Menelisik Kapitalisasi di Pesantren

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Menelisik Kapitalisasi di Pesantren

 

Oleh Eni Oktaviani, S.E

Kontributor Suara Inqilabi

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka. Sejak Islam masuk ke Indonesia pesantren lahir sebagai pusat pendidikan Islam untuk menuntut ilmu agama, hingga terlahir para ulama besar sebagai rujukan masyarakat.

Pesantren menunjukkan eksistensinya sebagai integral kekuatan bangsa. Terbukti ketika pemerintah kolonial Belanda berkuasa di Indonesia, pertumbuhan pesantren dan madrasah tidak mampu dikendalikan, bahkan menjadikannya pusat perjuangan dalam melepaskan diri dari penjajahan. “Resolusi Jihad” pada Oktober 1945 menjadi bukti kontribusi nyata kaum santri dalam merebut kemerdekaan, yakni Laskar Hizbullah di bawah pimpinan KH Zainul Arifin serta Laskar Sabilillah di bawah barisan KH Masjkur yang kini bertransformasi sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI). Wajar jika banyak tokoh dari kalangan santri yang mendapatkan gelar Pahlawan Nasional (ditpdpontren.kemenag.go.id).

Secara statistik Kementerian Agama mencatat hingga saat ini jumlah pesantren di seluruh Indonesia sudah mencapai sekitar 37.700, sedangkan jumlah santri aktif sebanyak 4,2 juta orang dan jumlah pengajar (kiai/ustadz) sebanyak 370 ribu orang (sitren.kemenag.go.id). Pesantren tidak hanya berfungsi dalam aspek pendidikan dan kekuatan perjuangan saja, melainkan dalam dakwah Islam dan pemberdayaan masyarakat. Kementerian Agama memberikan apresiasi tiga fungsi utama melalui berbagai kebijakan yang mengusung tagline “Menjaga Tradisi, Mengawal Inovasi”. Satu sisi, ingin menjaga tradisi, identitas kultural, nilai-nilai yang baik dari pesantren, di sisi lain pesantren juga sebagai wahana pengembangan ilmu pengetahuan, sains, teknologi, dan nilai-nilai modernitas. Tidak heran apabila saat ini muncul beberapa pesantren yang mempunyai ciri khas baru sebagai modernisasi seperti pesantren Al-Ittifaq di Bandung yang fokus di Agrobisnis. Dukungan terhadap pesantren datang dari berbagai pihak, karena saat ini pesantren dinilai memiliki prospek tinggi untuk kekuatan ekonomi sehingga perlu ada langkah kapitalisasi untuk mencapainya, sungguh ironi keberadaan pesantren kini, jauh dari filosofis dan esensinya.

Kapitalisasi Pesantren

Dalam Peraturan Presiden No. 114/2020, edukasi dan literasi keuangan merupakan elemen penting, bahwa segmen pelajar/santri dan masyarakat sekitar pondok pesantren merupakan sasaran prioritas dalam peningkatan inklusi keuangan di Indonesia. Hal ini tertuang dalam Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI). Mengingat salah satu peran strategis pesantren adalah mendukung perekonomian syariah yang bisa menjadi motor penggerak ekonomi kerakyatan, ekonomi syariah, dan UMKM halal (Radar Bogor, 15/09/2022). Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan, pengelolaan pesantren untuk kemandirian ekonomi di Indonesia memiliki potensi yang besar dengan nilai kapitalisasi hingga triliunan rupiah. Kemandirian ekonomi tersebut dilakukan salah satunya lewat pengelolaan Koperasi Pondok Pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara, sehingga ini bisa menjadi holding bisnis guna mendorong kemandirian ekonomi Indonesia (29/12).

Bank Indonesia (BI) juga menginisiasi, untuk menggerakkan ekonomi mikro yang mendorong pesantren membuat wadah untuk menampung perjalanan bisnis dari hulu sampai ke hilir dalam skala nasional, berupa hebitren sebagai platform menuju kemandirian ekonomi demi terwujudnya Sustainable Development Goals. Demi mencapai tujuan tersebut, pemerintah pun terus membangun bank-bank wakaf mikro dan Baitul-Mal wat Tamwil (BMT) di berbagai pesantren untuk memberdayakan masyarakat, Pesantren-pesantren harus turut mengembangkan visi program One Pesantren One Product (OPOP) yang mendorong kreativitas santri menciptakan produk pesantren. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno menyebut, program santri digitalpreneur telah membuka 1,1 juta lapangan kerja baru pada 2022. Ia menyampaikan bahwa pesantren merupakan tulang punggung ekonomi dengan target tercapainya 4,4 juta lapangan pekerjaan di 2024. Program ini dibuka untuk mencetak generasi santri digital yang dapat memproduksi konten-konten digital kreatif dan inovatif serta memiliki akhlakul karimah (15/1).

Pemerintah tampak pandai memoles sedemikian rupa program ini, padahal yang terjadi adalah kapitalisasi pesantren sebagai sumber keuangan baru yang begitu menggiurkan untuk digenjot. Corak pesantren yang telah melekat sebagai lembaga pendidikan agama dan dakwah, tempat diajarkannya tsaqafah Islam yang dipelajari langsung dari sumber-sumber kitab muktabar. Fungsi ini pun terancam hilang terkikis kebijakan pemerintah melalui program – program pemerintah saat ini. Harapan santri sebagai penerus ulama, untuk bisa mengkaji lebih mendalam ajaran Islam secara paripurna di pesantren, menjadi pupus seiring gencarnya program santripreneur.

Sungguh yang didapatkan dari program-program ini tidak lain kemudaratan. Memberdayakan ekonomi pesantren sama saja mengambil keuntungan materi sebesar-besarnya dari pesantren. Santri dipekerjakan dan diiming-imingi dengan keuntungan materi, padahal mereka sedang disasar sebagai buruh bagi para korporasi. Pemerintah sendiri sangat serius menggarap pesantren untuk menjadi target eksploitasi perekonomian bangsa, padahal seharusnya pembiayaan dan pendidikan termasuk pesantren adalah tanggung jawab negara. Kebaiaian negara dalam mengurusi umat membuat berbagai program yang ada justru menjauhkan visi-misi pesantren yang sesungguhnya.

Mengembalikan Peran Pesantren

Pertama, sebagai pusat pendidikan yang bertujuan untuk menjadikan generasi tafaqquh fiddin, sebagai lokus pembelajaran agama dan tsaqafah Islam agar Islam bisa menjadi problem solver. Oleh sebab itu, keberadaan pesantren haruslah kita posisikan sebagai lembaga pendidikan pencetak calon ulama. Dengan potensi santri yang sejatinya dicetak untuk menjadi para ulama penjaga agama Allah dan penjamin agama Allah, maka tidak boleh dibelokkan sedikitpun perannya.

Metode pembelajaran harus tetap terjaga sebagai tradisi dalam menuntut ilmu dengan sistem talaqi dan menjaga sanad. Sehingga pemikiran Islam yang cemerlang akan dapat terwarisi oleh generasi penerus termasuk umat sebagai peninggalan yang paling berharga. Menjadikan pemikiran Islam kekayaan pemikiran yang khas, menjadi metode berfikir yang dapat menyelesaikan problematik ditengah umat saat ini.

Kedua, pesantren memiliki andil besar dalam sejarah proses kemerdekaan, melawan penjajah serta perjuangan melepaskan diri dari penjajahan. Melepaskan diri dari pengaturan represif penjajah barat terhadap kaum muslimin sehingga tidak memuliakan Islam, menjadikan para kaum muslimin saat itu budak dan buruh rodi mereka. Jelas ini tidak menjadikan kaum muslimin umat yang terbaik.

Ketiga, pesantren juga mempunyai andil dalam pembangunan negara (menjadi rujukan pemerintah dalam kebijakan). Maka dengan konsep politik yang seharusnya melekat pada pesantren dan santri dengan pemikiran Islam , yakni politik Islam (memelihara urusan ummat), akan menghantarkan pada pembangunan negara dengan visi, misi dan tujuan yang jelas.

Hingga kemandiriannya dalam mengatur kehidupan sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Hadis, yakni menggunakan syariat Islam kaffah. Sebagaimana Allah Swt. menuntut umat Islam berislam secara kaffah melalui firmannya dalam QS Al-Baqarah ayat 208 :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam (kedamaian) secara menyeluruh dan janganlah ikuti langkah-langkah setan! Sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu”.

Inilah seharusnya keberadaan pesantren yang harus dikembalikan perannya dalam kehidupan saat ini, yang melahirkan para pejuang pergerakan politik dengan pandangan fikroh Islam yang syumul dan kamil, serta thoriqoh Islam yang jelas untuk mencapai kebangkitan. Hadir menyerukan Islam dan menyadarkan umat dengan syariat Islam, sehingga terwujud segala kemaslahatan bagi umat berdasarkan syariah Islam dalam segenap aspek kehidupan. Sebagaimana pergerakan politik Islam yang sejak awal dijalankan oleh baginda Nabi Muhammad SAW, sepanjang perjalanan dakwah beliau hingga berhasil meraih kekuasaan politik di Madinah , ditandai dengan pendirian Daulah Islam yang pertama, semata-mata demi melayani umat sesuai syariah Islam.

Wallahu’alam bishshawaab

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *