Mantan Narapidana Korupsi Menjadi Bacaleg, Wajah Buruk Demokrasi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Mantan Narapidana Korupsi Menjadi Bacaleg, Wajah Buruk Demokrasi

Oleh Isti Ummu Zhia

Kontributor Suara Inqilabi

Pesta demokrasi dalam tingkat legislatif tahun depan akan dimulai, tak banyak dipungkiri banyak yang ingin mencalonkan diri. Baik dari kalangan artis, konglomerat sampai kalangan bawah tak ketinggalan untuk berebut kursi. Bahkan, mantan narapidana korupsi pun ikut bersemangat menjadi bakal calon legislatif (bacaleg).

Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan setidaknya 15 mantan terpidana korupsi dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon legislatif (bacaleg) yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Agustus 2023.

Bacaleg mantan terpidana kasus korupsi itu mencalonkan diri untuk pemilihan umum (pemilu) 2024 di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Mereka berasal dari berbagai partai politik. (www.voaindonesia.com, 26/08/2023). Memang KPU sempat melarang sebelumnya, namun pada tahun 2018 dibatalkan oleh Mahkamah Agung dengan beberapa alasan. Dasarnya adalah Pasal 43 Ayat (1) UU HAM yang pada pokoknya menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih melalui pemilu.

Menjadi wajar apabila mantan narapidana kasus korupsi diperbolehkan menjadi calon anggota legislatif (caleg) DPR, DPD, dan DPRD pada Pemilu 2024 mendatang. Izin soal narapidana menjadi caleg itu tertuang dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terutama di Pasal 240 Ayat 1 huruf g. Dalam pasal tersebut, tidak ada larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar sebagai caleg DPR dan DPRD (Cnnindonesia.com, 22/8/2023).

Demokrasi akar masalah

Inilah kenyataan saat kita dibawah kepimpinan sistem sekular demokrasi. Sistem yang memisahkan agama dengan kehidupan, menjadikan aktifitas politik kering akan nilai nilai agama. Tuhan hanya diakui ditempat ibadah , namun untuk aturan kehidupan biarlah manusia membuat aturannya sendiri. Begitulah inti dari Demokrasi. Kedaulatan tidak lagi di tangan Tuhan (Allah swt), namun ada ditangan rakyat yakni kebolehan hak membuat hukum. Wajar, jika peraturan ini seakan memuluskan bacaleg untuk tetap bisa lolos dan berpeluang menduduki kursi jabatan.

Pemberantasan korupsi yang selama ini di dengungkan ibarat pepesan kosong serta hanya basa-basi belaka. Selain hal itu dianggap menguntungkan kepentingan politisi dan minimal merai balik modal. Kita tau untuk menjadi seseorang untuk menduduki kursi butuh modal yang tak sedikit. Siapa saja bisa menduduki jabatan asal punya uang. Alhasil orang baik pun tidak akan mencalonkan diri atau bahkan terlibas jika tak memiliki modal. Hukuman yang adapun yakni penjara tak membuat jera para pelaku koruptor. Seperti adanya Buktinya bukan semakin berkurang malah semakin subur, lembaga yang didengungkan (KPK) bisa di lemahkan. Hal ini semakin mengkonfirmasi demokrasi ramah pada koruptor dan istilah hukum bisa dibeli benar adanya. Maka sungguh meragukan apabila mantan narapidana dibolehkan mencalonkan diri, apakah mereka yakin sudah bertobat? Yang ada malah mengkhawatirkan korupsi oleh pejabat akan menjadi berulang kembali. Sudah banyak bukti nya orang baik malah ikut tersandung kasus korupsi.

Sistem islam solusi

Berbeda degan sistem islam. Fungsi legislatif tidak ada didalam islam, kafena dalam islam kedaulatan untuk membuat hukum itu hanya ada ditangan Allah swt. Sehingga semua dikembalikam bagaimana islam memandang pemimpin yang adil dan memberantas korupsi. Islam memiliki mekanisme intuk memberantas korupsi seperti bahkan mencegah kemunvulannya pun islam detail mengatur. Mulai dari memberikan gaji uang layak pada pegawai, perhitungan kekayaan, larangan menerima hadiah dan suap, serta hukuman yang tegas berupa ta’zir dari pemimpim negara yakni khalifah. Dengan penerapan hukuman oleh pemimpin muslim yang sah dalam ismam hal itu merupakan fungsi hukum itu sendiri yakni sebagai jawabir (penebus dosa) dan zawajir (pencegahan).

Dalam islam juga sudah ditetapkan kriteria dalam memilih pemimpin yakni harus adil. Adapun arti “keadilan” adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ibnu Taimiyah, yaitu apa saja yang ditunjukkan oleh Kitab dan Sunah, baik dalam hudud maupun hukum-hukum lainnya. (Ibnu Taimiyah, As-Siyasah asy-Syar’iyah). Artinya, orang yang adil adalah orang yang menegakkan hukum Allah Taala, baik untuk dirinya sendiri maupun masyarakat.

Tentu berlawanan, orang yang fasik (pelaku) maksiat tidak masuk dalam kriteia adil. Sehingga mantan naralidana korupsi tidak layak mencalonkan diri menjadi penguasa. Padahal, jika jabatan di jalankan bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya, Bagaimana maksud amanat disia-siakan?” Nabi menjawab, “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (Bukhari – 6015).

Sesungguhnya jabatan dalam islam adalah sesuatu amanah dan tanggung nawab yang besar yang nantinya akan dimintai pertanggung jawaban. Sehingga mekanjsme pemimpin dalam islam pun sudah diatur hingga dipastikan orang yang dipilih adalah yang bertaqwa, dan berkapabilitas.

Adapun wakil rakyat dalam negara Islam direpresentasikan oleh majelis umat. Namun, majelis umat berbeda dengan sistem sekarang. Majelis ummat bukanlah lembaga legislatif sebagaimana dalam sistem politik demokrasi yang memiliki fungsi legislatif yakni membuat hukim.

Majelis umat dalam Islam merupakan wakil rakyat dalam konteks syura (musyawarah memberi masukan kepada pemerintahan) majelis ini sebgaai wadah menampung aspirasi seluruh lapisan masyarakat, untuk melakukan muhasabah dan mengoreksi (komplain), karena itu anggota majelis umat ini terdiri dari pria, wanita, muslim, dan non muslim, artinya siapa saja yang mengemban kewarganegaraan Islam berhak dipilih menjadi anggota majelis umat. Sungguh, pemimpin dambaan ummat akan terwujud apabila sistem islam ditegakkan secara paripurna dalam bingkai khilafah.

 

Wallahu a’lam bishowab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *