Oleh : Rafika Destasari (Mahasiswa MIPA UNIB)
Saat utang negara menggunung, Menteri Keuangan (Menkeu) Indonesia Sri Mulyani Indrawati kembali dinobatkan sebagai Menkeu terbaik. Seperti diketahui baru-baru ini Menkeu Sri Mulyani baru saja meraih penghargaan sebagai Finance Minister of the Year for East Asia Pacific tahun 2020 dari majalah Global Markets.
Ini merupakan penghargaan kedua yang diterima Sri Mulyani dari majalah yang sama, setelah terakhir di tahun 2018 memperoleh penghargaan serupa. Menurut Global Markets, Sri Mulyani layak mendapatkan penghargaan tersebut atas prestasinya dalam menangani ekonomi Indonesia di pandemi Covid–19.
Melihat hal itu, Salah satu tokoh yang mempertanyakan penghargaan menteri terbaik adalah Fadli Zon. Dalam kanal YouTube pribadinya, ia menyampaikan banyak pihak mempertanyakan penghargaan tersebut. Pasalnya penghargaan itu diberikan kepada menteri ekonomi di saat ekonomi negeri ini sedang terpuruk. Realitanya saat ini perekonomian di Indonesia banyak menghadapi masalah ekonomi. Seperti nilai tukar rupiah yang melemah dan juga utang negara yang terus menumpuk. (Tribunpalu.com, 17/10/2020)
Sebagaimana dilansir dari Bisnis.com (14/10/2020), Bank Dunia berjudul International Debt Statistics (IDS) 2021 menempatkan Indonesia di daftar 10 negara dengan utang luar negeri terbesar.
Posisi utang luar negeri Indonesia pada 2019 mencapai US$402,08 miliar atau sekitar Rp5.910 triliun, naik 5,92 persen dari posisi US$379,58 atau Rp5.579 triliun (dengan kurs Rp14.700) pada 2018. Laporan IDS tersebut hanya melaporkan data hingga 2019. Saat ini utang Indonesia tentu sudah bertambah.
Hingga Juli 2020, data terakhir yang dirilis Bank Indonesia (BI), ULN Indonesia sebesar 409,7 miliar dolar AS atau sekitar Rp 6.063,56 triliun (kurs Rp 14.800 per dolar AS) dengan rasio terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 38,2 persen (kompas.com, 20/10/20).
Menanggapi hal ini, Menkeu Sri Mulyani justru membeberkan sejumlah warisan dari Belanda untuk Indonesia. Warisan itu mulai dari utang hingga kondisi perekonomian yang rusak. Sri Mulyani menyebut sejak menjadi negara merdeka, Indonesia sudah memiliki utang. Perang yang terjadi juga membuat harta kekayaan yang dimiliki Indonesia menjadi rusak. (detikFinance, 13/10/2020)
Artinya, banyaknya utang Indonesia saat ini tak bisa lepas dari warisan Belanda, yakni sebesar US$1,13 miliar. Jika dirupiahkan dengan kurs hari ini, warisan utang saat itu sekitar Rp16,6 triliun (kurs Rp14.700/US$).
Jika kita telisik lebih dalam, penghargaan menteri keuangan terbaik ini diberikan majalah kelas dunia, majalah berita terkemuka di bidang pasar ekonomi internasional.
Selama 30 tahun terakhir, majalah ini menjadi acuan para pelaku dan institusi di sektor ekonomi dan keuangan internasional. Majalah ini diterbitkan pada saat pertemuan sidang tahunan IMF–World Bank Group.
World Bank adalah lembaga keuangan Internasional yang merupakan buatan sistem kapitalisme sekuler. Patut diprediksi tujuan utama menjadikan Indonesia memiliki menteri keuangan terbaik adalah untuk menjerat Indonesia terjerembab lebih dalam lagi ke lubang kapitalisme global.
Negeri ini akan terus menyelesaikan masalah keuangannya dengan penyelesaian ala ekonomi kapitalis. Jika kekurangan uang, akan mencari pasukan dengan menaikkan pajak atau mencari utang berbasis ribawi; Memasukkan investasi asing ke dalam negeri atas nama mempercepat pertumbuhan ekonomi; Mengembangkan ekonomi ribawi dengan perbankan ribawi, falas, saham; dll.
Dalam Islam, ada cara mengatasi jebakan-jebakan utang para kapitalis. Tentunya ada tindakan-tindakan praktis yang harus dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan utangnya.
Perlu diketahui, pemerintahan dalam Islam bukanlah pemerintahan seperti saat ini yang merujuk segala aturannya kepada hukum buatan manusia. Namun, pemerintahan yang dimaksud adalah sistem pemerintahan Islam, yang disebut sebagai Khilafah.
Khilafah akan menyelesaikan jebakan utang sesuai pandangan syariat. Utang yang sah adalah utang yang tak mengandung unsur ribawi.
Beberapa cara praktis yang akan dilakukan khalifah dalam menyelesaikan utang adalah:
Pertama, Khilafah akan memisahkan utang luar negeri pemerintah sebelumnya dengan utang pihak swasta (baik perorangan maupun perusahaan). Jika utang itu milik swasta, merekalah yang harus membayar. Sebaliknya, jika melibatkan penguasa sebelum munculnya Khilafah, maka Khilafah harus mengambil alih sisa cicilan pembayarannya.
Kedua, sisa pembayaran utang luar negeri hanya mencakup sisa cicilan utang pokok saja, tidak meliputi bunga, karena syariat Islam mengharamkan bunga.
Firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman.” (QS al-Baqarah [2]: 278)
Ayat di atas mengharuskan Khilafah, individu, maupun perusahaan yang memiliki utang luar negeri, membayar sisa cicilan pokoknya saja. Diharamkan untuk menghitung serta membayar sisa bunga utang.
Ketiga, meski diwajibkan melunasi sisa cicilan pokok utangnya, Khilafah perlu menempuh berbagai cara untuk meringankan bebannya. Hal itu dapat dilakukan dengan “lobi” agar pihak pemberi utang bersedia memberikan cut off (pemutihan). Bila cara ini gagal, untuk mengurangi tekanan beban pembayaran dalam jangka waktu yang amat pendek, bisa meminta rescheduling (penjadwalan pembayaran utang yang lebih leluasa waktunya).
Keempat, utang sebelumnya akan dibayar negara dengan mengambil seluruh harta kekayaan yang dimiliki secara tidak sah oleh rezim sebelumnya beserta kroni-kroninya. Deposito mereka “parkir” di berbagai bank luar negeri, baik di Swiss, Kepulauan Cayman, Singapura, dan lain-lain, akan dijadikan jaminan negara bagi pembayaran sisa utang luar negeri.
Seandainya akumulasi deposito harta kekayaan mereka masih kurang untuk menomboki sisa utang, Khilafah harus mengambil alih utang tersebut dan menalanginya dari pendapatan negara. Misalnya, bisa menggunakan harta yang berasal dari pos Jizyah, cukai perbatasan, atau badan usaha milik negara.
Khilafah, sejauh mungkin menghindarkan penggunaan harta yang berasal dari pemilikan umat (seperti hasil hutan, barang-barang tambang, dan sebagainya) untuk pembayaran utang. Sebab, yang berutang adalah penguasa “rezim” sebelumnya, bukan rakyatnya.
Kelima, utang luar negeri yang dipikul swasta (baik perorangan maupun perusahaan) dikembalikan kepada mereka untuk membayarnya. Misalnya, bisa dengan menyita dan menjual aset perusahaan yang mereka miliki. Jika jumlahnya masih kurang, Khilafah bisa mengambil paksa harta kekayaan maupun deposito para pemilik perusahaan sebagai garansi pembayaran utang luar negeri mereka. Namun, bila jumlah harta kekayaan mereka belum mencukupi juga, negara harus mengambil-alih dan menalangi utang-utang mereka, karena negara adalah penjaga dan pemelihara (Râ’in) atas seluruh rakyatnya, tanpa kecuali. (K.H. Hafidz Abdurahman)
Demikianlah beberapa langkah praktis yang bisa dilakukan Khilafah guna mengatasi jebakan utang luar negeri “rezim” sebelumnya. Penyelesaian ini tanpa mengambil harta kekayaan masyarakat, dikelola negara untuk kemaslahatan dan kemakmuran seluruh masyarakat.
Penyelesaian secara langsung akan menghancurkan dominasi kapitalis Barat. Juga menghapus ketergantungan negeri-negeri muslim pada dunia Barat. Selain itu dapat menambah kepercayaan diri kaum muslimin bahwa mereka dapat berdiri sendiri tanpa sokongan dari jebakan utang Barat. Tentu hanya Khilafah yang mampu melakukan hal ini.
Wallahua’lam bish-shawwab.