Tikus Berdasi Kian Aktif Beraksi, Dimana Hati Nurani?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Vikhabie Yolanda Muslim

 

Satu per satu, luapan kasus korupsi di negeri ini terus menampakkan dirinya ke permukaan dan bertumbuh subur bak jamur di musim penghujan. Ditengah susahnya penghidupan terlebih dalam pandemi covid-19 ini, tampaknya tak membuat para tikus berdasi berdamai untuk tidak melakukan korupsi. Bahkan dana bantuan sosial yang harusnya sampai ke tangan rakyat yang membutuhkan, justru menjadi sasaran empuk bagi para penyunat dana. Baru-baru ini, sebuah media massa kembali mengungkap fakta baru tentang penyelewengan dana bantuan sosial yang telah di korupsi oleh mantan menteri sosial Juliari Batubara. Disebutkan bahwa KPK telah menggeledah lima perusahaan penyedia bantuan sosial penanganan Covid-19 di Kementerian Sosial pekan lalu. Dari hasil penelusuran kasus ini, ternyata tidak semua penyedia bansos dikutip fee oleh Juliari. Sisanya sebanyak 1,3 juta paket lainnya disebut-sebut merupakan jatah anggota DPR, inisial HH dan IY. Keduanya sama-sama dari PDIP, satu partai dengan Juliari. Dari jumlah paket tersebut, perusahaan yang terafiliasi dengan HH mendapat kuota paling banyak. Sumber lain menyebutkan, jatah mereka tidak dipotong karena bagian dari “Madam”. Sebutan ini mengacu ke seorang petinggi elite PDIP. Namun pernyataan ini kemudian dibantah oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang menolak bahwa partainya terlibat dalam kasus korupsi bantuan sosial tersebut (koran.tempo.co/19/1/21 ).

Lantas berbagai pertanyaan pun muncul, bagaimana bisa bantuan sosial yang harusnya sampai ke perut rakyat justru malah sampai ke perut para tikus berdasi? Adanya fakta terbaru tentang rentetan rantai korupsi hingga muncul sosok “Madam” sang petinggi partai, apakah menjadi indikasi bahwa memang korupsi di negeri ini sungguh problematika yang sistemik? Atau apakah hati nurani para pejabat negeri sudah gelap tertutupi? Mencoba menjawab berbagai pertanyaan seputar fenomena korupsi yang menggurita, maka dalam kasus ini dan berbagai kasus korupsi yang telah menggerogoti, ada beberapa faktor penyebab tumbuh suburnya tindakan tak manusiawi ini.

Yang pertama yakni virus sekuler yang telah memenuhi ruang publik dan merajalela hampir di semua kalangan. Sistem sekuler mendorong seseorang menghalalkan segala cara demi mendapatkan kesenangan dan kenikmatan dunia, sekali pun cara tersebut bertolak belakang dengan nurani. Sesuai dengan arti kata sekuler yaitu memisahkan agama dengan kehidupan publik (fasluddin ‘anil-hayah), hal inilah yang membuat manusia tidak memiliki rasa takut terhadap larangan Tuhan. Dikarenakan sistem sekuler kini yang menjadi dasar penerapan aturan manusia termasuk dalam aturan bernegara, maka hal ini semakin menumbuh suburkan praktek korupsi dan membuatnya semakin menggurita dalam lingkaran setan. Alhasil, yang dirugikan lagi-lagi ialah rakyat. Rakyat semakin tercekik, namun di sisi lain para koruptor asyik menghirup udara bebas tanpa takut dijerat status hukum yang tegas.

Lalu yang kedua ialah tingginya hasrat memenuhi gaya hidup hedon, hingga akhirnya melahirkan perilaku konsumtif serta boros menghabiskan uang untuk hal-hal yang tidak penting yakni demi kepentingan pribadi dan keluarga oleh sang pelaku, termasuk untuk berfoya-foya. Budaya hedon pun telah menjangkiti sebagian besar masyarakat yang hidup di era kapitalis saat ini. Yang akhirnya menjadikan hilangnya rasa malu bahkan ketika menggelapkan dana yang bukan menjadi hak nya demi memenuhi nafsu konsumtif.

Yang ketiga yakni karena lunturnya aqidah, termasuk tidak tuntasnya seseorang dalam memahami uqdatul qubra. Uqdatul qubra alias simpul besar dalam kehidupan yang berisi 3 pertanyaan mendasar konsep aqidah tentang darimana manusia berasal, untuk apa hidup di dunia, dan akan kemana setelah mati. Layaknya sebuah simpul yang menjadi dasar kehidupan, maka bagi seorang muslim, aqidah islam ialah simpul pengikat yang menjadi neraca standar segala tingkah laku dalam menjalani kehidupan. Adanya hisab di akhirat kelak sebagai muara setelah kehidupan dunia, menjadikan seorang muslim seharusnya selalu taat dan takut dalam bertingkah laku buruk selama di dunia. Karena apapun yang kita kerjakan pasti akan menerima pembalasan kelak di yaumil akhir.

Kemudian yang keempat ialah lemahnya pengawasan dan hukum negara terhadap pelaku dan perilaku korupsi hingga menjadi “tren” dan tentunya sangat menular hingga di berbagai lini. Negara sebagai pemegang kekuatan terbesar tidak menjalankan fungsi dan peranannya dalam perlindungan serta penjagaan ummat, khususnya kesejahteraan rakyat, terlebih dana yang digelapkan ialah bantuan sosial yang harusnya mampu mengurangi beban rakyat di masa pandemi. Di dalam dekapan sistem sekuler ini, yang terjadi ialah negara malah membiarkan praktik korupsi dan penggelapan dana semakin subur. Padahal tindakan korupsi ini jelas-jelas menjadi pintu gerbang yang mengakibatkan negara gagal membangun kesejahteraan masyarakat.

Maka pada hakikatnya, semua akar permasalahan korupsi yang timbul saat ini ialah karena jauhnya kita dari aturan yang shahih. Yang jelas, Islam tentu punya solusinya. Dalam sistem Islam, korupsi atau ikhtilas ialah suatu jenis perampasan terhadap harta kekayaan rakyat dan negara dengan cara memanfaatkan jabatan demi memperkaya diri atau orang lain. Korupsi merupakan salah satu dari berbagai jenis tindakan ghulul, yakni tindakan untuk mendapatkan harta dengan cara curang atau melanggar syariat, baik dari harta negara maupun masyarakat.

Islam punya usaha preventif untuk mencegah terjadinya praktek korupsi. Yang pertama yakni melarang pejabat negara atau pegawai untuk menerima hadiah. Fakta pada hari ini, banyak diantara pejabat/pegawai, ketika mereka melaporkan harta kekayaanya, banyak ditemukan harta yang tidak wajar, mereka menggunakan dalih mendapatkan hibah. Sistem Islam juga sangat memperhatikan kesejahteraan para pegawainya dengan cara menerapkan sistem penggajian yang layak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapapun yang menjadi pegawai kami hendaklah mengambil seorang istri, jika tidak memiliki pelayan , hendaklah mengambil seorang pelayan, jika tidak mempunyai tempat tinggal hendaknya mengambil rumah.” (HR. Abu Dawud).

Lalu yang kedua yakni upaya pencegahan korupsi dalam Islam ialah dengan keteladanan pemimpin. Sebagai contoh yakni Khalifah Umar Bin Abdul Aziz pernah memberikan teladan yang sangat baik bagi kita. Yakni ketika beliau mematikan fasilitas lampu di dalam ruang kerjanya pada saat menerima sang anak yang datang. Hal ini dilakukan karena beliau mengatakan bahwa pertemuan itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan negara. Fakta hari ini justru bertolak belakang dengan apa yang terjadi di negeri kita, ketika rakyatnya banyak yang mengalami kesusahan, para pejabat justru banyak bergelimang kemewahan.

Selain solusi preventif, Islam pun punya aturan hukum yang tegas dan jelas. Diberlakukannya seperangkat hukuman pidana yang tegas ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi para pelaku dan pencegah bagi calon pelaku. Berbeda dengan kasus pencurian yang termasuk dalam bab hudud, korupsi masuk dalam bab ta’zir yang hukumannya tidak secara langsung ditetapkan oleh nash, tetapi diserahkan kepada khalifah atau qadhi (hakim).  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. bersabda, ”Perampas, koruptor (mukhtalis) dan pengkhianat tidak dikenakan hukuman potong tangan.” (HR Ahmad, Ashab as-Sunan dan Ibnu Hibban). Bentuk ta’zir untuk para pelaku korupsi bisa berupa hukuman tasyhir (misalnya diarak keliling kota ataupun disebarkan lewat media massa), pengasingan, penjara, jilid (cambuk), hingga hukuman mati. Jika harta yang dikorupsi mencapai jumlah yang membahayakan ekonomi negara, bisa saja sang koruptor diberikan hukuman mati.  Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, misalnya, pernah menetapkan sanksi hukuman cambuk dan penahanan dalam waktu lama terhadap koruptor (Ibn Abi Syaibah, Mushannaf Ibn Abi Syaibah, V/528; Mushannaf Abd ar-Razaq, X/209).

Begitulah sistem Islam dengan segala keagungannya ialah solusi terbaik yang layak diterapkan ketika semua solusi pemberantasan korupsi sudah tidak mampu lagi memberi efek jera pada tikus-tikus berdasi. Maka pertanyaannya sekarang ialah, jika sistem kapitalis-sekuler sudah terbukti menjadi sarang koruptor yang menggurita, lalu mengapa kita enggan beralih pada sistem Islam sebagai solusi kehidupan yang telah terbukti ampuh mengatasi korupsi?

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *