Impor Beras: Kedaulatan Pangan Hanya Sekadar Angan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Impor Beras: Kedaulatan Pangan Hanya Sekadar Angan

Suaibah S.Pd.I.

(Pegiat Literasi)

 

Rencana kebijakan import menjelang berakhirnya pemerintahan Jokowi kembali dilakukan tahun ini. Jokowi mengintruksikan kepada pihak Bulog untuk melakukan 2 juta ton impor beras dalam rangka memenuhi cadangan beras pemerintah (CBP). Alasan dilakukan impor ini disampaikan oleh Presiden RI dikarenakan setiap tahun terjadi pertambahan penduduk. Diperkirakan ada 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya dan itu pasti akan menaikkan jumlah konsumsi dalam negeri. Ini adalah sebagai respon atas fenomena super El Nino yang menjadi sebab kekeringan dan defisitnya hasil panen tahun ini. Sebagaimana dikuti dari Ekonomi.Bisnis.com (3/1/2024) bahwa jumlah produksi beras periode Oktober-Desember 2023 terjadi defisit sebesar 0,26 juta hektar di banding tahun 2022 lalu. Sehingga kebijakan impor dianggap sebagai “solusi” bagi pemenuhan beras dalam negeri.

Swasembada Pangan Kandas

Sudah diketahui bahwa salah satu program pemerintah untuk merealisasikan swasembada pangan yang dimana ada tiga jenis produk pertanian yang digadang-gadang mengalami surplus bahkan ekspor sehingga tidak harus melakukan impor seperti beras, jagung dan kedelai. Namun masa pemerintahan ini bagai ‘ilusi’ itu masih jauh panggang dari api. Pasalnya berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporannya mengungkapkan bahwa produksi beras di 2023 turun sebesar 2,05 persen atau setara 650.000 ton dibandingkan tahun sebelumnya (Ekonomi.Bisnis.com, 3/1/2024).

Kebijakan impor beras ini adalah solusi pragmatis yang tidak menyentuh pada akar masalah yang sebenarnya sudah disediakan bahkan sudah dicanangkan oleh pemerintah. Bonus demografi penduduk Indonesia harusnya sudah dapat diprediksi dengan solusinya beserta langkah antisipatif untuk memenuhinya. Keberadaan impor merupakan lahan subur bagi para pengusaha bahkan berpotensi adanya mafia sebagaimana kasus minyak goreng 2021. Sebab perusahaan yang digandeng oleh pemerintah tentu orientasinya bisnis yang tujuannya adalah profit bukan pengurusan dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan untuk rakyat. Hal ini harus menjadi pertimbangan pemerintah bahwa kebijakan impor bukanlah solusi yang hakiki bagi pemenuhan kebutuhan rakyat. Akan tetapi perlu ada pembenahan ulang kebijakan yang harusnya mementingkan rakyat bukan kepentingan segelintir orang.

Inilah realitas ekonomi dalam sistem kapitalisme bahwa negara memandang dirinya tidak mampu mengurusi urusan rakyatnya. Impor menjadi salah satu contoh setengah hatinya penguasa dalam meriayah kebutuhan primer rakyatnya. Sehingga impor sejatinya memberi peluang bagi korporat ‘berbisnis’ dengan negara.

Sudah menjadi tanggung jawab negara untuk melindungi kedaulatan pangan dengan berbagai macam langkah antisipatif dan solutif seperti perluasan dan mengoptimalkan lahan pertanian. Namun begitu maraknya alih fungsi lahan menjadikan ini sebagai problem karena berkurangnya lahan pertanian. Dilain sisi produktifitas petani menurun akibat mahalnya bibit berkualitas dan juga pupuk. Sehingga impor ibarat solusi namun meruntuhkan semangat para petani untuk tetap bangkit ditengah keterpurukan.

Kedaulatan Pangan

Jika dalam pandangan ekonomi kapitalisme bahwa impor adalah solusi, lain halnya dengan Islam. Islam memandang bahwa pemenuhan kebutuhan pangan rakyat adalah murni tanggung jawab penguasa. Maka bagaimanapun caranya harus dilakukan oleh penguasa untuk mengoptimalkan sektor pertanian dalam negeri. Sebab Indonesia dikenal sebagai negara agraris maka terlihat paradoks jika ketergantungan impor pangan.

Dalam negara Islam kebijakan pada sektor pertanian adalah memajukan produktifitas pertanian. Hal ini harus seirama dengan kebijakan yang diambil oleh negara, diantaranya intensifikasi pertanian yaitu meningkatkan produktifitas dengan lahan yang tersedia. Negara berusaha untuk memproduksikan lahan dengan menerapkan teknologi yang menunjang budidaya di kalangan para petani, pemberian pupuk secara gratis, pengadaan mesin-mesin pertanian, menyediakan bibit unggul serta hal-hal yang berkaitan dengan sarana prasarana yang dibutuhkan pertanian.

Kemudian ekstensifikasi pertanian diperoleh dengan membuka lahan-lahan baru atau menghidupkan tanah yang sudah mati (tidak dikelola). Menghidupkan tanah yang mati adalah mengelola tanah tersebut hingga siap untuk ditanami agar bermanfaat. Rasulullah SAW, sebagaimana dituturkan oleh Umar bin al-Khaththab telah bersabda: “Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah miliknya.” [HR. Bukhari, Tirmidzi, dan Abu Dawud].

Kebijakan yang diambil oleh negara ini adalah dalam rangka menjalankan tanggung jawabnya sebagai penguasa. Mereka sadar bahwa mengurus kebutuhan rakyat merupakan amanah di dunia dan akan dipertanggungjawabkan di akherat kelak. Ibnu umar ra berkata, saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, ”Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggung jawaban perhial rakyat yang dipimpinnya.”(HR Bukhari dan Muslim)

Wallahu ‘alam Bish-shawwab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *