Moderasi Agama : Tercipta Kerukunan, Mungkinkah?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Moderasi Agama : Tercipta Kerukunan, Mungkinkah?

Antika Rahmawati

(Aktivis Dakwah)

 

Moderasi beragama sudah tidak asing di telinga, bahkan semakin masif menggema. Dengan menggaungkan kerukunan antar umat beragama, toleransi jadi dalihnya. Tempat ibadah juga turut menjadi simbol pemersatu antar umat, meski mereka berbeda agama.

Hal ini terjadi di salah satu wilayah kabupaten Bekasi, yakni dibangunnya gereja paroki ibu Teresa Cikarang dengan masjid Al-Muhajirin Lippo Cikarang. Gereja dan masjid tersebut dibangun secara berdampingan, dengan tujuan terciptanya kerukunan antar umat beragama. Menurut Pejabat Bupati Bekasi, Dani Ramdan menyatakan, harapannya agar pembangunan gereja Katholik tersebut rampung di tahun 2024 agar umat Katholik Bekasi dapat melaksanakan natal dan juga berharap pembangunan masjid Al-Muhajirin dapat selesai bersamaan.

Pembangunan gereja paroki ibu Teresa ini, berada di tahap pemasangan tiang pancang dan dilanjutkan dengan prosesi peletakan batu pertama. Dani juga berharap, supaya pembangunan gereja paroki ibu Teresa uakan menjadi sebuah paradigma baru di kabupaten Bekasi. Seolah pembangunan gereja adalah hal urgent, karena diharuskan rampung tahun ini. (beritacikarang.com, 19-01-2024)

Pasca Bekasi dinobatkan sebagai kota yang paling toleransi nomor tiga di tahun 2023, harapannya Bekasi akan menjadi kota paling toleransi nomor 1 se-Indonesia. Karena pembangunan masjid dan gereja ini, sebagai bentuk penguatan narasi moderasi dan kerukunan antar umat beragama. Padahal pembangunan gereja tersebut tidak ada urgensinya sama sekali.

Moderasi Tempat Ibadah: Bukan Toleransi !

Moderasi dengan motif menyandingkan dua tempat ibadah, bukanlah bentuk toleransi. Juga bukan urgensi ketika gereja dibangun secara berdampingan, sebab tolok ukur perdamaian antar sesama umat itu dari sikap mereka yang tidak mencampuri akidah umat agama lain dan tidak memaksa keras umat agama lain untuk meyakini apa yang kita yakini atau bisa disebut dengan toleransi. Sederhana saja, namun, untuk saat ini sikap toleransi di salah artikan menjadi sebuah kebersamaan antar umat beragama dengan “ikut serta” baik dalam sikap, ucapan dan tindakan (ikut merayakan) hari besar agama lain.

Hal tersebut karena pola pikir yang salah akan persepsi, pemikiran pluralisme yang mengakar telah meracuni masyarakat saat ini. Sampai tempat ibadahpun masih diyakini akan membawa perdamaian, bagi antar sesama umat beragama. Sebenarnya tanpa harus menyandingkan dua tempat ibadah yang berbeda, memang umat harus saling menghargai dengan tidak mengganggu dan menghina agama lain.

Tetapi, hari ini banyak penistaan agama di mana-mana yang mengarah pada umat muslim. Dan hukum yang berjalan tidak mampu membuat para pelaku penista agama tersebut jera akan perbuatannya. Diantara pelaku penistaan agama itu sendiri yakni umat agama lain di luar Islam.

“Apakah moderasi agama akan bawa perdamaian antar sesama umat?”, sedangkan di luar sana penghinaan Al-Qur’an, menista nabi Muhammad saw. dan masih banyak lagi. Umat hanya butuh solusi agar penistaan agama, tidak lagi terulang. Dan moderasi agama ini harus di hilangkan, karena narasi perdamaian umat lewat moderasi beragama hanya pepesan kosong belaka.

Jika kita lihat fakta lapangannya, pembangunan gereja dalam kurun waktu 5 tahun terakhir jauh lebih besar dibandingkan dengan pembangunan masjid. Yakni dengan kenaikan sebesar 50%, sedangkan kenaikan pembangunan masjid hanya sebesar 30%. Dan hal ini menjadi indikasi, adanya penggelontoran dana pembangunan lebih besar pada pembangunan gereja dibandingkan masjid.

Dari data tersebut, umat muslim yang mayoritas di negeri ini tidak pantas disebut tidak toleransi dan bebagai stigma yang lain. Karena dari segi pembangunan dua tempat ibadah ini saja, sudah menunjukkan betapa amat jauh dari kata toleran. Pasalnya, masyarakat muslim di Indonesia ini jumlahnya lebih banyak dibanding kaum non-muslim.

“Bagaimana bisa jumlah muslim yang mayoritas menempati bangunan masjid yg tidak cukup besar dibanding dengan bangunan gereja?”, ini yang seharusnya kita soroti dengan benar-benar jeli. Sehingga kita tidak akan mudah termakan propaganda moderasi agama berkedok persatuan dan perdamaian. Padahal, toleransi dalam konteks moderasi beragama bukanlah saling menghargai, namun saling memaksa agar umat muslim mau mengakui akidah mereka benar.

Umat muslim hari ini bagai buih di tengah lautan, tidak punya pelindung yang jadi perisai. Narasi sesat terutama moderasi sangat mudah mengakar, sebab tidak adanya peran negara langsung dalam menyelesaikan masalah pluralisme dan moderasi agama. Tentunya, segala sesuatu yang bertentangan dengan syari’at solusinya hanya pada perubahan sistem hukum negaranya.

Islam Solusi Atas Masalah Moderasi Agama

Lain halnya dengan Islam, yang menjadikan akidah Islam sebagai kedudukan tertinggi. Segala sesuatu dilihat dari kacamata Islam, bukan dengan pandangan yang lain. Islam menjadikan kehidupan masyarakatnya sebagai kumpulan jemaah, yang direkatkan melalui persatuan. Berbeda dengan paradigma kapitalisme yang memandang bahwa semua agama sama, tetapi Islam berpandangan agama satu dengan yang lain itu berbeda dan agama yang lurus dan benar hanya Islam.

Sebab, Islam punya pedoman atau peraturan hidup di seluruh bidang dan ranah. Bukan hanya mengatur perkara ibadah, akhlak dan perkara yang bersifat individu, namun juga perkara umat dalam menyelesaikan permasalahan serta dalam meluruskan pemahaman yang keliru. Salah satunya adalah ide pluralisme yang menganggap semua agama sama, atau menunjukkan betapa toleransi setiap masyarakatnya terjalin dengan baik tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Sesuai dengan firman Allah swt, dalam QS. Al-Baqarah ayat 256 :

لَاۤ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِ ۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِا لطَّا غُوْتِ وَيُؤْمِنْ بِۢا للّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِا لْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَا مَ لَهَا ۗ وَا للّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”

Ayat di atas, menunjukkan betapa toleransi yang diajarkan Islam dapat menciptakan kedamaian. Dari masa Rasulullah hingga para khalifah setelah masa kepemimpinan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, toleransi antar umat beragama tetap terjalin dengan baik. Bukan hanya jaminan keamanan untuk kaum muslim, namun berlaku juga untuk umat non-muslim.

Mereka tidak dipaksa untuk masuk Islam, mereka tetap diberi jaminan dapat melaksanakan ibadah dengan tenang dan aman. Selama mereka mau mematuhi hukum syarak, mereka akan merasakan apa yang umat muslim rasakan yakni beragama sesuai dengan keyakinan mereka. Namun, point pentingnya yakni tetap dalam koridor syarak seperti berpakaian menutup aurat bagi setiap kaum wanita, baik muslim maupun non-muslim.

Tetap menjalankan mu’amalah, melakukan sesuatu di kehidupan sehari-hari tetap terikat dengan syariat. Bagi non-muslim yang tidak ingin tinggal di negara khilafah, maka mereka akan mendapat jaminan keamanan untuk keluar dari negara khilafah tanpa ada yang kurang satupun. Sehingga, tidak ada masyarakat yang saling serang maupun menistakan agama siapapun.

Karena hukum yang berlaku dalam institusi khilafah, sangatlah tegas terutama bagi pelaku penista agama. Baik muslim maupun non-muslim hidup berdampingan dengan aman dan damai, sebab mereka hidup terjamin oleh negara dengan porsi yang sama selama mereka taat dengan syariat. Tentunya, tidak mempermasalahkan toleransi dengan menyandingkan tempat ibadah mereka hanya untuk menggencarkan narasi yang keliru seperti hari ini.

Berbeda dengan kapitalisme yang selalu menyisihkan ibadah umat muslim di tempat yang tidak layak, bahkan lebih terbatas dibanding gereja. Karena memang moderasi ini hanya alat propaganda, padahal sebenarnya mereka tidak memihak pada kaum muslim. Tetapi Islam, selalu membangun masjid dengan sedemikian indahnya agar umat muslim mampu beribadah dengan nyaman dan kusyuk.

Tentu saja, karena Islam lebih mengedepankan urusan umat dibanding sekedar meraih manfaat semata. Hanya Islam yang mampu menjadikan masjid menjadi tempat ibadah yang agung, sebab masjid merupakan rumah ibadah tempat hamba dan Tuhannya bertemu. Tidak seperti kapitalisme yang hanya menjalankan visi sesuai pesanan kapitalis, dan meraup keuntungan semata.

Sebagai muslim, sudah sepantasnya kita mulai belajar memahami konsep toleransi terhadap sesama manusia dengan mengkaji Islam kaffah. Dengan memperkaya khasanah tentang aturan Islam, kita tidak akan terbawa arus yang saat ini tengah menyeret habis-habisan para umat muslim yang awam. Saatnya kita ubah pemikiran kita dengan persatuan, bukan dengan moderasi berkedok perdamaian, padahal hanya akan menimbulkan perpecahan antar sesama manusia.

Saatnya kita berjuang bersama meraih rida Allah, dengan terjun ke aktivitas bermanfaat yakni dengan dakwah. Suarakan Islam dengan lantang, agar banyak umat yang sadar akan narasi sesat yang saat ini berulang kali digencarkan. Tunjukan bahwa kita layak mendapatkan rida Allah, agar kita dapat meraih pula jannah-Nya.

Wallahu a’lam Bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *