FOOD ESTATE: PERAMPASAN RUANG HIDUP BERKEDOK KETAHANAN PANGAN

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

FOOD ESTATE: PERAMPASAN RUANG HIDUP BERKEDOK KETAHANAN PANGAN

Amalia Elok Mustikasari 

Kontributor Suara Inqilabi 

 

Demi mencegah ancaman krisis pangan, Pemerintah menggagas program Food Estate di berbagai wilayah termasuk di Kalimantan Tengah. Untuk mendukung suksesnya pembangunan Food Estate, Pemerintah memasukkan program ini ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Namun, hal ini berimbas pada percepatan perizinan dan kemudahan regulasi. Selain itu, adanya UU Cipta Kerja memberi peluang konversi lahan secara masif. Ironisnya, hak ekslusif pengelolaan hutan masyarakat dan komunitas adat dicabut pasca regulasi ini terbit. Dua tahun berjalan program Food Estate di Kalimantan Tengah gagal. Kebun singkong 600 hektare mangkrak dan 17.000 hektare sawah tak kunjung panen (CNN News, 15/03/2023).

Seperempat abad lalu, proyek serupa pernah dibuat bahkan di lokasi yang sama namun berakhir bencana, kini kegagalan yang sama terulang. Respon Pemerintah mengatasi ancaman krisis pangan dengan membangun Food Estate merupakan keputusan tergesa-gesa dan agresif.

Program lumbung pangan atau Food Estate yang terus dikembangkan pemerintah sampai saat ini dinilai tidak relevan dengan kondisi Indonesia. Sebab, Indonesia tidak dalam kondisi krisis atau rawan pangan. Upaya untuk mencapai ketahanan pangan harus mengedepankan aspek ketersediaan, keterjangkauan, dan kemanfaatan. *Peneliti sosiologi pertanian-pangan sekaligus pengajar di Institut Teknologi Bandung (ITB), Angga Dwiartama menyampaikan, lumbung pangan merupakan salah satu contoh pertanian skala besar dan banyak dilakukan di seluruh dunia. Namun, agroekologi di negara tersebut akan menjadi sangat rentan ketika sistem pertanian bersifat monokultur dalam skala besar (Kompas.id, 03/03/2023).* Salah satu alasan utama pemerintah mengembangkan program lumbung pangan di sejumlah daerah ialah untuk mengatasi ancaman krisis pangan di Indonesia. Program ini juga bertujuan meningkatkan penyediaan pangan dan mencapai kedaulatan pangan.

Namun, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, produksi komoditas utama, seperti beras, sudah melebihi konsumsi masyarakat. Tercatat total konsumsi beras per tahun di Indonesia mencapai 20,8 juta ton. Sementara produksi beras sudah melebihi angka konsumsi, yakni 31,3 juta ton. Di beberapa daerah, data indeks ketahanan pangan memang menunjukkan bahwa wilayah Indonesia timur masuk dalam kategori rentan. Sementara sebagian besar wilayah di Indonesia barat, seperti Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, masuk kategori sangat tahan. Hal ini menunjukkan bahwa masalah di Indonesia bukan terkait produksi. Penyebab utama dari masalah ini adalah daya beli yang lemah, serta distribusi yang buruk bukan karena kurangnya ketersediaan pangan. Pemerintah kemudian menggunakan isu krisis pangan sebagai satu alasan untuk mempercepat proyek Food Estate di Kalimantan Tengah, di eks Proyek Lahan Gambut (PLG) yang merupakan tonggak sejarah kerusakan gambut dan tidak terpulihkan, menjadi sumber bencana lingkungan dan sumber utama kebakaran hutan. Upaya pemulihan yang dilakukan selama ini tidak pernah efektif dan terus mengalami kegagalan karena tidak ada niat tulus dari pemerintah. Bukannya mengambil pembelajaran dari kasus ini, Pemerintah justru membangun kembali proyek Food Estate, dengan kurangnya transparansi, minimnya kajian ilmiah dan partisipasi masyarakat.

Bukan untuk pertama kalinya tujuan ketahanan pangan dengan pendekatan Food Estate dilakukan. Program ini sudah berulang kali dilaksanakan dan mengalami kegagalan karena tidak berhasil mengefektifkan penggunaan lahan dan tidak menghasilkan produksi panen yang tinggi. Sejumlah contoh kegagalan Food Estate adalah pada era Soeharto, yakni Program Food Estate PLG, Kalteng (1996) dan pada era SBY, yakni Program Food Estate Bulungan, Kalimantan Timur (2011); Program Merauke Integrated Food and Energy Estate, Papua (2011); dan Program Food Estate Ketapang, Kalimantan Barat (2013). Kegagalan Food Estate terbaru ini lantas menyisakan pertanyaan besar, apa yang melatarbelakangi Food Estate sebagai agenda ketahanan pangan.

Proyek Food Estate berpotensi merugikan dan harus dihentikan dengan berbagai pertimbangan. *Pertama, Proyek Ini Merugikan Negara.* Proyek lahan gambut sejuta hektar di masa pemerintahan orde baru, yang akhirnya diputuskan berakhir dan gagal di masa pemerintahan BJ Habibie. Kegagalan tersebut dilatarbelakangi ketidakpahaman dan kurangnya kajian sosio-ekologis pada ekosistem gambut. Proyek yang menyedot APBN hingga 1,6 Triliun tersebut gagal total untuk dijadikan lumbung pangan, bahkan sebagian wilayahnya telah berganti menjadi perkebunan sawit hingga saat ini. Ironisnya proyek ini dibangun dengan menggunakan Dana Reboisasi (DR) yang diperuntukkan bagi pemulihan hutan. Pasca gagalnya proyek ini setidaknya telah ada dua kebijakan penting untuk melakukan rehabilitasi, yaitu pembayaran ganti rugi kepada masyarakat yang terdampak dan mengalokasikan dana sebesar 3,9 Triliun untuk melakukan rehabilitasi lahan gambut tetapi tidak ada kejelasan tentang penggunaannya.

Fakta menunjukkan, bahwa hampir semua proyek Food Estate di Indonesia yang bertumpu pada pembangunan skala luas dan modal dari pemerintah dengan melibatkan perusahaan terus mengalami kegagalan dan dibarengi dengan isu korupsi. Proyek Food Estate hanya menghabiskan anggaran negara, dan tidak berkontribusi secara nyata terhadap ketersediaan pangan apalagi kedaulatan pangan. Ini membuktikan bahwa Indonesia sebagai negara agraris tidak mampu melakukan pemetaan, konsolidasi lahan dan peta produksi secara nasional. Pemerintah selalu gagap jika berkaitan dengan berapa jumlah produksi pangan nasional, di antara pemangku kepentingan selalu berbeda cara hitung dan tidak ada kepastian data yang jelas sehingga berdampak pada pengambilan keputusan yang salah. Beberapa indikator yang menunjukkan bahwa Food Estate gagal sebagai program lumbung pangan nasional, antara lain: produktivitas lahan-lahan Food Estate yang sangat kurang, keterlibatan petani semakin hari semakin berkurang, produksi yang tersentral sangat rentan dari sisi suply dan distribusi di tempat lain. Karenanya Food Estate ini perlu evaluasi mengingat jumlah anggaran yang besar tidak berbanding lurus dengan produktivitas.

Kedua, Proyek Ini Merusak Alam.

Food Estate merupakan konsep agribisnis dengan menerapkan sistem monokultur. Sistem pertanian monokultur menyebabkan hilangnya keanekaragaman genetik varietas tradisional, merusak lingkungan dan daya tahan kesuburan tanah. Wilayah eks PLG yang kini menjadi petaka telah menghilangkan dan mengancam biodiversitas yang tinggi seperti kayu Ramin _(Gonystylus bancanus),_ Meranti Rawa _(Shorea balangeran),_ yang merupakan jenis kayu endemik di wilayah gambut, hingga hilangnya habitat asli Orangutan, serta meninggalkan monumen kanal primer dan sekunder sepanjang ratusan ribu kilometer. Kanal-kanal tersebut menjadi penyebab kekeringan gambut dan sumber kebakaran, yang melepaskan emisi gas rumah kaca dan dampaknya mencapai negara tetangga. Kebakaran hutan juga telah berimplikasi serius bagi kesehatan warga seperti meningkatnya penyakit ISPA dan memicu kematian dini. Kegagalan pemerintah untuk melindungi hak atas lingkungan yang sehat bahkan telah diuji di pengadilan dan menyatakan pemerintah melanggar hukum melalui putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3555/K/Pdt/ 2018 tanggal 16 Juli 2019 atas gugatan warga negara di mana meminta pemerintah untuk menerbitkan kebijakan untuk mencegah kebakaran hutan termasuk melindungi lahan gambut sebagai kawasan lindung. Proyek Food Estate kembali menunjukan pengingkaran pemerintah untuk membuka lahan gambut yang seharusnya dilindungi dan direhabilitasi.

Hutan dan lahan gambut adalah ekosistem yang memiliki peran penting untuk mencegah banjir dan mengatasi krisis iklim. Saat ini Indonesia telah dihadapkan pada dua masalah yang serius yaitu krisis iklim dan kesehatan, hal ini terjadi karena gagalnya pemerintah untuk melindungi kepentingan publik dan kerakusan korporasi yang mengeruk keuntungan dengan terus merusak alam. Lahan gambut merupakan salah satu ekosistem yang unik dan sangat penting bagi keseimbangan iklim dan perlindungan biodiversitas lahan basah, bahkan untuk menghindari sumber penyakit zoonosis yang berasal dari pengerusakan alam.

Ketiga, Tidak Berpihak Pada Rakyat.

Proyek ini lebih banyak membawa kerugian. Rakyat juga tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan Food Estate. Sebaliknya, ruang hidup mereka terampas oleh pihak yang ditugaskan untuk mengamankan lahan proyek. Hutan sudah terlanjur dibabat, tetapi Food Estate justru mendatangkan bencana bagi lingkungan dan masyarakat. Masyarakat adat memiliki kearifan lokal yang unik dalam analogi pola interaksi kehidupan mereka dan alam. Mereka tidak hanya memiliki dimensi ekonomi saja sebagai penunjang kehidupan, tetapi memiliki makna religius dan sosial yang sangat berpengaruh pada eksistensi mereka. Masyarakat adat mengidentikkan langit dengan sosok ayah yang superior, menurunkan embun dan hujan. Menjelajah ke segala arah untuk mencari kehidupan dan memberi rasa aman. Tanah dimaknai sebagai ibu yang memberikan kesuburan dan nutrisi. Hutan adalah wujud dari yang Maha Kuasa. Hal ini lah yang menyebabkan peran dan keberadaan hutan bagi masyarakat adat tidak dapat digantikan dengan uang. Namun kearifan lokal itu terkikis dan mendapat tantangan frontal dari perkembangan politik ekonomi yang semakin mengarah kepada liberalisasi di segala sektor. Ketika arus modal masuk dapat dilihat potensial untuk mengembangkan pertanian, perkebunan, pertambangan, kekayaan kultur tadi kerap ditundukkan dan dikalahkan oleh kepentingan kapital.

Konsep Food Estate yang menjadi momok bagi pertanian tradisional yang bukan hanya menjadi lahan penghidupan namun juga merupakan tradisi budaya yang memiliki keunikan tersendiri di setiap daerah. Food Estate tidak sesuai dengan reforma agraria, karena konsepnya sama sekali tidak mencerminkan restrukturisasi penguasaan dan pengelolaan lahan bagi rakyat. Food Estate memperburuk kesenjangan pemilikan lahan. Dalam melakukan investasi dan ekspansi, tidak jarang perusahaan besar berhadapan dengan petani kecil. Kondisi petani yang tidak kunjung sejahtera dan masalah legalitas tanah akan menjadi pemicu konflik. Terjadi kesenjangan karena tidak ada posisi yang setara bagi petani dalam pola kemitraan. Meski sering disebut bahwa pola kemitraan merupakan win-win solution, nyatanya tidak selalu mendatangkan kesejahteraan bagi para petani.

Mencuatnya Food Estate tidak lepas dari perkembangan Ideologi Kapitalisme di sektor pangan dan pertanian dunia. Perkembangan itu akhirnya melahirkan konsep Farming is Bussiness. Earl Butz, menteri pertanian (Mentan) Amerika Serikat (AS) pada masa pemerintahan Richard Nixon adalah Mentan pertama yang menekankan para petani AS saat itu untuk “Get Big or Get Out”. Petani AS waktu itu ditantang berkompetisi dengan perusahaan pertanian yang disuntik subsidi dan insentif perdagangan. Pertanian pangan akhirnya dimiliki oleh para kapitalis yang melakukan eksploitasi, akumulasi dan ekspansi berkelanjutan. Dengan prinsip supply dan demand, kapitalis secara mudah melakukan spekulasi atas harga pangan dunia.

Buah penerapan sistem Kapitalisme telah tampak nyata dalam program Food Estate. Paradigma kapitalisme ini telah mengaburkan visi politik pangan. Pangan tidak lagi dikelola untuk menyejahterakan rakyat dan menjamin kedaulatan pangan. Pemerintah hanya sebagai regulator dan fasilitator, yakni pembuat aturan dan kebijakan yang lebih menguntungkan korporasi. Program food estate juga mencerminkan pencitraan oleh penguasa seakan telah melakukan kebijakan untuk kesejahteraan rakyat. Sebab, kenyataanya masyarakat adat, para petani tak lagi dapat mencari penghidupan di hutan yang kini telah menjadi gundul. Apalagi kerusakan hutan telah menyebabkan kebakaran, banjir yang berkepanjangan dan hilangnya rumah bagi satwa.

Ketidakhati-hatian pemerintah dalam sistem Kapitalisme sangat berbeda dengan sistem Islam. Karena penguasa dalam sistem Islam memiliki keterikatan dan kesadaran yang tinggi terhadap hubungannya dengan Allah SWT. Sehingga, kebijakan yang diambil harus adil dan tidak bersifat zalim (merugikan rakyat). Begitu halnya dalam mengelola alam yang menjadi sumber kehidupan bagi banyak makhluk di dalamnya. Sehingga, patutlah kita merenungkan ayat Al Qur’an yang artinya

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, agar mereka merasakan sebagian akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS. Ar Rum, 41).

Seseorang yang membangun dengan mengambil tanah orang lain dan mengklaim bahwa tanah itu adalah miliknya atau dalam perkara lainnya. Sebab sejatinya orang yang mengambil hak orang lain itu akan dapat kesengsaraan di hari kiamat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan sahabat Sa’id bin Za’id:

“Barangsiapa mengambil satu jengkal tanah yang bukan haknya, ia akan dikalungi tanah seberat tujuh lapis bumi di hari kiamat” (HR. Muslim).

Dalam Islam, ketahanan pangan akan kuat karena memiliki konsep yang jelas dalam pengelolaan pangan, yaitu visi mewujudkan kemandirian pangan dan jaminan ketersediaan pangan. Islam memandang pangan sebagai salah satu kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi oleh negara. Maka pemerintah akan melakukan beragam upaya untuk mewujudkannya. Seperti peningkatan produktivitas lahan dan produksi pertanian melalui ekstensifikasi pertanian dengan cara menghidupkan kembali tanah-tanah mati. Karenanya bila ada tanah yang ditelantarkan oleh pemiliknya selama tiga tahun, maka hak kepemilikan atas tanah tersebut akan hilang. Negara berhak mengambil alih dan mendistribusikannya kepada rakyat yang bisa mengelolanya. Dengan begitu tidak ada istilah lahan kosong yang dibiarkan tanpa pemanfaatan untuk kemaslahatan orang banyak. Sebagaimana hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Abu Dawud yang artinya:

“Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.”

Menurut Abd Rahman Al Maliki dalam kitabnya yang berjudul As Siyaasatu Al Iqtishodiyah (Politik Ekonomi Islam) menjelaskan bahwa untuk meningkatkan produksi pertanian harus melakukan kebijakan intensifikasi pertanian. Seperti optimalisasi lahan dengan meningkatkan hasil pertanian bisa melalui peningkatan kualitas benih, penggunaan obat-obatan, pemanfaatan teknologi, menyebarkan tehnik-tehnik modern di kalangan para petani, membantu pengadaan benih serta membudidayakannya. Negara juga akan memberikan modal yang dibutuhkan bagi petani. Begitupun dalam menjamin pasokan pangan, negara akan menetapkan mekanisme pasar yang sehat. Sedangkan negara melarang penimbunan, penipuan, praktik riba dan monopoli. Dalam hal kebijakan pengendalian harga akan dilakukan berdasarkan mekanisme pasar dengan mengendalikan supply-demand, bukan kebijakan pematokan harga.

Negara haruslah berperan sebagai pengayom rakyat. Hal ini dapat dilihat pada Khalifah Umar bin Khaththab, yg suatu malam melakukan inspeksi ke perkampungan penduduk. Tanpa sengaja beliau mendengar rintihan anak menangis, Beliau pun menghampiri rumah tersebut dan memperhatikannya dari luar. Ternyata anak itu menangis karena lapar, sebab orang tuanya tidak lagi memiliki bahan makanan. Setelah mengetahui kondisi yang terjadi, sang Khalifah pun bergegas mengambil sekarung bahan makanan dari Baitul Mal, lalu dipikulnya sendiri bahkan dimasaknya dan disuapkan kepada anak dan keluarga yang sedang kelaparan. Inilah wujud tanggung jawab negara dalam menjamin kebutuhan pokok rakyatnya.

“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya” (HR Muslim dan Ahmad).

Begitulah Islam sebagai sistem yang sempurna, mampu mengatasi krisis pangan dan kemandirian pangan pun bisa diwujudkan. Maka sudah saatnya umat bersatu untuk membuang sistem batil (Kapitalisme) dan menerapkan kembali Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan.

Wallahu a’lam bishshawwab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *