Darurat Kekerasan Seksual, Jadikan Islam Sebagai Solusi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Darurat Kekerasan Seksual, Jadikan Islam Sebagai Solusi

 

Oleh. Febri Ghiyah Baitul Ilmi

Kontributor Suara Inqilabi

 

Kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) kian tumbuh subur di negeri ini. Ironinya, tak hanya orang dewasa, tetapi anak di bawah umur juga menjadi santapan empuk penjahat seksual. Kasus TPKS pada anak diibaratkan seperti fenomena gunung es, karena banyak kasus TPKS yang tidak terlapor.

Peran keluarga dan masyarakat sangat diperlukan untuk mengatasi kasus TPKS. Sebab, keluarga merupakan unit terkecil untuk memberikan rasa aman dan nyaman, memberikan edukasi tentang TPKS dan membangun komunikasi yang berkualitas bagi anggota keluarga. Oleh karena itu, pencegahan seksual dalam lingkungan keluarga harus dilakukan secara terus-menerus. Demikian, ungkapan Indra Gunawan seorang Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan Keluarga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). (Republika.co.id, 27-8-2023)

Sepanjang Januari hingga 28 Mei 2023 kasus TPKS mencapai 4.280 kasus. Dengan demikian, pemerintah terus mengupayakan berbagai program untuk mengatasi kasus TPKS. Satu di antara beberapa program pemerintah untuk mengatasi kasus TPKS, yaitu menggaungkan peran penting keluarga.

Pemerintah juga telah menyediakan sanksi pidana dan denda bagi pelaku TPKS. Hukuman tersebut tertuang di dalam UU No. 12 Tahun 2022 tentang UU TPKS. Pelaku TPKS non-fisik seperti godaan, kerlingan, gestur tubuh, menanyakan seputar seksual, dll. Menerima sanksi pidana penjara maksimal 9 bulan dan sanksi denda maksimal Rp10 juta. Kemudian, pelaku TPKS secara fisik seperti memegang, mengusap, meraba, menyetubuhi, dll. Menerima sanksi pidana penjara maksimal 12 tahun dan sanksi denda maksimal Rp300 juta.

Meskipun telah ada hukum pidana bagi pelaku TPKS, mengapa kasus ini justru makin meningkat? Adapun penyebab kasus TPKS sebagai berikut:

Pertama, kurangnya peran keluarga. Orang tua yang memiliki pengetahuan rendah tentang TPKS berdampak pada kurangnya pengawasan, buruknya pengasuhan, dan kurangnya edukasi terkait TPKS kepada anak. Kemudian, orang tua yang sibuk bekerja dapat menyebabkan kelalaian memberikan kasih sayang kepada anak. Maka, seorang anak akan merasa diabaikan dan melampiaskannya dengan bermain gadget dan berselancar di media sosial secara bebas. Selain itu, orang tua yang mengasuh anak dengan keras dan memaksa dapat menyebabkan kepribadian anak menjadi tertutup atau introver.

Kasus TPKS tidak hanya dilakukan oleh seseorang di luar lingkungan keluarga, tetapi di lingkungan keluarga juga memiliki potensi melakukan KTPS. Padahal, lingkungan keluarga seharusnya menjadi tempat paling aman dan nyaman, tetapi justru menjadi tempat yang menakutkan untuk anak. Seperti, pada kasus seorang ayah yang menyetubuhi putri kandungnya berusia 13 tahun. Perilaku bejat tersebut telah dilakukan berulang kali sejak tahun 2022 hingga 14 Agustus 2023. Kasus KTPS tersebut terjadi karena seorang ayah tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap masa depan putrinya.

Kedua, kurangnya peran masyarakat. Seiring berkembangnya zaman yang didukung oleh kemajuan teknologi, hanya sebagian masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya. Sebagiannya lagi, masyarakat acuh terhadap kondisi lingkungan. Parahnya, masyarakat yang individualis ini, bahkan tidak mengenal tetangga yang berada di samping rumahnya. Sebab, mereka merasa dapat melakukan semuanya sendiri dengan adanya teknologi, tanpa harus berinteraksi dengan orang lain.

Oleh karena itu, masyarakat individualis ketika terjadi kasus TPKS terhadap orang lain, mereka tetap merasa baik-baik saja dan tak peduli. Sebab, mereka beranggapan bukan dirinya atau keluarganya yang mengalami TPKS. Hal inilah, yang menjadi pendorong pelaku TPKS semakin marak. Karena, masyarakat tidak ikut berperan dalam pengawasan di lingkungan sekitarnya.

Masyarakat individualis akan melakukan keinginan sesuai kehendaknya. Mereka tidak peduli terhadap dampak negatif yang diterima orang lain akibat dari perilakunya. Seperti, kasus TPKS yang dilakukan oleh oknum PNS yaitu telah melakukan rudapaksa terhadap anak tetangga yang berusia 4 tahun, pada 13 Agustus 2023. Alasan pelaku yaitu naluri seksualnya bergejolak ketika melihat anak tetangga berusia 4 tahun memakai pakaian seksi.

Ketiga, kurangnya peran negara. Negara wajib bertanggungjawab terhadap keamanan dan keselamatan warganya dari kasus TPKS. Negara memiliki peran penting untuk mengatasi kasus TPKS dari segi sistem pendidikan, pengawasan media sosial, dan hukum. Namun, kenyataannya negara justru terkesan abai akan hal ini.

Dari sistem pendidikan, negara hanya fokus untuk mencetak generasi pekerja. Maka, generasi muda hanya fokus pada mata pelajaran matematika, teknologi, sains, dll. Kemudian, generasi saat ini juga fokus pada pengembangan eksistensi diri seperti menjadi koki, olahragawan, seni, dll. Oleh karena itu, dari sistem pendidikan umunya generasi saat ini tidak memiliki bekal akidah, akhlak, dan aturan agama dalam menjalani kehidupannya. Sehingga, generasi muda tersebut berpeluang besar melakukan TPKS.

Negara juga memiliki peran penting pada ranah media sosial. Tidak bisa dimungkiri kemajuan teknologi yang tak terbendung, menjadikan segala aktivitas bergantung pada teknologi, termasuk media sosial. Berdasarkan data laporan We Are Social pada Januari 2023, masyarakat yang aktif di media sosial berjumlah 167 juta orang, yaitu setara dengan 60,4% dari jumlah penduduk di Indonesia.

Media sosial memiliki berbagai dampak positif, seperti bertukar informasi, promosi, interaksi sosial, dll. Namun, kebebasan media sosial juga memiliki efek negatif yaitu beredarnya foto, video, dan film yang dapat menggugah gairah seksual pada seseorang. Demikianlah, akibat kurangnya peran pemerintah dalam pengawasan aktivitas masyarakat di media sosial. Sehingga, terbukalah peluang terjadinya kasus TPKS.

Selain itu, pemerintah berperan penting dalam penegakan hukum, untuk menciptakan keadilan, perlindungan, ketertiban, dll. Namun, hukum saat ini sangat lemah eksistensinya. Sehingga, masyarakat yang memiliki hak atas tujuan hukum, justru sebaliknya. Seperti, pada kasus TPKS yang dilakukan seorang ayah terhadap putri kandungnya sejak duduk di bangku TK sampai duduk di kelas 4 SD. Kasus tersebut telah terbukti kebenarannya, karena telah dilakukan visum dengan hasil alat vital korban mengalami trauma akibat benda tumpul dan korban menderita penyakit menular seks.

Kemudian, jaksa menuntut sanksi penjara 15 tahun penjara dan sanksi denda Rp5 miliar. Namun sayangnya, pada kasus TPKS tersebut, terdakwa divonis bebas oleh hakim pada 26 Juli 2023, dengan alasan bukti tidak cukup untuk menjatuhkan sanksi hukum penjara dan denda. Selain itu, kasus yang sama juga terjadi lebih dari 200 pelaku TPKS terbebas. Data tersebut berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sejauh tahun 2023.

Budak Sekulerisme

Pada hakikatnya yang menjadi akar dari kasus TPKS adalah diterapkannya sistem kapitalisme dengan asas sekularisme. Di mana, manusia yang memiliki berbagai problem kehidupan, namun tidak melibatkan pencipta manusia dan kehidupan untuk mengatasi problemnya. Maka, terbentuklah individu-individu yang jauh dari nilai-nilai agama dan mengatasi masalahnya dengan cara mereka sendiri.

Kemudian, sekularisme akan melahirkan individu liberal (kebebasan). Kebebasan tersebut dijamin oleh negara, seperti kebebasan beraktivitas di media sosial, kebebasan menyalurkan naluri seksual jika dengan alasan suka sama suka atau bahkan dengan paksaan, kebebasan membuat dan mengubah hukum sesuai keinginan, dll. Walhasil, kita bisa melihat kerusakan yang parah di dalam masyarakat. Tampak terlihat dari minimnya rasa kemanusian, rasa saling menghormati, rasa melindungi, rasa peduli, dll.

Islam Solusi Tepat

Kondisi bobrok saat ini jelas tidak bisa diabaikan begitu saja. Oleh karena itu, langkah yang harus dilakukan adalah mencampakkan sistem kapitalisme dan mengganti dengan sistem Islam. Dengan sistem Islam seluruh aspek kehidupan diatur berdasarkan keimanan dan ketakwaan.

Di dalam Islam terdapat beberapa cara untuk mengatasi kasus TPKS yaitu:

Pertama, lingkungan keluarga. Di dalam sistem Islam keluarga benar-benar memahami peranya dalam mengurus, mengawasi setiap perbuatan anak, mengasuh dan mendidik seorang anak sesuai tuntunan Islam. Kemudian, orang tua akan memberikan edukasi terkait cara menutup aurat, berinteraksi dengan lawan jenis, akhlak yang baik, dll. Sebab, orang tua telah paham seorang anak adalah amanah dari Allah Swt. Yang pertanggungjawabannya hingga akhirat.

Kedua, lingkungan masyarakat. Di dalam sistem Islam, masyarakat merupakan orang-orang yang memiliki pemikiran, perasaan, dan aturan yang sama, yakni Islam. Jika, di dalam masyarakat terdapat perilaku-perilaku yang memicu kasus TPKS, seperti perempuan membuka aurat, pelanggaran interaksi sosial, berkhalwat, dll. Maka, masyarakat akan melakukan amar makruf nahi mungkar. Sehingga, kasus TPKS akan terhindarkan di lingkungan masyarakat.

Ketiga, peran negara. Negara memiliki peran penting untuk mengatasi kasus TPKS. Dari sistem pendidikan, negara memberlakukan kurikulum berdasarkan akidah Islam. Maka, generasi yang terbentuk adalah generasi yang cerdas, kreatif, dan berkepribadian Islam. Oleh karena itu, di dalam sistem pendidikan Islam akan meminimalisasi generasi yang memiliki pemikiran bejat.

Kemudian, negara berperan penting dalam pengawasan aktivitas masyarakat di media sosial. Jika ada akun-akun yang meng-upload foto, video, dan film berbau pornografi akan segera diblokir. Sehingga, masyakat terbebas dari paparan pornografi di media sosial.

Selain itu, negara akan menegakkan keadilan bagi pelaku TPKS. Di dalam Islam, jika pelaku zina yang terikat pernikahan akan diberi sanksi rajam dan dera 100 kali. Kemudian, jika pelaku zina yang tidak terikat pernikahan akan didera sebanyak 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. Rasulullah saw. Bersabda,

“Ambillah dari diriku, ambillah dari diriku, sesungguhnya Allah telah memberi jalan keluar (sanksi) untuk mereka (para pezina). Jejaka dan perawan yang berzina hukumannya dera (cambuk) seratus kali dan pengasingan selama satu tahun. Sedangkan duda dan janda hukumannya dera seratus kali dan rajam.” (HR. Muslim)

Adapun sanksi bagi pelaku rudapaksa adalah sanksi takzir dan rajam. Sanksi takzir akan diberikan sebelum sanksi rajam. Di dalam kitab Nizhamul Uqubat sanksi takzir bagi pelaku rudapaksa berupa sanksi dera dan pengasingan. Sebagaimana, Imam Ibnu Abdil Barr di dalam kitab Istidzkar menyatakan,

“Sesungguhnya, hakim atau kadi dapat menjatuhkan hukuman kepada pemerkosa dan menetapkan takzir kepadanya dengan suatu hukuman yang dapat membuat orang jera untuknya dan orang-orang semisalnya.”

Seperti inilah cara Islam mengatasi kasus TPKS. Namun cara tersebut hanya bisa dilakukan jika diterapkannya sistem Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah. Sehingga, masyarakat akan hidup aman, nyaman, dan tenteram dalam lingkungan masyarakat Islam.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *