Budaya Kekerasan pada Generasi, akankah Berakhir?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Budaya Kekerasan pada Generasi, akankah Berakhir?

Oleh Dila

(Mahasiswi Surabaya)

 

Akhir-akhir ini ada kasus anak pejabat yang menjadi sorotan. Sayangnya, anak-anak pejabat justru banyak yang terjerat hukum. Privilese yang hadir dalam sosok seorang pejabat tidak sedikit disalahgunakan oleh sang anak. Apakah ini bersifat alami atau ada penyebab lainnya?

Dilansir dari CNN Indonesia — Kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anak pejabat, Mario Dandy Satriyo terhadap Davido, anak anggota GP Ansor Jonathan Latumahina, memasuki babak baru.Penganiayaan brutal terhadap Mario ini terjadi pada Senin (20/2) sekitar pukul 20.30 WIB di sebuah kompleks apartemen di Pesanggarah, Jakarta Selatan.

Ketika tindakan Mario Dandy terungkap dan menjadi bahan perdebatan publik, beberapa fakta muncul baik tentang tindakan kekerasan ini maupun keterlibatannya dan dampaknya terhadap orang-orang di sekitarnya. Berikut adalah sekumpulan fakta baru tentang pengejaran Mario Dandy terhadap David.

Pertama, Polisi menetapkan tersangka lain dalam kasus penyerangan David, yakni teman Mario, Shane Lukas Rotua Pangondia Lumbantoruan.

Kedua, AG selaku pacar Mario yang diduga melakukan kekerasan terhadap David, AG, mendapatkan sanksi dari sekolahnya, SMA Tarakanita 1. Pihak sekolah juga membenarkan AG adalah siswinya yang duduk di kelas X SMA.

Ketiga, ayah Mario mundur dari Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah DJP Jakarta Selatan II. Selain itu, ia juga mundur dari status PNS di Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu.

Membahas setiap sisi kehidupan generasi seakan tidak ada habisnya. Kasus di atas pada dasarnya bukan satu dua kali saja terjadi. Di daerah-daerah pun terlihat bagaimana jabatan orang tua seakan menjadi prestise bagi anak-anak mereka. Sudah jadi rahasia umum, kata orang.

Meski demikian, kondisi ini tidak lantas menjadi pembenaran atas perilaku anak pejabat yang salah. Butuh diagnosis tentang penyebab realitas seperti ini jamak di tengah masyarakat kita.

Gaya hidup yang serba bebas membuat mereka kurang memiliki kepekaan, apalagi memiliki ketakutan pada Sang Khalik. Gaya hidup mewah, flexing, hura-hura, dan serba bebas seperti lekat dalam hidup generasi muda.

Meski gaya hidup mewah dan hura-hura lekat di kehidupan mereka, pasti ada kegelisahan yang senantiasa muncul. Sudah party bareng teman, kongko-kongko untuk membuang kegelisahan, pulang-pulang tetap saja gelisah. Malah makin kalut bin galau.

Itu alarm bahwa manusia membutuhkan ketenangan hakiki. Makanya, upaya penyadaran pada generasi harus hadir agar hidupnya memiliki tujuan dan lebih bermakna. Bagaimana caranya?

Manusia wajib memiliki cara pandang yang khas terhadap kehidupan. Mengapa? Karena tindakan yang manusia lakukan pada dasarnya berangkat dari pandangannya tentang kehidupan. Pemahamannya mengenai dari mana ia berasal, apa tujuannya di dunia ini, dan hendak ke mana setelah kehidupan dunia, akan menuntun setiap tindakan manusia.

Jangan sekali-kali tertipu dengan dunia, apalagi sombong dengan apa yang ada di dunia ini. Harta akan habis, masa muda akan berlalu. Satu-satunya yang pasti akan menenami kita hingga maut menjemput hanyalah amal perbuatan.

Oleh karenanya, jika kembali pada pembentukan pemikiran yang berdasarkan pada pemahaman mengenai dari mana manusia berasal, apa tujuan hidup di dunia, dan hendak ke mana setelah kehidupan ini, niscaya tidak akan ada generasi kita yang akan mengarungi hidup tanpa tujuan atau menghabiskan waktu untuk hura-hura.

Mengapa? Sebab dunia tidak menyilaukan mereka. Generasi yang pemikirannya berorientasi pada akhirat inilah yang pernah ada pada masa peradaban Islam. Para pejabat pada masa Islam mendidik dan memberi teladan pada keluarga, termasuk anak mengenai gaya hidup pejabat ala sistem Islam. Umar bin Khaththab adalah salah satu teladan masyhur.

Beliau memberi contoh tentang menggunakan fasilitas negara hanya untuk menyelesaikan masalah umat. Beliau juga pernah memukul anaknya, Abdullah bin Umar bin Khaththab yang menggunakan pakaiannya dengan maksud memperlihatkan ke orang banyak.

Duh, kalau sekarang ini malah flexing jadi kebanggaan tersendiri. Jangan dicontoh, ya, teman-teman.

Wallahu’alam bishshawaab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *