Mewaspadai Potensi Konflik Menjelang Pemilu

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Mewaspadai Potensi Konflik Menjelang Pemilu

Oleh Aisyah Humaira

(Aktivis Muslimah)

 

Suasana pemilu yang semakin pekat pencitraan memunculkan banyak suara pendukung atas nama haknya memilih menggaunggkan sosok yang dikagumi dan berlanjut kefanatikan hingga dengan gampangnya rela bertikai jika ada pihak yang menghalangi misi. Jelas saja pertikaian ini terjadi di antara mereka yang berbeda kubu dalam pilihannya.

Seperti yang dilansir dari laman website tirto.id (16/10/23) diketahui akibat emosi setitik, rusaklah sepeda motor dan rumah warga. Bentrokan antara dua kelompok terjadi di Muntilan, Magelang, Jawa Tengah pada Ahad (15-10-2023). Bentrokan diduga melibatkan Laskar PDIP Jogja (BSM dan Bregodo Wirodigdo) yang baru saja menghadiri acara di Mungkid dengan Gerakan Pemuda Kabah (GPK) Militan. Kerusuhan tersebut mengakibatkan 11 sepeda motor rusak dan 3 rumah warga jendelanya pecah.

Di era globalisasi saat ini konflik serupa tidak dipungkiri juga berseliweran di dunia maya walau tentunya tidak dalam bentuk fisik seperti polarisasi yang terbentuk saat pesta demokrasi 2019 lalu. Di sana terjadi “perang opini” yang saling menjagokan pasangan capres-cawapres masing-masing. Lalu muncullah istilah “cebong” untuk simpatisan Jokowi dan sebutan “kampret” untuk pendukung Prabowo. Setelah Pilpres 2019 usai, istilah itu bergeser menjadi “buzzeRp” dan “kadrun”. Namun, setelah Prabowo masuk dalam kabinet Jokowi, para pendukung Jokowi lebih sering menyebut “kadrun” terhadap mereka yang kecewa dengan rekonsiliasi Prabowo yang awalnya menjadi rival dalam Pilpres 2019.

Mirisnya dalam sistem kehidupan saat ini, momen pemilupun berpotensi menimbulkan konflik antara pendukung bahkan kecintaan pada figur yang didukung secara berlebihan.

Keterikatan atau kekaguman berlebihan pada sosok atau parpol akan memudahkan munculnya konflik yang tidak perlu. Pemilunya sesaat, konfliknya bisa berkepanjangan. Begitulah kawan, ketika dukungan kepada figur publik atau parpol hanya berdasarkan kepentingan semu maka pada ikatan yang terbentuk akan demikian menyedihkan. Baik atau buruk, salah atau benar, hanya dilihat dengan sudut pandang “pokoknya kelompoknya yang paling benar”.

Dalam demokrasi, pemilu dianggap sebagai arena hidup dan mati. Siapa yang memenangi pertarungan, ialah pemenangnya. Lucunya, setelah mendukung sampai titik darah penghabisan, pendukungnya dilupakan. Seperti yang terjadi pasca-Pilpres 2019 bahwa rekonsiliasi Jokowi-Prabowo yang mengecewakan banyak pihak, termasuk para pendukungnya. Pasalnya, setelah pesta pemilu usai, Prabowo malah merapat ke kubu Jokowi demi mendapat jatah kursi. Miris sekali.

Merasa kecewa hati karena sikap Prabowo yabg seakan menghianati dan terkesan tidk percaya diri dengan pengaruhnya. Akhirnya, Pilpres 2019 seperti drama yang dipertontonkan kepada rakyat. “Jika ujungnya merapat ke penguasa, lalu untuk apa bertarung habis-habisan saat pilpres kemarin?” demikianlah salah satu ungkapan hati kekecewaan rakyat kepada parpol dan figur yang mereka dukung. Kemarin lawan, sekarang kawan. Dahulu musuh bebuyutan, sekarang satu perkumpulan.

Begitulah realitas parpol sekarang. Tidak penting siapa yang memilih asal saya terpilih, kira-kira begitu. Mereka yang terpilih benar-benar tidak sepenuhnya peduli sebab mereka punya kepentingan tersendiri. Pilpres 2019 adalah contoh nyata demokrasi tidak mengenal kawan ataupun lawan. Yang abadi hanyalah kepentingan. Umat harus paham bahwa realitas parpol dalam demokrasi kebanyakan bersifat dan bersikap pragmatis ketimbang idealis. Prinsip “tidak ada kawan dan lawan abadi” seolah harga mati bagi parpol demokrasi.

Jadi, tentu sangat merugi jika kita sebagai masyarakat apalagi muslim terlalu mengedepankan fanatisme terhadap golongan/partai. Apalagi sampai abai akan semangat persaudaraan dan persatuan. Dalam hal ini, kita harus memahami akan banyak pihak-pihak yang memanfaatkan suara rakyat demi meraih dukungan sebanyak-banyaknya dengan beraneka cara. Oleh karenanya, umat harus tahu realitas politik demokrasi agar tidak terjebak polarisasi yang memunculkan perselisihan seperti saat ini.

Satu-satunya yang mampu menyolusi adalah bagaimana menerapkan dan mendudukkan arti parpol menurut Islam. Parpol berdiri bukan hanya untuk memuaskan nafsu berkuasa dan memenangkan suara semata. Lebih dari itu, parpol berperan strategis dalam melakukan perubahan di tengah masyarakat, yaitu membentuk kesadaran dan pemahaman politik yang benar. Politik yang bermakna mengurus urusan rakyat.

Tujuan berdirinya parpol dalam Islam adalah untuk membina dan mendidik umat dengan pemahaman yang lurus sesuai pandangan Islam, bukan sebatas wadah menampung aspirasi dan suara rakyat. Mereka gunakan untuk koreksi terhadap kebijakan penguasa, tidak membela kezaliman, dan tidak mencari muka demi kepentingannya dari penguasa. Sudah semestinya parpol berdiri untuk membela kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Itulah cara kerja parpol yang diajarkan dalam Islam.

Islam membolehkan dan tidak membatasi berdirinya parpol karena menjadi sarana muhasabah rakyat atas penguasa. Dalam Islam dengan sistem pemerintahannya yang dikenal khilafah, berpolitik mewujud dalam aktivitas amar makruf nahi mungkar. Artinya, tugas parpol sebagai penyambung aspirasi rakyat dalam rangka membangun kesadaran penguasa ketika menjalankan tugas dan amanahnya.

Maka dari itu dipastikan gerak langkah, napas dan semangat juang parpol haruslah terikat dengan aturan Islam, bukan kepentingan individu atau golongan. Sehingga parpol dibawah naungan Khilafah tidak akan mudah berbelok arah apalagi lemah tipu daya karena bersandar pada ikatan yang benar, yakni akidah Islam.

Allahu Akbar

Wallahu alam bishawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *