UU Ciptaker Inkonstitusional Bersyarat, Menghujamkam Rasa Kecewa Bagi Rakyat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Mimin Diya

 

Buntut panjang pengesahan UU Ciptaker yang penuh pro kontra hingga masuk dalam tinjauan Mahkamah konstitusi tetap tidak membuahkan hasil positif bagi rakyat. Meskipun awalnya MK menilai UU tersebut  bertentangan dengan UUD 1945. Namun, keputusan akhir MK menyebutkan bahwa UU Ciptaker berstatus inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), yakni MK memberi waktu 2 tahun bagi pemerintah dan DPR memperbaiki UU Ciptaker (CNN, 27/11/2021).

Putusan perkara nomor 91/PUU-XVIII/2020 mengenai uji formil Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) jelas menghujamkan rasa kecewa rakyat (CNN, 27/11/2021). Terutama kalangan buruh yang sejak awal menolak keras pengesahan UU Ciptaker yang dinilai merugikan. Mereka terlanjur berharap akan ada keadilan dan jaminan kesejahteraan hidup ketika menyuarakan ketidaktepatan aturan pemerintah.

Padahal dari sisi politik ketatanegaraan, keberadaan MK diperlukan untuk mengimbangi kekuasaan pembentukan UU yang dimiliki oleh DPR dan Presiden. Hal ini diperlukan agar UU tidak menjadi legitimasi bagi tirani mayoritas wakil rakyat di DPR dan Presiden yang dipilih langsung oleh mayoritas rakyat. UU juga tidak digunakan sebagai sarana untuk meraup keuntungan pribadi, baik elit politik maupun swasta asing.

Peristiwa ini pun menunjukkan bahwa MK sulit menjadi tempat bergantung rakyat. Terlebih mengkonfirmasi bahwa MK merupakan bagian tidak terpisahkan dari rezim pro kapitalis karena hanya merespon tuntutan penolakan rakyat dengan menuntut pemerintah merevisi, bukan mencabut UU yang cacat tersebut.

Meskipun telah banyak diungkapkan bahwa UU tersebut justru akan memberikan jalan kemudahan kepada para kapitalis/pemodal asing menguasai SDA Indonesia, memperlemah peran negara sebagai institusi penegak hukum dan pemelihara rakyat, membuka jalan dikuasainya sektor-sektor strategis oleh swasta, menyengsarakan dan menyulitkan rakyat kecil, hingga menimbulkan kerusakan lingkungan.

Negara yang mengatasnamakan dari, oleh, dan untuk rakyat dalam membuat aturan, nyatanya tidak melibatkan rakyat secara langsung. Apalagi dalam proses revisi aturan UU Ciptaker yang disarankan oleh MK. Bahkan masih ada celah revisi aturan justru mengundang pihak-pihak yang sependapat dengan usulan pemerintah, bukan menggunakan catatan dari penggugat UU Ciptaker.

Lantas siapa yang benar-benar mampu menjadi tumpuan hidup rakyat, yang mampu menegakkan keadilan seadil-adilnya, meriayah hajat rakyat hingga memperoleh kemuliaan dan kesejahteraan hidup? Tentu hanya keadilan semu yang terwujud jika struktur negara hingga aturan yang diterapkan masih dalam bingkai kacamata kapitalisme. Semua diukur berdasarkan asas manfaat/matari semata. Dan inilah akar masalah utama perjuangan jatuh bangun rakyat menjadi sia-sia, tanpa belas kasih penguasa.

Tatanan kehidupan ideal hanya akan terwujud jika diterapkan sistem yang benar, yang akan mampu menciptakan struktur pemerintahan dan menghasilkan aturan secara tepat. Dan sistem yang benar dan tepat itu adalah sistem Islam yang tegak dalam naungan institusi Khilafah.

Misalnya saja dalam perkara ketidakpuasan rakyat atas aturan yang diberlakukan oleh penguasa, maka dalam Islam terdapat lembaga negara Mahkamah Mazhalim yang menanganinya. Mereka diangkat untuk menghilangkan setiap bentuk kezaliman kepala negara maupun pegawai negeri kepada warga negara.

Dalam kitab Ajhiyah Daulah Khilafah disebutkan bahwa Mahkamah Mazhalim berwenang memeriksa dan memutuskan perkara kezaliman apapun, baik penyimpangan yang dilakukan oleh penguasa terhadap hukum-hukum syariah, berkaitan dengan makna nash di antara nash-nash tasyri’ dalam UUD, UU dan seluruh hukum yang diadopsi penguasa, berkaitan dengan komplain rakyat atas peraturan administratif kemaslahatan rakyat, penetapan pajak dan kezaliman lainnya.

Dalam menjalankan tugasnya, Mahkamah Mazhalim wajib berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Assunnah. Mereka adalah orang-orang yang memiliki ketakwaan tinggi dan rasa takut kepada Allah swt. Sehingga sangat berhati-hati dalam memutuskan perkara, karena yakin betul akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah swt kelak.

Begitupun dalam sistem Islam, profil penguasa yang dipilih adalah orang yang dipercaya untuk memimpin dan meriayah umat dengan menjalankan syariat Islam secara kaffah. Ia mengikuti petunjuk Rasulullah untuk menjadi pemimpin yang tidak zalim. Sebagaimana sabda Nabi saw :

“Sesungguhnya Allahlah yang menciptakan, memegang, dalan melapangkan; Yang Maha Pemberi rezeki; dan Yang menentukan harga. Aku tidak berharap akan berjumpa dengan Allah kelak, sementara ada seseorangyang menuntutku karena kezaliman yang aku perbuat kepadanya dalam perkara yang berkaitan dengan darah dan harta.” (HR Ahmad)

Allah swt berfirman :

“Sesungguhnya Allâh menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allâh memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allâh adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allâh dan ta’atilah Rasûl(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Qur’an) dan Rasûl (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisâ’/4:58-59)

Wallahu’alam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *