Uighur dan Urgensi Hadirnya Junnah di Tengah-tengah Umat Islam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Yulida Hasanah (Aktivis Muslimah, Tinggal di kabupaten Jember, Jawa Timur)

“Tidakkah mereka tahu bahwa bersikap netral saat penindasan terjadi adalah penghinaan? Tidakkah mereka tahu bahwa saudara-saudari kita (Uighur) akan mengingat kesedihan ini beberapa tahun kemudian bukan sebagai dari akibat tirani, tetapi akibat sikap diam kita, saudara Muslim mereka?”
Kalimat di atas adalah kutipan dari pesan yang ditulis oleh pemain sepak bola ternama, Mesut Ozil beberapa waktu lalu. Saat banyak kalangan bahkan pemimpin di negeri-negeri muslim termasuk Indonesia pura-pura tidak tahu atas penindasan dan pembantaian rezim Cina terhadap minoritas muslim Uighur.
Uighur adalah bangsa yang tinggal di daerah Asia Tengah yang berbahasa Turki. Mayoritas Penduduknya beragama Islam. Mereka tinggal di wilayah Xinjiang, yang dulunya bernama Turkistan Timur sebelum dicaplok oleh China.

“Uighur” secara harfiah berarti “bersatu” atau “sekutu”. Asal-usul etnis Uighur dapat ditelusuri kembali ke abad ke-3 SM, nenek moyang mereka percaya pada Shamanisme, Manicheism, Nestorianisme, Mazdaisme dan Buddhisme. Uighur menyebar di Daerah Otonomi Xinjiang Uighur, sementara sebagian kecil tinggal di Provinsi Hunan dan Henan.

Nasib Uighur Tanpa Junnah (Pelindung)
Setelah peristiwa 11 September 2001, rezim Tiongkok mengintensifkan pengejaran terhadap orang Uighur dan berhasil membawa beberapa orang Uighur, terutama dari Pakistan, Kazakhstan, dan Kyrgyzstan, di bawah apa yang disebut “Kampanye Internasional Melawan Terorisme.

Uighur kembali menjadi sorotan dunia. Penderitaan mereka dari waktu ke waktu semakin berat. Tekanan demi tekanan mereka dapatkan dari otoritas Cina. Berita tentang ribuan Muslim Uighur dipaksa berdiam di kamp pelatihan, yang sebenarnya adalah tahanan super besar. Di bantah Otoritas Cina dengan dalih memberikan pelatihan kerja bagi para Muslim Uighur untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan.

Hingga memasuki awal tahun 2020 ini, nasib muslim uighur masih berada dalam penindasan. Dan saudara muslim dunia tidak mampu melindungi mereka dari kejahatan Xin Jinping.

Pemimpin negeri mayoritas muslim seperti Indonesiapun tak punya daya untuk melindungi saudara muslim uighur dari tindakan keji otoritas Cina dengan berbagai alasan ketidakberdayaan dari pemimpin negeri ini. Bahkan, ketika masalah uighur diangkat ke Dewan HAM-PBB, voting di Dewan HAM pun muncul dua kelompok. Pertama, terdapat 22 negara meminta agar Cina mengakhiri sikap tak manusiawi terhadap muslim Uighur. Justru kelompok kedua yang terdiri dari 37 negara malah mendukung Cina dalam melawan separatis dan kelompok teroris.

Sungguh, kekejian yang menimpa kaum muslim di belahan dunia, termasuk di Xinjiang Cina. Tak kan bisa diselesaikan selama umat Islam tidak memiliki Junnah (Pelindung) yang akan melindungi umat Islam dari segala kejahatan dan kekejian kaum pembenci. Sebab hadirnya Junnah

Mengembalikan Hadirnya Junnah Dengan Tegaknya Khilafah
Ketika umat Islam berada dalam naungan kekhilafahan Islam, dipimpin Khalifah Usman bin Affan, Sa’ad mendapat perintah untuk menyebarkan Islam ke China. Inilah tonggak awal tersebarnya Islam di benua Asia bagian utara. Sa’ad mendapat perintah dari Khalifah Usman untuk memimpin delegasi Islam ke China pada 615 Masehi.

Mereka pun diterima dengan baik oleh Kaisar Yong Hui dari Dinasti Tang yang sangat toleran. Kaisar sampai mengizinkan delegasi Sa’ad mendirikan masjid.

Hingga pada tahun 94 H (674 M), panglima Muslim Qutaibah bin Muslim al-Bahili dengan pedangnya telah membebaskan Turkistan, bagian barat “Asia Tengah”, dan membebaskan kota besarnya, Bukhara dan Samarqand.. Kemudian setelah itu ia mengarah ke timur hingga mencapai Kashgar yang waktu itu merupakan ibukota Turkistan Timur yang hari ini dinamakan oleh China, Xinjiang. Dengan itu sempurnalah pembebasan Turkistan pada tahun 95 H. Kemudian ia berdiri di depan pintu tembok China bersama pasukannya dan bersumpah akan memasuki Tanah China. Lalu Raja China mendengar hal itu. Ketakutan dan kegentaran pun menderanya. Selanjutnya Raja China itu mengirimkan delegasi untuk berunding dengan sang Panglima Muslim, dengan ketentuan, Raja China itu akan membayar jizyah seraya mengirim tanah yang dibubuhi dengan sumpahnya.

Begitulah gambaran kemuliaan Islam dan kaum Muslim! Dulu kaum Muslim mulia dengan hadirnya penjaga. Laksana tembok yang kokoh, Khalifah menjadi penjaga umat Islam . Tidak ada seorang pun yang menginginkan keburukan terhadap Islam dan kaum Muslim, yang berani lancang menyentuhnya, bahkan sekadar untuk mendekatinya saja. Kesatuan wilayah kaum muslim dalam naungan Islam, menggambarkan kekuatan yang tak bisa dicerai berai. Dan kesatuannya menggambarkan kokohnya ukhuwah Islamiyah tanpa sekat-sekat nasionalisme.

Pada waktu itu Turkistan juga memiliki sosok ‘al-Mu’tashim’ yang menjawab permintaan tolong umat dan menuntut balas atas orang yang menzaliminya serta kembali menyinari bumi dengan cahaya Khilafah.

وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ بِنَصْرِ اللَّهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ
Pada hari itu kaum Mukmin bergembira karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dialah Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang (QS ar-Rum [30]: 4-5).

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *