Target Ambisius dalam Kondisi Rakyat Tidak Terurus

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Target Ambisius dalam Kondisi Rakyat Tidak Terurus

 

Oleh Irma Faryanti

Member Akademi Menulis Kreatif

 

Ingin hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai.

Mungkin peribahasa itu sangat tepat untuk menggambarkan target yang ingin dicapai pemerintah saat ini. Tahun 2024 kepemimpinan Presiden Joko Widodo akan segera berakhir. Namun menjelang akhir masa jabatannya, orang nomor satu di negara ini berniat untuk mengentaskan kemiskinan ekstrem hingga nol persen. Hal tersebut disampaikan seusai menghadiri Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III PDIP di Jakarta Selatan awal bulan Juni lalu. Ia sangat optimis dengan hal itu dan akan bekerja keras serta mati-matian dalam mewujudkannya. (Tirto.id, Jumat 9 Juni 2023)

Menanggapi hal itu, para pakar menilai target tersebut terlalu ambisius karena tidak sejalan dengan realita yang ada, sebab faktanya angka kemiskinan di negeri ini masih tinggi. Profesor Arief Anshory Yusuf selaku peneliti SDGs Center, Universitas Padjadjaran Bandung, menyatakan bahwa pencapaian nol persen itu dipastikan sangat berat, terlebih di tahun 2023 saja angkanya sudah di atas satu. Tidak mudah melakukannya karena target sasaran dalam program ini sulit diidentifikasi dan dijangkau.

Catatan data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa sekitar 2,14 % atau sekitar 5,8 juta jiwa masyarakat Indonesia terkategori miskin ekstrem di tahun 2021. Dan diperkirakan 2024 nanti akan naik menjadi 2,6 atau 3,1 persen, atau mencapai 7,2-8,6 juta orang. Arif masih optimis bahwa penghapusan kemiskinan ekstrem akan bisa dicapai jika pemerintah menyesuaikannya dengan target yang sudah ditetapkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs, yang menargetkan pencapaian terendah itu di 2030.

Menurut pandangan pemerintah, seseorang termasuk miskin ekstrem jika kemampuan daya beli (Purchasing Power Parity atau PPP) hanya mencapai $1,9 saja. Menurut data BPS, pada tahun 2021, yang terkategori kondisi demikian adalah saat pengeluarannya ada di bawah Rp10.739/orang setiap harinya atau Rp322.170 per bulannya. Pengentasan kemiskinan telah menjadi agenda di periode kedua kepemimpinan Jokowi, ambisi ini merujuk pada SDGs PBB yang menargetkan dapat memperbaiki kehidupan setiap orang yang saat ini berpenghasilan kurang dari 1,25 dolar Amerika per hari. Untuk itu perlu diupayakan agar di tahun 2024 mampu dituntaskan dan berada di posisi nol.

Jerry Massie selaku Direktur Political and Public Policy Studies menyatakan bahwa ambisi tersebut bak mimpi di siang bolong, terlalu muluk dan mustahil bisa terwujud. Pendapat ini wajar terlontar, karena kondisi negeri ini baik secara ekonomi, politik dan berbagai aspek lainnya, belum siap untuk menekan angka kemiskinan. Kondisi Indonesia yang terjerat utang, aset rakyat terkuras habis, sumber daya alam digadaikan, hingga rakyat yang menjadi korban. Berbagai program untuk desa terpencil tidak juga luput dari tangan-tangan pengutil. Alih-alih sampai di kondisi sejahtera, masyarakat justru semakin menderita.

Inilah yang terjadi saat negara mengadopsi aturan kapitalisme. Kemiskinan yang dialami bersifat sistemik dan struktural. Karena perekonomian yang diterapkan justru melanggengkan kemiskinan. Sekularisme yang dijadikan sebagai landasan, menafikan nilai agama dalam kehidupan. Sementara itu, liberalisme dalam kepemilikan juga telah memberi keleluasaan bagi para pemilik modal untuk menguasai sumber daya alam negeri yang sejatinya adalah milik rakyat. Sehingga membuka peluang munculnya ketidakadilan dalam distribusi kekayaan.

Di sisi lain, para pemimpin justru menampakkan gaya hidup mewah. Hal ini mencerminkan cara pandang mereka terhadap jabatan yang identik dengan prestise, kehormatan juga sebagai sarana untuk memperkaya diri. Praktik korupsi pun dijadikan jalan pintas untuk melipatgandakan harta kekayaan. Sistem kapitalisme tidak pernah berpihak pada rakyat. Program apapun yang dibuat untuk mengentaskan kemiskinan hanya akan menjadi omong kosong belaka.

Berbeda dengan Islam yang memiliki solusi tersendiri untuk menangani hal ini. Di mana kesejahteraan umat sepenuhnya ada di pundak negara. Seorang penguasa harus mengutamakan kepentingan rakyatnya, karena ia adalah pengayom yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam HR. Bukhari dan Muslim:

“Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”

Adapun cara Islam untuk mengatasi masalah kemiskinan bisa ditempuh melalui mekanisme langsung yaitu dengan memberi pelayanan berupa pendidikan, kesehatan dan keamanan pada setiap individu rakyat. Dalam hal ini, negara wajib menyediakan berbagai fasilitas seperti penyediaan rumah sakit dan sarana infrastruktur lainnya. Seluruh biaya yang dibutuhkan ditanggung oleh Baitulmal.

Sementara mekanisme tidak langsung dilakukan dengan menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin kebutuhan pokok masyarakat. Yaitu dengan menyediakan lapangan pekerjaan bagi semua kepala rumah tangga. Jika seorang individu tidak lagi sanggup bekerja maka ahli warisnya lah yang harus menanggungnya. Seandainya mereka tidak ada, negara menjadi pihak berikutnya yang akan membiayainya.

Demikianlah cara Islam mencegah dan mengatasi munculnya kemiskinan ekstrem. Semua itu akan terlaksana sempurna saat hukum Allah kembali hadir dalam sebuah sistem kepemimpinan, dan diterapkan pada seluruh aspek kehidupan.

 

Wallahualam bissawab.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *