TPPO Buah dari Sistem Kebebasan 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

TPPO Buah dari Sistem Kebebasan 

 Tuti Sugiyati, S Pd i

 Kontributor Suara Inqilabi

 

Polres Metro Jakarta Barat mengungkap Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) bayi dan menetapkan tiga tersangka dalam kasus tersebut. Satu di antara tersangka merupakan ibu bayi berinisial T (30), sementara dua tersangka lainnya, yakni EM (30) dan AN (33). Dalam aksinya, pelaku EM menyasar ibu hamil dari keluarga yang ekonominya lemah.

Perkenalan T dengan pelaku utama kasus TPPO bayi bermula dari grup media sosial. Saat itu, T yang tengah hamil delapan bulan, kesulitan untuk membayar biaya persalinannya di salah satu rumah sakit di Jakarta Barat. Akibat perbuatannya, mereka dijerat dengan Pasal 76 F juncto Pasal 83 UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak atau Pasal 2 dan 5 UU 21/2007 tentang TPPO dengan ancaman pidana maksimal 10 (sepuluh) tahun penjara. (Berita Satu, 25-02-2024).

Tersangka EM ternyata telah melakukan aksinya sebanyak lima kali sejak 2020. Dari keterangan EM, akhirnya penyidik juga berhasil menyelamatkan empat bayi lainnya yang sudah dibeli oleh EM melalui orang-orang ataupun perempuan yang melahirkan di beberapa rumah sakit. Ini merupakan fenomena gunung es, meskipun terdapat lima bayi yang diamankan dalam kasus perdagangan gelap tersebut, masih banyak kasus serupa yang belum terungkap lantaran tidak tercium aparat berwenang. Betapa miris dan sedih ketika masih banyak kasus serupa yang jauh dari penginderaan masyarakat dan aparat yang berwenang.

Pada hakikatnya seseorang yang telah menyandang status ibu itu akan memiliki tingkat kepekaan dan nurani kasih sayang yang semakin tinggi dibandingkan saat masih menyandang status lajang (gadis). Ibu adalah sosok yang lembut, sabar, ikhlas, dan tawakal di situasi apapun untuk melindungi buah hatinya dari segala guncangan apapun. Di sisi lain seorang ibu juga merasakan bagaimana proses dan rasa kesakitan untuk melahirkan seorang bayi. Bahkan seorang ibu pun rela untuk tidak makan ataupun tidak jajan hanya demi mengutamakan anaknya dibandingkan dirinya sendiri.

Akan tetapi di era kebebasan ini, keadaan berbanding terbalik, naluri keibuan itu musnah perlahan tapi pasti beriringan dengan bertambah parahnya taraf ekonomi masyarakat yang dikendalikan oleh sistem ekonomi kapitalisme yang memimpin dunia saat ini. Wajar saja bila ketimpangan sosial dan kemiskinan semakin hari semakin parah.

Sekularisme mengakibatkan terpisahnya peran agama dari kehidupan yang menjadikan rasa keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. sangatlah minim, dan juga menjadikan taraf berfikirnya juga sangat rendah. Dalam kondisi ini mereka tidak menjadikan halal dan haram menjadi tolok ukur dari setiap perbuatan, maka setiap perbuatan hanya diukur dengan hawa nafsunya saja. Itu sangat bertentangan dengan kodrat manusia sebagai hamba Allah yang harusnya menjadikan syari’at adalah sebagai ukuran dari suatu perbuatan.

Sangat tidak bisa dibenarkan perbuatan seorang ibu yang menjual bayinya demi sejumlah uang. Walaupun latar belakang pemenuhan nafkahnya harus diatasi pula, namun dirinya tidak lantas menghalalkan segala cara demi memperoleh uang yang ia butuhkan.

Pada hakikatnya rejeki itu bukan hanya berbentuk materi saja, akan tetapi anak juga merupakan rejeki yang dititipkan Allah kepada kita. Anak adalah karunia, kehadiran mereka adalah nikmat, bahkan dapat melahirkan beragam kebaikan. Allah Swt. juga telah menjanjikan bahwa setiap anak yang terlahir akan Allah jamin rezekinya.

Seperti firman Allah Swt. :

وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَوْلَادَكُمْ مِّنْ اِمْلَاقٍۗ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَاِيَّاهُمْ ۚ

Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.” (QS Al An’am [6]: 151).

Wallahu a’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *