Wabah Bunuh Diri, Generasi Menjadi Korban yang Tersistematis

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Wabah Bunuh Diri, Generasi Menjadi Korban yang Tersistematis

 

Oleh Nahida Ilma

 (Mahasiswa)

 

Berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI (Polri), ada 971 kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang periode Januari hingga 18 Oktober 2023. Angka itu sudah melampaui kasus bunuh diri sepanjang tahun 2022 yang jumlahnya 900 kasus. Berdasarkan lokasi pelaporannya, kasus bunuh diri di Indonesia paling banyak dijumpai di Jawa tengah, yaitu 356 kasus (Katadata.co.id, 18 Oktober 2023).

Pada tahun 2018, dua mahasiswa Universitas Padjadjaran melakukan aksi bunuh diri. Tepatnya pada 18 dan 24 Desember 2018. Mahasiswa Universitas Gadjah Mada mengakhiri hidupnya dengan melompat dari lantai 11 Hotel Porta, Sleman pada Oktober 2022. Mahasiswi Universitas Indonesia (UI) berinisial MPD diduga bunuh diri dengan meloncat dari lantai 18 di sebuah apartemen di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Rabu, 8 Maret 2022. Pada bulan Oktober 2023 ini, terdapat dua kasus bunuh diri dalam kurun waktu yang berdekatan. Seorang mahasiswi UMY, 18 tahun ditemukan tewas setelah jatuh dari lantai empat asrama putri UMY pada 2 Oktober 2023. Mahasiswi Universitas Negeri Semarang ditemukan tewas di area pintu keluar parkir Mall Paragon Semarang, Jawa Tengah pada 10 Oktober 2023 (Tempo.co, 12 Oktober 2023)

Kabar bunuh diri sejatinya bukan hal yang baru. Berita duka bunuh membunuh, tindakan menyakiti diri sendiri menjadi topik berita yang tidak alpha tampil di laman berita. Miris menyayat hati. Pelaku tindakan beragam, mulai dari remaja, mahasiswa dan orang dewasa. Sebesar apa beban yang dipikul hingga memutuskan melakukan upaya pemutus hidup. Padahal Bunuh diri bukan merupakan perkara remeh temeh, yang mudah untuk dilakukan. Dibutuhkan keberanian dan tekad yang kuat.

Ketika hati masih terasa ragu untuk bunuh diri, tekad belum sepenuhnya bulat, tindakan menyakiti diri sendiri menjadi jalan pintas. Sebanyak 76 murid SMP Negeri di Kabupaten Magetan, Jawa Timur melukai diri sendiri dengan menggunakan benda tajam. Hal tersebut ditemukan berdasarkan hasil screening rutin baru-baru ini yang dilakukan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Magetan (Republika.co.id, 20 Oktober 2023)

“Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kabupaten Magetan telah melakukan trauma healing dan asesmen awal kepada anak korban self harm,” kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA.

Keinginan mati adalah salah satu perasaan sekaligus mimpi paling buruk di dunia. Rasulullah saw. jauh-jauh hari telah menasehati kita, “Janganlah seseorang mengharapkan kematian dan janganlah meminta mati kepada Allah sebelum datang waktunya”.

Seseorang yang sudah mati amalannya akan terputus. Sedangkan seorang muslim seharusnya semakin bertambah umurnya bertambah pula pahala dan kebaikannya. Dengan kebaikan itu sejatinya seorang muslim dapat mengakumulasi untuk menutupi atau membayar dosa di hari yang telah lalu.

Trend era keterbukaan dan teknologi yang terus merangkak naik, sayangnya diiringi dengan trend kasus bunuh diri. Kejadian ini, faktanya bukanlah menjadi hal baru. Kejadian bunuh membunuh hampir setiap tahun beritanya menjadi salah satu rubrik berita di media massa. Mirisnya seiring waktu, angka kejadiannya semakin bertambah. Seakan-akan menggambarkan bahwa harga sebuah nyawa menjadi murah, karena dengan mudah nyawanya ditiadakan.

Kemajuan teknologi merupakan suatu yang tak dapat dielakkan karena senantiasa beriringan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan inovasi yang diciptakan. Berbagai kemudahan bagi kehidupan sehari-hari hadir seiring dengan kecanggihan teknologi yang lahir. Pemuda dan generasi hari ini hidup dengan berbagai kemudahan yang telah ada. Segala sesuatu bisa didapatkan dengan mudah dan dapat diantar ke rumah. Namun ternyata, berbagai kemudahan yang ada tidak selamanya memberikan efek yang sehat bagi pemuda. Terbentuklah generasi dengan daya juang yang rendah. Statement seperti “klo semua bisa dengan mudah didapatkan, kenapa harus berjuang” secara tidak sadar tertanam pada diri generasi sekarang.

Era keterbukaan yang banjir akan informasi menambah parah keadaan. Mempermudah manusia untuk mengakses dan berbagi informasi. Bertebaran konten-konten yang kental dengan flexing dan pamer kekayaan menjadikan standar kebahagiaan dan sukses tertanam pada diri setiap generasi. Berujung pada orientasi memperbanyak materi. Dikatakan sukses ketika bisa berbelanja tanpa melihat harga, bekerja di perusahaan terkenal atau masih muda tapi sudah memiliki kemandirian finansial dan lain sebagainya. Gambaran-gambaran seperti itulah yang dikonsumsi generasi, tersedia di setiap sudut media sosial dan tervisualisasi di film-film. Gelombang besar standar Bahagia dan sukses diukur berdasarkan materi, menimpa bertubi-tubi diri generasi. Tekanan-tekanan sosial pun juga mulai terbentuk.

Ketika generasi mulai berjuang untuk meraih kata sukses, mereka kembali ditampar realita bahwa semuanya tidak semudah apa yang digambarkan di media sosial. Membuat mereka merasa berputus asa dan mudah menyerah. Perjuangan menjadi dirasa sebagai sebagai suatu hal yang tidak cocok bagi mereka yang terbiasa dengan segala ke instanan yang ada. Diperparah dengan alphanya pemahaman agama, bahwa dalam setiap usaha kita ada andil Allah didalamnya. Berujung pada menyalahkan diri sendiri dan tersiksa dengan keadaan.

Ketika wabah melukai diri sendiri hingga bunuh diri dilihat dalam skala makro menggunakan kacamata elang, sejatinya generasi hari merupakan korban dari system yang ada. System sekuler, pemisahan agama dengan kehidupan menjadikan materi sebagai standar kebahagiaan. Melakukan berbagai hal untuk dapat meraih standar sukses yang berlaku hari ini.

Generasi diserang dari berbagai sisi, Mulai dari media sosial yang mereka lihat setiap harinya, hingga sistem pendidikan yang mereka terima sejak kecil. Pendidikan yang orientasinya menjadi pekerja. Banjir informasi tentang bagaimana menjadi kaya diusia muda. Kebahagian semu yang dihadirkan sejatinya hanya jebakan. Segala hal yang dilakukan hanya akan berujung pada memperkaya oligarki-oligarki besar. Kekayaan yang didambakan anak muda juga tidak akan pernah mereka raih, karena sudah menjadi aturan tidak tertulis dalam system ini bahwa kekayaan hanya dapat dinikmati segelintir orang.

Kemiskinan yang ada dan tekanan sosial yang muncul tidak serta merta akan selesai ketika semakin giat bekerja dan meninggalkan rebahan sebagai hobi anak muda, karena kemiskinan yang ada bukan itu penyebabnya. Kemiskinan hari ini terjadi sebagai kemiskinan yang terstruktur. Kesenjangan antara orang super kaya dan seluruh penduduk dunia semakin melebar. Satu persen populasi terkaya memiliki 82% total kekayaan di dunia (BBC.com, 23 Januari 2018)

Sistem sekuler mengukung agama hanya ada di dalam masjid saja. Padahal islam tidak bisa dilepaskan pada setiap aspek kehidupan. Termasuk terkait bagaimana gambaran sukses, yaitu dengan meraih ridho Allah. Sistem kehidupan islam akan menghantarkan keselamatan di akhirat, tapi juga menghantarkan pada kemakmuran dan kemaslahatan pada masyarakat. Tidak akan memunculkan tekanan-tekanan sosial, karena seluruh kebutuhan hidup terjamin. Setiap individu hanya akan berlomba-lomba dalam rangka meningkatkan ketakwaannya kepada Allah.

Kita butuh kembalinya Islam. Sebuah sistem yang meminimalisir tekanan-tekanan kepada anggota masyarakat dan mewujudkan sebuah tatanan berbangsa serta bernegara yang minim stress dan depresi.

Wallahu A’lam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *