Ancaman Liberalisasi di Balik RUU Kesehatan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Ancaman Liberalisasi di Balik RUU Kesehatan


Nisa Agustina
(Muslimah Pegiat Literasi)

Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan sedang ramai diperbincangkan dan menuai banyak perdebatan. Di satu sisi, ada Kementerian Kesehatan yang getol ingin segera mengesahkan RUU ini. Di sisi berseberangan, organisasi profesi termasuk Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesa (PDGI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Forum Peduli Kesehatan, dll konsisten menarasikan stop pembahasan RUU ini di DPR.

Kementerian Kesehatan terus meyakinkan publik bahwa RUU ini krusial sebagai dasar untuk melakukan 6 pilar transformasi sistem kesehatan, diantaranya layanan kesehatan primer, sistem rujukan, ketahanan kesehatan, pembiayaan kesehatan, SDM kesehatan, dan teknologi kesehatan.

Sedangkan organisasi profesi termasuk IDI, kukuh menolak pengesahan RUU ini dengan beberapa alasan. Pertama, proses pembuatan RUU melalui program Legislasi Nasional terkesan sembunyi, tertutup, dan terburu-buru karena tidak melibatkan para anggota organisasi profesi. Kedua, organisasi profesi kedokteran melihat ada upaya liberalisasi dan kapitalisasi kesehatan. Ia berpendapat jika pelayanan kesehatan dibebaskan tanpa kendali dan memperhatikan mutu, maka akan menjadi ancaman untuk rakyat. Alasan ketiga, ada penghapusan peran organisasi profesi dalam pengawasan, pembinaan, penerbitan rekomendasi dan Surat Tanda Registrasi (kompas.com, 28/11/2022)

Saat ini, RUU kesehatan sedang tahap pembahasan antara DPR RI dengan pemerintah. meski Kementerian Kesehatan mengusulkan tambahan pasal yang berkaitan dengan perlindungan hukum untuk dokter, perawat, bidan dan tenaga kesehatan lainnya dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan, akan tetapi masih ada persoalan serius di dalamnya.

Melalui RUU ini, pemerintah akan mempermudah dokter asing maupun dokter diaspora untuk beroperasi di dalam negeri. Aturan ini tertuang dalam draft revisi Undang-Undang No. 36/2009 tentang kesehatan. Draft tersebut mengatur tenaga medis dan tenaga kesehatan asing dapat mudah beroperasi dalam syarat yang diatur pada pasal 233 dan pasal 234.

Syarat pertama dalam pasal 233 adalah dokter lulusan luar negeri tersebut harus lolos evaluasi kompetensi. Evaluasi ini berupa kelengkapan administratif dan penilaian kemampuan praktik. Setelah itu, mereka wajib memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sementara dan Surat Izin Praktek (SIP). Bahkan pemerintah akan membebaskan kewajiban pemilikan STR sementara bagi para dokter asing yang memberikan pendidikan dan pelatihan di dalam negeri. Sementara menurut pasal 234 RUU Kesehatan, persyaratan pemilikan SIP dan STR dapat diterobos khusus dokter asing spesialis maupun dokter diaspora spesialis (katadata.co.id, 19/04/2023).

Impor dokter asing bukan kali ini saja diwacanakan pemerintah. Di tahun 2020, pemerintah telah merencanakan membuka program ini dengan alasan agar rakyat tidak lagi berobat ke luar negeri. Sehingga hal ini akan menguntungkan Indonesia dengan terjaganya devisa negara. Dan kini masuknya dokter asing ke Indonesia akan memiliki aturan kuat melalui RUU Kesehatan.

Kebijakan pemerintah ini sejatinya mengonfirmasi bahwa pemerintah gagal mencetak sumber daya manusia di bidang kesehatan seperti dokter ahli yang berkualitas dan memadai. Padahal negeri ini tidak kekurangan sumber daya manusia lulusan pendidikan Kesehatan.

Jika Pemerintah fokus memberikan pendidikan berkualitas yang ditunjang oleh fasilitas pendidikan yang terbaik pula, maka tentu mereka akan berdaya di dalam negeri. Bahkan negara tidak perlu membuka peluang bagi dokter asing untuk bekerja di negeri ini. Sebab hal tersebut hanya akan menambah besar persaingan tenaga kerja yang berujung pada bertambahnya jumlah pengangguran.

Namun hal tersebut tidak menjadi pilihan. Hal ini wajar terjadi sebab dalam perspektif negara yang menerapkan sistem kapitalis sekuler, kesehatan adalah jasa yang harus dikomersialkan. Negara akan berhitung untung rugi ketika membuat kebijakan untuk menjamin berlangsungnya komersialisasi. Tak heran, RUU kesehatan ini dinilai sarat dengan upaya meliberalisasi dan mengkapitalisasi kesehatan.

Padahal persoalan kesehatan di Indonesia sebenarnya masih banyak dan sangat kompleks. Namun RUU Kesehatan justru tidak menawarkan solusi yang komprehensif dan menyentuh akar persoalan. RUU Kesehatan tidak menawarkan upaya untuk mewujudkan pelayanan yang berkualitas dan mudah bagi rakyat, tetapi justru merugikan kepentingan rakyat termasuk para tenaga kesehatan.

Topik perdebatan RUU Kesehatan Omnibus Law seharusnya berfokus pada penuntasan problem serius saat ini, yakni kelalaian negara dalam menjamin kebutuhan tiap individu publik terhadap pelayanan kesehatan dan akar persoalannya.

Tidak ada yang membantah bahwa persoalan utama kesehatan di negeri ini adalah akses kesehatan yang tidak merata bagi seluruh warga. Fasilitas kesehatan dan nakes yang terbatas dan tidak merata menjadikan hak sehat tidak dirasakan oleh setiap warga.

Lihatlah betapa faskes dan nakes bertumpuk di kota, tetapi minim di pedesaan. Di perkotaan pun sama, pelayanan kesehatan yang prima hanya diberikan kepada warga kaya, kesenjangan tampak begitu nyata. BPJS yang dianggap solusi malah penuh polemik.

Fakta ini menunjukkan kegagalan negara dalam menjamin kesehatan warganya. Alih-alih berfokus kepada terpenuhinya kebutuhan warganya, negara kapitalis malah menyerahkannya pada swasta. Lihat saja, bisnis kesehatan terasa makin menjanjikan di negeri ini. Berbagai rumah sakit milik swasta bertengger memenuhi kota-kota besar. Inilah fakta buruknya pengurusan urusan rakyat di bawah penerapan sistem kapitalisme sekulerisme.

Berbeda dengan paradigma negara Islam yang memposisikan rakyat sebagai pihak yang harus disejahterakan. Kehadiran penguasa dalam Islam adalah sebagai pelaksana syariah secara Kaffah untuk menjamin pelayanan kesehatan terbaik bagi seluruh warga negaranya, muslim atau non-muslim, kaya ataupun miskin. Sebab dalam pandangan Islam, kesehatan adalah kebutuhan pokok publik yang menjadi tanggung jawab negara, bukan jasa untuk dikomersialkan.

Rasulullah Saw. bersabda yang artinya,

“Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman lingkungannya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR. Bukhari)

Sehingga apapun alasannya, tidak dibenarkan dalam negara Islam ada program yang bertujuan mengkomersialisasi pelayanan kesehatan, baik dalam bentuk investasi atau menarik bayaran kepada rakyat untuk mendapatkan untung.

Sebagai pelayan rakyat, negara bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya terhadap ketersediaan fasilitas kesehatan baik dari segi jumlah, kualitas terbaik dengan para dokter ahli, obat-obatan dan peralatan kedokteran yang dibutuhkan, serta sebarannya hingga ke pelosok negeri.

Negara wajib mengelolanya secara langsung di atas prinsip pelayanan. Sebagaimana perbuatan Rasulullah Saw. sebagai penanggung jawab dan pengatur langsung kemaslahatan publik di Madinah. Termasuk masalah pelayanan kesehatan, pembiayaan seluruh pelayanan kesehatan dalam Islam tidak akan membebani publik, rumah sakit dan insan kesehatan sepeserpun.

Pembiayaan pelayanan kesehatan tersebut diambil dari Baitul Mal yang jumlahnya sangat besar, sebab diatur oleh sistem ekonomi Islam. Demikian pula pembiayaan untuk pendidikan calon dokter sehingga tersedianya dokter umum dan ahli secara memadai, juga lembaga riset, laboratorium, industri farmasi dan biaya apa saja yang dibutuhkan bagi terjaminnya pelayanan kesehatan gratis, berkualitas terbaik, dan mudah diakses oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun.

Para dokter dan insan kesehatan bahkan memiliki ruang yang memadai untuk mendedikasikan keahlian bagi kesembuhan dan keselamatan jiwa masyarakat. Tidak akan ada lagi beban agenda kesehatan dan persaingan dengan dokter-dokter asing karena negara akan mendahulukan pemanfaatan sumber daya manusia dalam negeri.

Inilah fakta jaminan kesehatan Islam buah dari penerapan aturan Islam Kaffah yang bersumber dari Allah Swt.

Wallahu a’lam bishshawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *