Tetangga Meninggal Tak Diketahui, Awas Individualisme Menjangkiti !
Oleh Fitri Hidayati, S.Pd
(Penulis dan Pemerhati Problematika Sosial)
Geleng kepala, mungkin itu respon pertama saat mendengar kabar ini. Telah ditemukan mayat seorang ibu dan anak di Perumahan Bukit Cinere, Depok. Terlebih, dari berita mengenaskan ini bahwa telah di temukan mayat dalam bentuk sudah menjadi kerangka, sementara itu tak satupun dari tetangga mengetahui akan hal ini. Tetangga baru menaruh curiga ketika melihat kondisi rumah yang selalu gelap, rumput yang sudah tinggi, jendela yang berdebu setelah sekian lama. Usut punya usut pun di kabarkan bahwa ibu dan anak ini kurang bersosialisasi dengan warga sekitar (metro.tempo.co, 10/9/2023).
Seperti peribahasa jawa ‘tumbu oleh tutup’ serasa klop dimana warga yang kurang bersosialisasi sementara tetangganya pun nampak kurang peduli. Hal serupa juga pernah terjadi beberapa bulan sebelumnya yaitu telah ditemukannya mayat satu keluarga yang berjumlah 4 orang di sebuah rumah yang berada di Kalideres, Jakarta. Kematian keluarga ini ditemukan setelah tercium bau busuk (news-detik.com, 8/9/2023). Tentu saja bukan karena jaman yang maju yang mengharuskan orang tidak peduli lagi kepada orang lain. Tapi tabiat dan kepribadian manusia yang mengalami “downgrade”(penurunan). Boro-boro urusan yang lebih kecil mengenai kabar atau kerepotan tetangga, sedangkan urusan apakah tetangganya masih hidup atau sudah mati saja tidak di ketahui oleh mereka.
Manusia mempunyai banyak keterbatasan dan kelemahan. Oleh karena itu manusia mendudukkan dirinya sebagai hamba Alloh sang pencipta dan pengatur. Selain itu manusia juga membutuhkan orang lain agar hidupnya baik, beradab, dan bermakna. Saling peduli antar manusia dengan manusia lain, manusia dan alam sekitarnya menjadi bagian penting dari kehidupan manusia. Maka sungguh naif dan melanggar fitrahnya sebagai manusia jika manusia mencanangkan dirinya sebagai individualis.
Gambaran buruk pola hubungan dalam masyarakat ini banyak diilhami dari paham sekulerisme, yaitu sebuah paham yang memisahkan agama dan kehidupan. Orang menjalankan kehidupan sekedar mengikuti hawa nafsunya. Apalagi Ketika hubungan itu dianggap merugikan dirinya, mereka tak segan-segan menjauhi orang lain. Tentu saja sistem sekuler-kapitalis tidak cocok bagi umat muslim khususnya, dan manusia pada umumnya. Sistem ini telah membuat manusia anti-sosial dan berjibaku sendiri dengan segudang masalahnya. Alih-alih manusia menjadi sejahtera, justru sebaliknya masyarakat dijangkiti penyakit mental yang akhirnya mendzolimi orang lain, bahkan mendzolimi orang lain.
Bagaimana Islam mengatur ?
Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna di banding makhluk Tuhan yang lain. Akal manusia menjadi anugerah yang luar biasa untuk mengenali jati dirinya, menjangkau akan aturan hidup dari Tuhan melalui kitab suci, dan mengembangkan dirinya. Kita mengenal dengan istilah hablu minnalloh, hablum minnafs, hablu m minannas. Dari ketiga hubungan itu lahirlah amal perbuatan yang menjadi ibadah bagi dirinya. Dalam hablum minannas, manusia berinteraksi satu sama lain seperti saling peduli, saling menolong, saling bersilaturahmi, juga interaksi yang lain (pinjam meminjam, jual beli, sewa-menyewa, dll).
Kurangnya kepedulian masyarakat dengan lingkungan memberikan gambaran buruknya silaturahmi dengan tetangga. Padahal, ibarat satu tubuh umat adalah satu kesatuan. Ketika kakinya sakit maka tubuh yang lain ikut merasakannya. Begitulah gambaran umat yang di gambarkan dalam hadits Rasulullah SAW : Dari Nu’man bin Basyir dia berkata: Rasulullah saw. Bersabda, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Saling berbagi dalam suka dan duka, saling menolong dan menjaga, saling menasehati dalam kebaikan dan kebenaran adalah bi’ah (kebiasaan) kaum muslim. Namun sistem sekuler-kapitalis telah mencabut itu semua dan mengalihkan pandangan umat kepada azas materi, kemanfaatan, dan untung-rugi. Hak asasi manusia hanya sekedar gula-gula saja, yang pada hakekatnya justru menghilangkan nilai kemanusiaan dari manusia itu sendiri. Maka tidak ada yang pantas tempat umat umat bernaung kecuali pada sistem Islam.
Sistem Islam menjaga sistem sosial, ekonomi, dan budaya sehingga masyarakat akan merasa tercukupi, tenang, nyaman, dan sejahtera. Seperti halnya kondisi umat pada masa syariat islam di terapkan dimana Amirul mukminin kesulitan mencari mustahiq (orang yang berhak mendapat zakat) karena semua sudah mampu. Kehidupan merekapun menjadi aman dan nyaman karena tingkat criminal yang sungguh minim. Beda sekali dibanding saat ini yang tiap menit bahkan detik di kabarkan tindak kejahatan disana-sini, masyaAllah. Sistem Islam juga menjaga hubungan antar tetangga. Rasulullah saw bersabda;
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia memuliakan tetangganya.” (Muttafaqun ‘alaih).
Islam yang berlandaskan aqidah islam memandang hidup secara komprehensif. Semua konsep akan diterapkan dalam aturan-aturan yang praktis dan ditaati. Karena keimanan masyarakat secara individu dan komunal meyakini bahwa semua amal mereka akan di bertanggung jawabkan di hadapan Alloh SWT.
Di hadapan Allah semua manusia sama tanpa membedakan si kaya dan si Miskin. Karena yang membedakan diantara mereka adalah ketaqwaannya. Maka sungguh indah hidup dalam naungan Islam. Untuk itulah Islam tidak hanya agama ritual saja melainkan way of life.
Mari Kembali kepada Islam!
Wallahu’alam bishshawaab.