya. Ketiga, “santunan” dalam beleid ini mengaburkan posisi keberadaan dan hak masyarakat yang seharusnya mendapat jaminan perlindungan dari negara dalam menguasai dan mengelola tanah.

Keempat, simplifikasi solusi yang disebut dengan penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka penyediaan tanah untuk pembangunan nasional melalui uang dan/atau pemukiman kembali justru melahirkan konflik yang berkepanjangan. Kelima, dengan Perpres 78/2023, maka dengan dalih pembangunan nasional, masyarakat yang mengelola tanah bisa diusir dari tanah tersebut dengan santunan.

Tampak bahwa perpres tersebut dibuat oleh pemerintah bukan untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat, melainkan untuk kepentingan penguasa dan pengusaha sehingga mudah menguasai lahan milik rakyat. Perpres ini jelas akan membuat konflik lahan makin banyak terjadi pada masa depan. Walhasil, bukannya selesai, konflik malah meninggi. Beginilah model negeri yang menerapkan sistem kapitalisme demokrasi pembangunan yang terjadi bukan untuk menjawab kebutuhaan masyarakat tapi kepentingan oknum.

Bicara oknum ialah penguasa dan pengusaha bernama oligarki. Terjadi simbiosis mutualisme ada penguasa dan pengusaha. Penguasa butuh untuk berkuasa dan pencitraan dengan melakukan pembangunan sehingga butuh investor, sedangkan pengusaha butuh memperbesar bisnisnya dengan melakukan investasi. mereka bekerja sama tak peduli halal haram demi melancarkan ambisinya, termasuk dengan menyerobot tanah warga hingga masyarakat melarat dan derita. Astagfirullahaladzim.

Ini masalah sistemis sehingga Jelas kondisi ini tidak akan terselesaikan kecuali adanya sistem yang pantas dan terbukti terbaik untuk diterapkannya menggantikan kapitalisme, yakni sistem Islam. Dalam sistem Islam karena Islam memiliki konsep yang jelas tentang kepemilikan lahan. Islam mengakui tiga jenis kepemilikan, yaitu individu, umum, dan negara.

Lahan yang menjadi milik individu rakyat maka negara akan melindungi dan menjamin keamanannya sehingga tidak akan ada pihak mana pun yang merampasnya. Berikut individu pemilik ini wajib mengelola lahan tersebut dan tidak boleh menelantarkannya. Sedangkan kepemilikan umum, seperti hutan, padang rumput, pertambangan, dsb., tidak boleh dikuasai individu (swasta). Yang berhak mengelolanya adalah negara dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat.

Dengan demikian, meski pengusaha punya modal besar, tidak boleh menguasai lahan milik umum. Penguasa (khalifah) tidak boleh memihak pada pengusaha dalam hal konflik lahan. Hal ini karena penguasa di dalam Islam berposisi sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) rakyat, termasuk pelindung dalam hal kepemilikan lahan.

Selain itu, arah pembangunan negara di dalam sistem Islam (Khilafah) adalah menjadikan proyek pembangunan apa pun dilaksanakan untuk kepentingan rakyat, yaitu mewujudkan kesejahteraan rakyat orang per orang, bukan untuk kepentingan segelintir pemilik modal. Hal ini sebagaimana isah ketika Gubernur mesir ingin membangun masjid yang ternyata lahan itu sebagiannya milik hunia warga yahudi maka Umar Bin Khattab sebagai khalifah saat itu memerintahkan agar gubernur mesir Amru bin Ash berbuat adil dan tidak dzalim kepada warganya.

Jika dipikir padahal mau membangun masjid tapi disitulah kita bisa melihat betap teguhnya pemimpin yang memegang syariat sehingga sulit baginya untuk membiarkan masyarakatnya melarat kehilangan hak untuk bertempat tinggal dan kesejahteraan dari lahannya. Karakter inilah yang tertaut dalam kepemimpinan dibawah naungan khilafah sehingga wajar membawa pada peradaban yang mulia sepanjang sejarah kehidupan manusia.

Sejatinya pembangunan maka orientasinya haruslah untuk menambah kecintaan terhadap Allah. Inilah pembangunan yang membawa pada keselamatan bukan keinginan semata hingga berujung petaka. Pembangunan yang dilakukan pemerintah, misalnya bentuk pembangunannya, besaran dananya, dan sebagainya, fokusnya adalah melindungi dan membawa kemaslahatan untuk rakyat. Dengan demikian, sudah sepatutnya khilafah diperjuangkan untuk mewujudakan rakyat yang terlindungi. Inilah solusi hakiki atas segala konflik yang kerap terjadi.

Wallahu’alam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *