PENDIDIKAN ISLAM MENYELAMATKAN GENERASI

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

PENDIDIKAN ISLAM MENYELAMATKAN GENERASI

Oleh. Aning Juningsih

(Ibu Rumah Tangga/Aktivis Muslimah)

Baru-baru ini, pada awal tahun ajaran Juli 2023, telah terjadi beberapa insiden di lingkungan sekolah yang mencuatkan isu perundungan. Kejadian-kejadian ini mengindikasikan bahwa angka perundungan di institusi pendidikan masih cukup tinggi. (nasional.tempo.co, 4/8/2023)

Sejak Januari hingga Juli, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat telah terjadi 16 kasus perundungan di berbagai satuan pendidikan. Dari jumlah tersebut, empat di antaranya terjadi pada tahun ajaran baru 2023-2024.

Retno Listyarti, Ketua Dewan Pakar FSGI, menjelaskan bahwa dari 16 kasus perundungan tersebut, sebagian besar terjadi di tingkat sekolah dasar (25 persen), sekolah menengah pertama (25 persen), sekolah menengah atas (18,75 persen), serta sekolah kejuruan (18,75 persen). Selain itu, ada juga kasus perundungan yang melibatkan madrasah tsanawiyah dan pondok pesantren, masing-masing sebesar 6,25 persen.

Isu pendidikan sekuler tampaknya sulit diatasi. Permasalahan seperti perundungan, kekerasan, bahkan kasus pembunuhan, kerap menghiasi dunia pendidikan yang mengikuti sistem sekuler. Semua ini semakin memperpanjang catatan buruk sistem pendidikan sekuler. Tidak ada batasan di tingkatan pendidikan tertentu, perundungan terjadi mulai dari dasar hingga tinggi.

Kendala-kendala pendidikan ini seperti lingkaran setan yang berputar tanpa henti. Setiap tahun, catatan buruk mengenai pendidikan terus berulang. Kasus-kasus semacam ini ibarat mata rantai yang sulit dipecahkan. Semua ini tentu disebabkan oleh penerapan sistem pendidikan sekuler saat ini.

Di sisi lain, pendidikan Islam sering terpinggirkan. Materi agama hanya diberikan dalam bentuk formal dengan waktu yang minim. Pendidikan agama Islam tidak dijadikan landasan utama dalam proses belajar. Selain itu, pelajaran agama Islam hanya ditekankan pada momen-momen tertentu, seperti bulan Ramadan atau hari-hari besar keagamaan.

Mari kita lihat realita saat ini. Meskipun kurikulum pendidikan berkali-kali diganti, outputnya tidak menghasilkan generasi dengan moralitas yang baik. Saat ini, krisis etika merajalela, moralitas menurun, dan generasi terjerumus ke dalam kenistaan yang parah. Upaya mengubah pola pikir dan program-program berbasis karakter yang dibanggakan juga tampaknya tidak cukup untuk menghadapi masalah pendidikan yang semakin pelik. Sebaik apapun program pendidikan yang dijalankan, generasi berkualitas tidak akan tercipta jika dasar pendidikannya tetap berlandaskan sekuler.

UU Siskdiknas 20/2023 menetapkan tujuan pendidikan nasional sebagai pengembangan kemampuan, pembentukan perilaku, dan peningkatan peradaban yang bermartabat, guna mencerahkan kehidupan bangsa. Tujuannya adalah agar peserta didik menjadi individu yang beriman, bertakwa kepada Allah Ta’ala, memiliki akhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri.

Namun, tujuan tersebut sulit tercapai jika sistem pendidikan sekuler tetap dipertahankan. Jika moralitas hancur akibat gaya hidup liberal dan hedonis, bagaimana mungkin generasi akan memiliki martabat? Jika ajaran Allah Ta’ala diabaikan, bagaimana mungkin generasi akan memiliki keyakinan dan ketakwaan?

Sistem pendidikan sekuler telah membuktikan kegagalannya dalam mencetak generasi masa depan yang diharapkan. Adakah kontribusi positif dari pendidikan sekuler bagi generasi saat ini? Nyatanya, sistem ini hanya menambah masalah bagi orang tua, guru, siswa, dan negara. Sistem ini juga hanya menciptakan generasi tanpa etika, labil dalam kepribadian, dan bingung akan jati diri atau mengalami krisis identitas.

Sistem pendidikan sekuler mungkin berhasil menciptakan generasi yang pintar dalam bidang akademis, namun mereka juga menjadi individu-individu yang individualistis, materialistis, dan menganggap materi sebagai tujuan utama hidup. Tidak mengherankan jika pada generasi saat ini, ketakwaan dan keyakinan tidak terlihat dalam perilaku mereka, karena pendidikan Islam telah diabaikan.

Melihat situasi saat ini, sistem pendidikan sekuler telah menyebabkan generasi saat ini tidak menyadari kekayaan peradaban Islam yang terpendam. Sistem ini menghalangi pemahaman bahwa generasi ini pernah memiliki warisan peradaban yang tinggi, yang telah menciptakan individu-individu berkualitas. Dan yang lebih memprihatinkan lagi, bahkan kaum muslimin pun nampaknya tidak menyadari hal ini.

Contohnya, Al Khawarizmi, yang memberikan kontribusi besar dalam bidang aritmatika. Karyanya tentang bilangan yang dituangkan dalam “Kitāb al-Jam’a wa-l-tafrīq bi-ḥisāb al-Hind” merupakan buku ilmiah pertama yang menggunakan sistem bilangan desimal. Konsep-konsep dalam buku ini menjadi dasar bagi perkembangan matematika dan ilmu pengetahuan, termasuk lahirnya algoritma.

Di Eropa, karyanya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan nama “Algorithmi,” yang menjadi dasar kata “algoritma” yang kita kenal sekarang. Keilmuannya dan keyakinannya berhasil membuat Barat takjub, mengingat kemuliaan Islam dan peradabannya.

Pendidikan gratis tersedia untuk semua lapisan masyarakat dalam sistem pemerintahan berbasis Islam, yang didukung oleh ekonomi Islam. Tentunya sistem ini akan memberikan kesejahteraan karena seluruh kebijakan didasarkan pada syariat Islam. Generasi pun bisa bebas mengeksplorasi pengetahuan tanpa ada beban ekonomi dan materi yang harus dikejar.

Sehingga, generasi yang lahir dari Sistem Pendidikan Islam, senantiasa akan mencontoh para tokoh pendidikan Islam. Yaitu, tokoh yang mumpuni dalam urusan ilmu dunia, namun juga fakih dalam urusan agamanya.

 

Wallahua’lam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *