Oleh Mi’ratul Lailiyah (Ibu Rumah Tangga)
Kedamaian hubungan antar sesama manusia memang dimulai dari sektor kekeluargaan. Sebab, jika dalam setiap rumah tumbuh hubungan kekeluargaan yang penuh kasih sayang, maka akan terbentuk kehidupan bermasyarakat yang rukun dan tenang, hingga mudah untuk negara kendalikan menuju jalur kehidupan yang aman dan menentramkan. Sedangkan apabila hubungan kekeluargaan itu berantakan, maka tentu akan banyak juga sektor kehidupan lain yang terkena dampak negatif yang menyulitkan. Terutama bagi para anak yang menjadi generasi penerus bangsa, yang akan mengalami krisis kepribadian cukup signifikan.
Dalam suatu artikel berjudul Dampak Keluarga Broken Home Terhadap Mental dan Pola Pikir Anak Pada Pembelajaran di suatu link media guruberbagi.kemdikbud.go.id dituliskan bahwa efek negatif broken home akan mempengaruhi bidang pendidikan yang melemahkan konsentrasi belajar anak, membuat mereka kurang memahami materi ilmu pengetahuan, serta membuat mereka malas hadir di bangku sekolah. Terutama bagi para remaja yang sedang dalam tahap mencari jati diri yang membutuhkan pengawasan ketat dari pihak sekolah dan orang tua agar berhasil mencegah timbulnya kenakalan remaja.
Bahkan, Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Putu Elvina menyebutkan, sejak 2011 hingga akhir 2018 lalu sebanyak 11.116 anak Indonesia yang tersangkut kasus kriminal, tidak lepas dari peran keluarga dari anak-anak yang broken home (metro.sindonews.com)
Lebih dari itu, menurut imam besar/ Harian Badan Pengelola Masjid Istiqlal, Prof. KH. Nasaruddin Umar, keluarga merupakan awal dari kekuatan masyarakat, bangsa dan negara. Masyarakat yang ideal, apalagi negara ideal, tidak akan tercapai bila tidak diawali dari keluarga ideal. Maka di tengah banyaknya persoalan masyarakat yang berkaitan dengan masalah rumah tangga saat ini, Nazaruddin serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyusun suatu nota kesepahaman untuk mengadakan pendidikan kader ulama perempuan, dimana para kader ulama itu akan sangat membantu masyarakat dalam membaca dan menafsirkan Al Quran dan hadist yang lebih banyak berkaitan dengan masalah rumah tangga daripada masalah pemerintahan negara.
Lantas cukupkah penguatan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara ini hanya diperbaiki dari sisi peningkatan jumlah kader ulama perempuan saja? Sementara serangan kejahatan yang menyebabkan krisis kekeluargaan atau broken home masih terus menghadang. Bahkan justru negara yang berharap dapat dikuatkan oleh sektor kekeluargaan sendirilah yang ternyata justru banyak memberikan serangan bahaya. Apalagi saat negara terbukti tidak mampu memberi solusi masalah di tengah pandemi covid-19 sekarang ini, yang membuat perekonomian melemah dan menyulut kekerasan psikologis tinggi yang mendominasi peningkatan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Seperti dalam cuplikan news berita rubrik peristiwa liputan6.com, terdapat catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) terhadap sebuah survei yang menjaring 2.285 responden sepanjang April-Mei 2020. Sebanyak 80 persen responden perempuan dalam kelompok berpenghasilan di bawah Rp 5 juta per bulan mengatakan bahwa kekerasan yang mereka alami cenderung meningkat selama masa pandemi.
Karenanya, bahan ideal agar bangkit kekuatan suatu masyarakat, bangsa dan negara haruslah diperbaiki dari segala sektor, terutama sektor negara sendiri yang memeliki kewajiban memegang kendali seluruh lini. Apabila negara memiliki konsep dasar sistem pemerintahan yang sempurna untuk mengatur tata kelola kehidupannya, maka setiap individu masyarakyat pun tak akan banyak menjeritkan masalah.
Seperti di saat Khilafah Islamiyah memakai syariat Islam sebagai dasar sistem pemerintahannya, terciptalah suatu aturan hukum perundangan yang tepat dan bijaksana untuk dijalankan. Negara menjadi wajib mengelola sendiri sumber daya alam yang dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan rakyat, tanpa menjual atau menyewakannya pada Komunitas Pengusaha kapitalis yang materialistik. Sehingga dari pengelolaan mandiri tersebut akan terbuka lapangan kerja luas bagi para lelaki dewasa baligh dan para suami yang wajib berperan mencari nafkah untuk keluarganya.
Ketika kebutuhan pokok rakyat telah dipenuhi oleh negara serta poin pendapatan pun sudah berhasil terus diisi oleh para suami, maka para istri yang memiliki peran utama dalam area internal rumahnya akan dapat fokus tenang menjalankan semua menagerial rumah tangga yang dikelolanya. Tanpa perlu lagi kesulitan bekerja keluar rumah, membantu suaminya mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga tercinta. Bahkan, ketika ia tidak lagi harus menanggung beban rumah tangga yang tidak termasuk dalam amanah keajibannya sebagai seorang ibu, para perempuan itu pun dapat menjalankan kewajiban mereka lainnya sebagai sang pendidik utama dan pertama bagi para buah hatinya dengan maksimal, hingga terbentuk para generasi cemerlang tanpa kelemahan mental yang berefek negatif panjang dalam alur kehidupan.
Dengan demikian, ketika semua sektor benar-benar berusaha menyelesaikan masalah dengan konsep sistem yang tepat, yakni konsep dasar syariat Islam yang memiliki aturan hidup lengkap, baik dalam sektor rumah tangga, negara, maupun sektor kehidupan lainnya, memang tiang kekuatan negara betul-betul akan bangkit mewujudkan peradaban kehidupan yang hebat. Lantas, masihkah perbaikan itu tetap hanya dilakukan dalam satu lini, tanpa menyeluruh mencapai perubahan sistem pemerintahan yang lemah itu sendiri saat ini?
Wallahua’lam bishawab.