UTANG NEGARA WARISKAN KESENGSARAAN HAKIKI

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ummik Rayyan (Member Pena Muslimah Cilacap)

 

GELORA.CO – Utang pemerintah terus bertambah di tengah pandemi Covid-19. Hingga April, Kementerian Keuangan mencatat posisi utang mencapai Rp 6.527,29 triliun. Angka ini diperkirakan terus bertambah hingga akhir kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J Rachbini, mengatakan bahwa utang badan usaha milik negara (BUMN) perbankan dan non perbankan yang pasti akan ditanggung negara jika gagal bayar mencapai Rp 2.143 triliun.

Total utang publik sekarang mencapai Rp 8.504 triliun. Saya memperkirakan di akhir periode, pemerintahan ini akan mewariskan lebih dari Rp10.000 triliun kepada presiden berikutnya,” katanya dikutip melalui keterangan pers, Kamis (3/6/2021).

Didik menjelaskan bahwa pada 2019 utang yang diputuskan di anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) mencapai Rp 921,5 triliun. Keperluan tersebut untuk membayar bunga, pokok, dan sisanya menambal kebutuhan defisit.

Tahun lalu, rencana utang ingin ditekan menjadi Rp 651,1 triliun agar wajah APBN kelihatan apik. Tapi krisis dan pandemi mengharuskan utang tahun 2020 dinaikkan hampir 2 kali lipat menjadi Rp 1226 triliun.

Perubahan-perubahan tersebut, ungkap Didik, mencerminkan perilaku labil dan seenak sendiri dari penguasa. Akibatnya, setiap tahun kewajiban pembayaran utang pokok dan bunga plus cicilan utang luar negeri pemerintah yang tidak termasuk swasta pada 2020 mencapai Rp 772 triliun.

Sementara itu, pembayaran utang dari kantong APBN ke depan bisa bergerak cepat menuju Rp1.000 triliun dalam waktu tidak terlalu lama.

Saya hanya mengingatkan, gabungan dari masalah APBN ini ditambah kepercayaan publik merosot maka krisis bisa terjadi. Karena itu, kemungkinan krisis harus dicegah dengan menguatkan kembali APBN agar hati-hati dalam perencanaannya dan mengembalikan lagi pertumbuhan di atas tingkat moderat,” jelasnya.

Jakarta – Utang pemerintah pusat membengkak. Periode April 2021 meroket menjadi Rp 6.527,29 triliun. Dengan jumlah itu, rasio utang pemerintah mencapai 41,18% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Jumlah itu bertambah Rp 82,22 triliun dibandingkan dengan akhir bulan sebelumnya sebesar Rp 6.445,07 triliun.

Utang sebanyak itu, apakah sepadan dengan belanja negara? Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy mengatakan ada dua sisi yang bisa dilihat apakah penambahan utang negara ini sepadan atau tidaknya dengan belanja negara.

Namun, jika dibandingkan dengan target pemerintah yang harus tercapai. Ia tegas mengatakan harus ada yang dievaluasi, khususnya dalam konteks belanja pemerintah. Dia pun menyinggung belanja Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang masih kurang dieksekusi.

Kalau dilihat dari target yang harus dicapai pemerintah, memang penambahan nilai utang ini sebagai macam hal perlu dievaluasi, khususnya dari konteks bagaimana belanja pemerintah direalisasikan. kalau kita lihat di tahun lalu, belanja PEN kita tahu tidak 100% hanya 80%, masih ada sisa yang kemudian tidak dibelanjakan di tahun ini,” tuturnya.

Yusuf mengingatkan pemerintah untuk melihat kemampuan dalam menarik utang yang harus diimbangi dengan kemampuan pemerintah dalam membelanjakan utang itu sendiri.

Yang perlu digaris bawahi adalah kemampuan pemerintah dalam menarik utang itu harus diimbangi oleh kemampuan pemerintah dalam eksekusi belanja dari utang yang ditarik tersebut. jangan sampai utang yang sudah ditarik tidak bisa dieksekusi secara optimal dan justru meninggalkan celah tidak optimalnya,” katanya.

Ia pun menyinggung pemerintah yang masih kurang dalam mendorong pemulihan dalam penanganan kesehatan dibandingkan negara-negara lain. Terutama anggaran untuk Test, Tracing dan Isolasi.

Salah satu belanja PEN yang tidak tereksekusi dengan baik yakni belanja kesehatan, padahal kesehatan kita tahu untuk mendorong pemulihan lebih optimal unsur penanganan kesehatan ini merupakan suatu hal yang mutlak harus dilakukan, untuk memperbanyak vaksinasi, memperbanyak test, tracing dan isolasi. dalam berbagai kesempatan dan berbagai ahli mengatakan kapasitas test, tracing dan isolasi itu masih kurang. Jika dibandingkan negara-negara lain,” tutupnya.

Utang negara yang kian tahun kian menggunung belum juga membuat jera bagi pemegang kekuasaan saat ini. Pengeluaran anggaran tanpa perencanaan yang matang membuat negara makin terpenjara oleh jeratan utang. Perlu dicatat, bahwasanya utang ini tak semata-mata disebabkan oleh pihak-pihak yang mencari keuntungan dalam negeri ini, namun pihak swasta pun ikut andil di dalamnya.

Dampak peningkatan utang ini pastinya akan menjadikan beban bagi generasi mendatang. Pemerintah dengan sistem kapitalisnya pasti akan melakukan serangkaian kebijakan untuk bisa mendapatkan pemasukan dalam rangka menutupi anggaran negara yang mengalami defisit. Jadi lengkaplah sudah penderitaan rakyat kini, rakyat yang menjerit karena kesulitan ekonomi, namun hal tersebut tak jadi pertimbangan yang penting bagi pemerintah. Bayangan keuntungan yang menjanjikan inilah yang selalu tertanam di benak penguasa saat ini.

Utang luar negeri yang tak lepas dari bunga pun tak menjadikan beban bagi penguasa, namun dijadikan sandaran dikala anggaran merosot. Perlu diperhatikan, sistem utang dalam sistem kapitalis juga menerapkan riba dan menjadi alat penjajahan bagi negara-negara Kapitalis kepada negara-negara berkembang.

Solusi total dalam menyelesaikan hal tersebut haruslah penyelesaian secara kenegaraan oleh negara yang berdaulat dan mandiri. Islam mengenal sistem negara yaitu Khilafah Islamiyyah.

Khilafah adalah negara yang berdasarkan kepada kedaulatan milik syariat dan kekuasaan milik umat, sehingga diharapkan mampu keluar dari penjajahan asing dan secara mandiri mengelola semua potensi ekonomi yang ada di negeri-negeri Islam.

Islam mempunya dua jalan untuk menumbuhkan perekonomian tersebut yaitu:

Pertama, membuat kebijakan ekonomi di bidang pertanian, perdagangan dan industri. Di bidang pertanian, negara akan meningkatkan produksi bahan makanan, bahan pakaian (kapas, bulu domba, rami dan sutera), dan produk pertanian yang diminati pasar luar negeri (buah-buahan, kacang-kacangan, dll).

Di bidang perdagangan Islam tidak mengambil pajak sehingga tidak perlu memberikan perijinan kepada warga negaranya untuk berdagang kecuali dalam dua kondisi yaitu: negara mencegah berdagang dengan negara yang memerangi Islam dan juga mencegah komoditas yang membahayakan atau merugikan bangsa.

Di bidang perindustrian, negara akan bekerja keras untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk kepentingan dalam negeri dan diekspor. Negara juga fokus untuk menciptakan/membuat mesin-mesin berat guna memproduksi barang-barang industri atau membuat infrastruktur.

Kedua, Islam mengharuskan Baitul Maal membiayai pembangunan infrastruktur utama yang penting seperti jalan, gedung sekolah, rumah sakit dan lain-lain yang dibutuhkan oleh masyarakat. Baitul Maal juga harus menjaga segala infrastruktur bagi kemaslahatan umat.

Wallahu a’lam bish-showab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *